Fenomena banjir dan longsor yang terjadi belakangan ini di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat menunjukkan betapa parahnya dampak degradasi lingkungan terhadap kehidupan masyarakat di wilayah barat Indonesia.
Bencana yang dipicu oleh hujan ekstrem dan diperburuk oleh kerusakan hutan ini telah menyebabkan dampak kemanusiaan yang sangat besar dalam waktu singkat, mengguncang banyak komunitas lokal dan menimbulkan pertanyaan serius tentang pengelolaan lingkungan di masa depan.
Menurut data terbaru dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), jumlah korban meninggal dunia akibat banjir dan longsor di tiga provinsi tersebut telah melampaui 1.000 orang, dengan sekitar 206 orang masih dinyatakan hilang dan ribuan lainnya mengalami luka serta kerugian materiil.
Data ini menunjukkan bahwa skala tragedi yang terjadi jauh lebih besar dibandingkan bencana lokal biasa, dan menggarisbawahi betapa besarnya tekanan yang dialami masyarakat di wilayah terdampak.
Tragedi ini juga secara tidak langsung mengungkapkan kontribusi deforestasi terhadap intensitas dan dampak banjir. Peneliti dan pakar lingkungan menyatakan bahwa hilangnya tutupan hutan di kawasan hulu Sungai yang disebabkan oleh pembalakan, perkebunan skala besar, dan alih fungsi lahan lainnya telah mengurangi kemampuan alam untuk menyerap air hujan dan menahan erosi.
Ketika hutan tidak lagi berfungsi sebagai sistem penyangga hydrologis, limpasan air meningkat drastis, mempercepat dan memperparah banjir serta tanah longsor. Dampak ini menjadi lebih fatal ketika hujan ekstrem terjadi, seperti yang dilaporkan pada kejadian baru-baru ini.
Yang membuat bencana ini semakin tragis adalah dampak berjangka panjangnya terhadap ekonomi lokal dan struktur sosial masyarakat. Banyak desa dan permukiman yang kini rusak berat atau hancur total, fasilitas publik seperti jembatan, sekolah, dan rumah ibadah luluh lantak, sementara akses terhadap layanan dasar seperti kesehatan dan air bersih terhambat.
Kerusakan infrastruktur sebesar ini tidak hanya menghambat upaya penanganan darurat, tetapi juga memperlambat pemulihan ekonomi dan sosial jangka panjang di wilayah terdampak. Menurut laporan BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), biaya untuk memulihkan kerusakan infrastruktur akibat banjir dan longsor di tiga provinsi tersebut diperkirakan mencapai sekitar Rp51,82 triliun dan kemungkinan masih akan bertambah seiring dengan pendataan lebih lanjut.
Studi dari Center of Economics and Law Studies (CELIOS) memperkirakan bahwa kerugian ekonomi total nasional akibat bencana tersebut mencapai sekitar Rp68,67 triliun mencakup kerusakan rumah, fasilitas publik, infrastruktur, gangguan ekonomi keluarga, dan kerusakan lahan pertanian.
Ada pula studi awal dari Bank Mandiri yang memperkirakan kerugian ekonomi di tiga provinsi terdampak mencapai sekitar Rp32,6 triliun berdasarkan penurunan kegiatan ekonomi regional. Sementara itu, pemerintah juga memperkirakan biaya tambahan sekitar US$3,1 miliar (~Rp51 triliun).
Bencana ini juga membuka refleksi penting tentang kebijakan lingkungan dan pembangunan di Indonesia. Selama bertahun-tahun, pengembangan pertanian, perkebunan, dan infrastruktur telah sering kali mengorbankan ruang hijau dan kawasan hutan tanpa pertimbangan keberlanjutan yang memadai.
Ketika bencana seperti ini terjadi, yang paling merasakan dampaknya adalah masyarakat biasa petani kecil, keluarga yang kehilangan rumah, dan mereka yang bergantung pada lahan tani atau usaha mikro ekonomi, sementara dampak ekologis jangka panjangnya mempengaruhi semuanya secara kolektif.
Krisis ekologi yang sedang kita hadapi hari ini merupakan bukti bahwa alam sedang memberikan peringatan keras. Deforestasi yang dilakukan tanpa perhitungan jelas menjadi salah satu faktor utama yang memperparah bencana banjir di berbagai daerah. Hutan yang semestinya berfungsi sebagai “penyangga alami” telah kehilangan kemampuan untuk menyerap air karena penebangan liar dan alih fungsi lahan yang tidak terkendali.
Ketika pohon-pohon ditebang, bukan hanya tutupan lahan yang hilang, tetapi struktur ekosistem yang kompleks ikut runtuh. Akibatnya, air hujan tidak lagi meresap ke dalam tanah, melainkan langsung mengalir deras menuju dataran rendah dan pemukiman, memicu banjir yang lebih cepat, lebih sering, dan lebih merusak.
Dalam konteks ini, deforestasi seharusnya dipahami sebagai persoalan multidimensi yang tidak boleh direduksi menjadi sekadar aktivitas ekonomi. Ada dampak jangka panjang yang jauh lebih besar, mulai dari degradasi tanah, penurunan kualitas air, hingga berkurangnya keanekaragaman hayati. Banjir hanyalah salah satu “gejala” dari kerusakan yang lebih dalam.
Untuk itu, reformasi tata kelola hutan menjadi keharusan, bukan hanya melalui reboisasi simbolik, tetapi juga penegakan hukum yang tegas terhadap perusak hutan, pembatasan izin pembukaan lahan, serta pemberdayaan masyarakat lokal sebagai penjaga lingkungan. Selama pendekatan pembangunan masih mengabaikan ekologi, bencana seperti banjir akan terus menghantui dan menjadi bayaran mahal atas kelalaian kita.
Sawit juga sering kali diposisikan seolah-olah setara dengan hutan karena sama-sama berupa pepohonan hijau, padahal secara ekologis kelapa sawit bukan hutan dan tidak dapat menggantikan fungsi hutan. Persepsi keliru ini berbahaya karena menutupi fakta bahwa perluasan perkebunan sawit justru menjadi salah satu penyebab utama hilangnya hutan alam dan meningkatnya risiko bencana ekologis.
Hutan alam merupakan ekosistem kompleks yang terdiri dari berbagai jenis pohon, tumbuhan bawah, satwa, mikroorganisme, dan sistem tanah yang saling terhubung. Keragaman hayati inilah yang memungkinkan hutan menyerap air hujan secara optimal, menjaga kelembapan tanah, menahan erosi, serta mengatur iklim mikro.
Sebaliknya, perkebunan sawit adalah sistem monokultur yang disusun untuk kepentingan produksi ekonomi, bukan keseimbangan ekologis. Struktur akarnya dangkal, keanekaragaman hayatinya rendah, dan kemampuannya menyerap air jauh di bawah hutan alami.
Menganggap sawit sebagai pengganti hutan juga mengaburkan dampak jangka panjang terhadap siklus air dan mitigasi bencana. Ketika hutan ditebang dan digantikan sawit, kemampuan lahan untuk menahan air hujan menurun drastis.
Air mengalir cepat ke sungai tanpa tersaring, meningkatkan potensi banjir dan longsor, terutama di wilayah hulu dan perbukitan. Fakta inilah yang menjelaskan mengapa banyak daerah dengan perkebunan sawit luas justru mengalami banjir lebih sering dan lebih parah.
Selain fungsi ekologis, hutan juga memiliki nilai sosial dan budaya yang tidak dapat digantikan oleh sawit. Bagi masyarakat adat dan lokal, hutan adalah ruang hidup, sumber pangan, obat-obatan, dan identitas kultural. Perkebunan sawit mengubah relasi ini menjadi relasi kerja yang bergantung pada pasar dan perusahaan, sehingga masyarakat kehilangan kedaulatan atas ruang hidupnya sendiri.
Oleh karena itu, penting untuk menegaskan bahwa sawit adalah komoditas ekonomi, bukan ekosistem hutan. Sawit memang berperan dalam perekonomian nasional dan menyediakan lapangan kerja, tetapi perannya tidak boleh digunakan untuk membenarkan penggundulan hutan.
Pembangunan yang berkelanjutan menuntut kejujuran ekologis: mengakui bahwa sawit tidak dapat menggantikan fungsi hutan, dan bahwa perlindungan hutan alam harus menjadi prioritas utama demi keselamatan manusia dan keberlanjutan lingkungan.
Pada hakikatnya, Undang-Undang telah banyak mengatur tentang bagaiman pengelolaan lingkungan. Misalnya Undang‑Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH); UU PPLH (2009) memberikan kerangka pengelolaan lingkungan yang holistik artinya penebangan liar, konversi hutan tanpa izin, atau aktivitas yang merusak lingkungan bisa dikaji sebagai pelanggaran hukum.
Atau ada pula Undang‑Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; UU Kehutanan (1999) membedakan fungsi hutan: misalnya hutan lindung memiliki fungsi penyangga kehidupan seperti menjaga tata air dan mencegah erosi/banjir.
Jika fungsi ini diabaikan karena konversi hutan, maka dampaknya bisa langsung terhadap risiko bencana seperti banjir dan tanah longsor. Atau Undang‑Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dengan perubahan terbaru Undang‑Undang Nomor 32 Tahun 2024; Undang-undang konservasi (1990, diperbarui 2024) memperkuat perlindungan terhadap keanekaragaman hayati dan ekosistem termasuk ekosistem non-hutan.
Artinya, konservasi tidak hanya untuk kawasan hutan formal, tapi juga ekosistem penting lain yang bisa berperan dalam mitigasi bencana dan menjaga stabilitas alam. Hal ini tentu dapat menjadi dasar legal untuk menuntut perlindungan lingkungan dan dampak deforestasi terhadap ekosistem maupun keberlangsungan hidup manusia di sekitarnya.
Faktor lain yang dapat merusak alam serta mengabitkan banjir adalah karena minimnya partisipasi dan literasi masyarakat terhadap lingkungan, sebab partisipasi masyarakat dan peningkatan literasi lingkungan merupakan kunci utama dalam menjaga keberlanjutan alam, khususnya hutan yang berperan vital bagi kehidupan manusia.
Hutan bukan hanya kumpulan pohon, melainkan sistem ekologis yang mengatur siklus air, menjaga kestabilan tanah, serta menjadi benteng alami dari bencana seperti banjir dan longsor. Ketika masyarakat tidak memahami fungsi ini, hutan mudah dipersepsikan semata-mata sebagai sumber ekonomi jangka pendek yang boleh dieksploitasi tanpa batas.
Literasi lingkungan yang rendah menyebabkan masyarakat sulit menyadari hubungan sebab-akibat antara kerusakan hutan dan bencana ekologis yang mereka alami sendiri. Banyak yang melihat banjir sebagai takdir alam, bukan sebagai konsekuensi dari pembukaan hutan, penambangan, atau alih fungsi lahan yang tidak terkendali. Akibatnya, kontrol sosial terhadap aktivitas perusakan lingkungan menjadi lemah, dan praktik eksploitasi terus berlangsung tanpa perlawanan keras dari warga sekitar.
Selain itu, masyarakat yang memiliki literasi lingkungan yang baik akan lebih aktif berpartisipasi dalam menjaga hutan dan lingkungannya. Kita tidak hanya mampu menolak praktik perusakan, tetapi juga terlibat dalam pengawasan, pelaporan, serta pengelolaan hutan berbasis komunitas.
Partisipasi ini menciptakan rasa kepemilikan bersama terhadap sumber daya alam, sehingga hutan dipandang sebagai warisan yang harus dijaga untuk generasi mendatang, bukan sekadar aset ekonomi sesaat.
Namun, partisipasi masyarakat tidak akan tumbuh tanpa dukungan negara dan pendidikan yang berkelanjutan. Pemerintah memiliki tanggung jawab besar untuk menyediakan akses informasi, pendidikan lingkungan sejak dini, serta ruang partisipasi yang nyata dalam pengambilan keputusan terkait pengelolaan hutan. Tanpa itu, ajakan menjaga lingkungan hanya akan menjadi slogan kosong yang tidak menyentuh akar persoalan.
Maraknya penanaman sawit dan dampak bencana yang dirasakan beriringan dengan teori sesosial yakni “Sistem Kapitalisme”, dimana pemerintah lebih mengutamakan untuk memberikan kekuasaan penuh terhadap pengelolaan alam kepada pihak swasta, elit global, pengusaha besar demi keuntungan yang diterima tanpa memikirkan dampak yang akan dirasakan masyakat kecil di sekitarnya, atau memberikan wewenang penuh kepada masyarakat kecil untuk menjaga alam dan habitat di sekitarnya.
Dalam kerangka pemikiran Marx misalnya, hubungan antara kapitalisme dan bencana ekologis dapat dipahami melalui logika dasar sistem produksi kapitalis yang berorientasi pada akumulasi modal. Marx melihat bahwa kapitalisme mendorong eksploitasi alam secara intensif karena alam diposisikan sebagai “bahan mentah” yang harus terus-menerus diubah menjadi komoditas demi menciptakan nilai dan keuntungan.
Pada titik ini, kapitalisme menciptakan apa yang disebut para pemikir eco-Marxist sebagai “metabolic rift” atau celah metabolik, yaitu keretakan hubungan antara manusia dan alam akibat tindakan manusia yang mengganggu siklus ekologis.
Dalam proses produksi kapitalis, tanah, hutan, air, dan sumber daya lainnya diperas untuk memenuhi kebutuhan pasar, tanpa memperhitungkan kemampuan alam untuk memulihkan dirinya. Ketika ekosistem rusak, kerentanannya meningkat dan menghasilkan bencana seperti banjir, longsor, kekeringan, dan polusi. Dengan demikian, dalam perspektif Marx, bencana ekologis bukanlah kejadian alamiah semata, melainkan hasil dari ketegangan struktural antara logika modal dan batas-batas ekologis.
Eco-socialism mengembangkan kritik Marxian ini dengan lebih menekankan keterhubungan antara ketidakadilan sosial dan kerusakan lingkungan. Para pemikir eco-socialist menganggap bahwa kapitalisme bersifat destruktif secara inheren karena mengejar pertumbuhan ekonomi tanpa batas, sesuatu yang secara ekologis mustahil dilakukan di planet dengan sumber daya terbatas.
Menurut perspektif ini, krisis ekologis tidak dapat diselesaikan hanya dengan teknologi atau kebijakan teknis seperti reboisasi parsial, sistem drainase baru, atau pembangunan tanggul. Masalahnya terletak pada struktur sistem ekonominya sendiri.
Eco-socialism menekankan perlunya transformasi relasi kepemilikan dan produksi, yaitu mengalihkan orientasi ekonomi dari pencarian laba menuju pemenuhan kebutuhan manusia dan kelestarian alam. Dengan kata lain, bencana ekologis seperti banjir tidak lepas dari ketidakadilan sosial: keuntungan ekonomi dari eksploitasi hutan dinikmati oleh elite ekonomi, sementara kerusakannya dirasakan oleh masyarakat kecil yang tidak ikut mendapatkan manfaat.
Perubahan menuju sistem yang lebih adil dan ekologis hanya dapat terjadi jika masyarakat diberikan kontrol demokratis terhadap sumber daya, sehingga pengelolaan alam tidak lagi digerakkan oleh logika keuntungan melainkan logika keberlanjutan.
Sementara itu, political ecology memberikan analisis yang lebih menekankan pada dimensi kekuasaan, politik, dan konflik kepentingan dalam hubungan manusia dan alam. Perspektif ini menolak melihat bencana ekologis sebagai hasil dari faktor alamiah atau teknis semata.
Sebaliknya, political ecology berpendapat bahwa siapa yang berkuasa menentukan bagaimana alam digunakan, siapa yang diuntungkan, dan siapa yang dirugikan. Dalam konteks kapitalisme, negara dan perusahaan besar memiliki pengaruh besar dalam menentukan tata guna lahan, pemberian izin, dan pengelolaan sumber daya.
Ketika kepentingan ekonomi-perusahaan mendapat prioritas, hutan dapat dialihfungsikan menjadi perkebunan, tambang, atau proyek infrastruktur tanpa mempertimbangkan dampak ekologis jangka panjang. Ketika hutan hilang, sungai kehilangan penyangga alami, tanah menjadi tidak stabil, dan sistem hidrologi terganggu, hal-hal yang secara langsung meningkatkan risiko banjir.
Political ecology juga memandang bagaimana dampak ekologis tidak dirasakan secara merata; masyarakat adat, petani kecil, dan kelompok miskin sering menjadi korban pertama dari bencana ekologis yang dihasilkan oleh keputusan politik dan ekonomi yang tidak mereka buat.
Ketiga perspektif ini saling melengkapi dan memperkuat kesimpulan bahwa kapitalisme secara struktural berkontribusi pada bencana ekologis. Marx melihat akar masalahnya dalam logika produksi kapitalis yang merusak metabolisme alam; eco-socialism menekankan bahwa solusi sejati membutuhkan transformasi sistem ekonomi agar selaras dengan batas-batas ekologis; sementara political ecology menunjukkan bahwa krisis ekologis juga merupakan krisis politik, di mana kekuasaan menentukan siapa yang merusak dan siapa yang menanggung akibat.
Dari ketiga perspektif tersebut, menjadi jelas bahwa bencana ekologis termasuk banjir yang meningkat intensitas dan frekuensinya tidak dapat dipahami hanya sebagai persoalan curah hujan atau faktor alam lainnya. Ia adalah produk dari relasi ekonomi-politik yang tidak seimbang, keputusan tata ruang yang tidak berkelanjutan, dan sistem produksi yang tidak memperhitungkan kelestarian ekosistem.
Melalui analisis ini, dapat dipahami bahwa krisis ekologis tidak mungkin diselesaikan tanpa mengkritisi dan mengubah struktur ekonomi-politik yang melandasinya. Selama alam diposisikan sebagai komoditas dan keuntungan jangka pendek menjadi tujuan utama, bencana seperti banjir akan terus berulang.
Sebaliknya, sebuah sistem yang mengutamakan keberlanjutan, keadilan ekologis, dan kontrol demokratis terhadap sumber daya memiliki potensi lebih besar untuk menciptakan hubungan yang harmonis antara manusia dan alam.
Namun dari hal ini kita patut menyadari, menjaga hutan bukan hanya tugas pemerintah atau aktivis lingkungan, tetapi tanggung jawab kolektif seluruh masyarakat. Dengan literasi lingkungan yang kuat dan partisipasi aktif warga, hutan dapat tetap berfungsi sebagai penyangga kehidupan dan pelindung dari bencana ekologis. Kesadaran ini menjadi fondasi penting bagi pembangunan yang adil, berkelanjutan, dan berorientasi pada keselamatan manusia serta kelestarian alam.
Oleh karena itu, bencana banjir yang terjadi bukan sekadar masalah cuaca atau fenomena alam semata, tetapi juga cerminan dari keputusan manusia terkait penggunaan lahan dan perlindungan lingkungan. Untuk mencegah tragedi serupa di masa depan, perlu ada perubahan mendasar dalam cara kita merencanakan pembangunan dan mengelola sumber daya alam.
Pemerintah, sektor swasta, serta masyarakat sipil harus bekerja sama mengutamakan keberlanjutan ekologis, penegakan hukum yang tegas terhadap deforestasi ilegal, serta kebijakan yang menempatkan keselamatan dan kesejahteraan publik di atas keuntungan jangka pendek.
Melalui sosial media, kita dapat berperan penuh untuk terus meramaikan setiap persoalan negara yang salah dikelola oleh pemerintah, karena tanpa diviralkan bukankah kita sulit mendapat keadilan? Selalu ada elemen tanggung jawab pemerintah dalam setiap kerugian dan kemtian yg terjadi akibat bencana. Because every disaster is political. Maka teruslah bersuara!





