Lingkaran Setan Abuse of Power di Lembaga Pendidikan: Siapa Melindungi Siapa?

Bayangan kekuasaan yang menutupi ruang pendidikan: saat lembaga belajar tak lagi melindungi, tetapi menekan. (GG)
Bayangan kekuasaan yang menutupi ruang pendidikan: saat lembaga belajar tak lagi melindungi, tetapi menekan. (GG)

Lembaga pendidikan sejatinya merupakan benteng terakhir dalam menjunjung tinggi moralitas dan keadilan. Ia seharusnya menjadi ruang aman untuk tumbuh-kembangnya nalar kritis, kreativitas, dan integritas. Namun, realitas kerap menunjukkan wajah yang berbeda.

Di balik slogan-slogan idealisme, praktik penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power masih marak terjadi dan bahkan telah membentuk sebuah sistem yang mengakar, sulit ditembus, dan terus melahirkan ketimpangan. Dalam lingkaran gelap ini, muncul pertanyaan mendasar: siapa yang seharusnya melindungi siapa?

Bacaan Lainnya

Fenomena abuse of power di dunia pendidikan telah menjadi masalah sistemik yang menjangkau berbagai jenjang, mulai dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Menurut data Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), terdapat 573 kasus kekerasan di lingkungan pendidikan sepanjang tahun 2024.

Angka ini meningkat lebih dari 100% dibandingkan tahun sebelumnya yang mencatat 285 kasus. Ironisnya, pelaku tertinggi bukan berasal dari luar institusi, tetapi justru dari dalam: guru, dosen, atau tenaga kependidikan lainnya.

Lebih mengkhawatirkan lagi, di balik setiap kasus kekerasan atau penyalahgunaan kekuasaan, tersimpan budaya victim blaming yang merasuki sistem pendidikan kita. Korban sering kali dipaksa menjawab pertanyaan yang menyudutkan moralitas mereka: “Mengapa tidak melapor sejak awal?”, “Apa buktinya?”, atau bahkan, “Apakah kamu berpakaian layak saat itu?” Di sini, institusi tampaknya lebih sibuk menjaga nama baik ketimbang menegakkan keadilan.

Pelaku sering kali hanya dijatuhi sanksi administratif seperti skorsing atau mutasi, bukan pemecatan permanen yang seharusnya membuat mereka jera. Ini tentu merupakan bentuk nyata dari pengkhianatan terhadap amanah publik.

Tak hanya berhenti pada kekerasan fisik atau verbal, penyalahgunaan kekuasaan juga menyasar kebebasan berpikir dan berpendapat. Banyak mahasiswa, dosen, bahkan guru yang harus menerima sanksi, ancaman nilai, atau penurunan jabatan hanya karena menyampaikan kritik terhadap kebijakan atau pimpinan institusi.

Suara intelektual yang seharusnya menjadi pilar perubahan justru dibungkam oleh tekanan struktural. Dalam banyak kasus, korban dikucilkan secara sosial maupun akademik. Karakter mereka dihancurkan perlahan melalui rumor, pemutarbalikan fakta, dan pengabaian sistematis, membuat mereka merasa terasing bahkan putus asa.

Masalah lain yang kerap disembunyikan adalah praktik nepotisme dan korupsi dalam pengelolaan lembaga pendidikan. Berdasarkan Survei Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan yang dirilis Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2024, ditemukan adanya penyimpangan dana BOS sebesar 12%, pungutan liar di 17% sekolah, serta nepotisme dalam 40% pengadaan barang dan jasa.

Tak kalah mengejutkan, 47% institusi diduga melakukan penggelembungan anggaran. Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah praktik jual-beli pengaruh, pengangkatan dosen titipan, serta proyek-proyek fiktif yang merusak integritas akademik.

Ini bukan sekadar soal dana, tetapi merupakan bentuk nyata pengkhianatan terhadap prinsip keadilan pendidikan. Ketika seseorang duduk di posisi yang tidak layak, seluruh sistem akan merasakan dampaknya.

Lantas, bagaimana cara memutus mata rantai penyalahgunaan kekuasaan ini? Apakah kita harus terus-menerus “memviralkan” kasus agar mendapat perhatian pihak berwenang? Pertanyaan ini menunjukkan betapa lemahnya mekanisme perlindungan internal dalam lembaga pendidikan.

Salah satu solusi yang perlu dipertimbangkan adalah menyelenggarakan pendidikan etika secara menyeluruh bagi seluruh civitas academica, mulai dari siswa, guru, mahasiswa, dosen, hingga pimpinan institusi.

Pendidikan ini harus melampaui pendekatan teoretis; perlu ada simulasi kasus, diskusi dilema moral, serta studi kasus nyata agar peserta mampu memahami secara mendalam dampak destruktif dari penyalahgunaan wewenang.

Selain itu, penerapan kebijakan zero tolerance terhadap abuse of power harus diberlakukan secara konsisten. Kebijakan ini tidak boleh sekadar menjadi jargon, tetapi harus diiringi mekanisme evaluasi publik berkala yang dilakukan oleh pihak independen di luar institusi. Hasil pemeriksaan, termasuk rincian kasus dan sanksi terhadap pelaku, harus dapat diakses publik tanpa mengorbankan kerahasiaan identitas korban.

Perlindungan terhadap korban juga harus dipastikan berada di luar kendali institusi tempat mereka mengalami kekerasan. Pengawasan harus dilakukan oleh lembaga etik eksternal yang bebas dari konflik kepentingan dan memiliki wewenang investigatif penuh. Dukungan hukum dan pendampingan psikologis juga wajib diberikan untuk menjaga kondisi mental korban agar tetap kuat dalam menghadapi tekanan struktural.

Solusi tambahan yang sangat penting adalah mewajibkan audit etika berkala oleh tim independen. Evaluasi ini bertujuan untuk menilai penanganan laporan, penerapan aturan etik, serta mendeteksi pola penyimpangan tersembunyi. Pemimpin lembaga pendidikan harus bertanggung jawab secara langsung terhadap hasil evaluasi tersebut.

Lingkaran setan penyalahgunaan kekuasaan tidak akan pernah berhenti jika kita terus membiarkan ketakutan, kompromi, dan pembiaran menjadi norma. Perubahan tidak akan datang hanya dari atas; ia harus diperjuangkan oleh mereka yang selama ini menjadi saksi bisu dan korban dari sistem yang timpang. Dalam situasi seperti ini, hanya keberanian untuk bersuara, solidaritas antar korban, serta komitmen masyarakat yang dapat mengakhiri kezaliman yang dibungkus dalam nama pendidikan.


Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *