Madura, Tanah Para Wali atau Para Raja?

Opini Muhammad Hilal
Opini Muhammad Hilal

Madura bukan hanya sebuah pulau di timur laut Jawa. Ia adalah ruang simbolik yang hidup antara langit doa dan tanah darah. Di sana, agama tidak sekadar diyakini, melainkan dijalani dengan ikatan emosional, sosial, bahkan politis yang sangat kuat.

Tapi pertanyaannya: apakah Madura adalah tanah para wali, tempat kesalehan spiritual tumbuh dan bersemi? Ataukah ia adalah tanah para raja, tempat kekuasaan agama menjelma menjadi kekuatan dominasi sosial dan politik?

Bacaan Lainnya

Pertanyaan ini bukan sekadar persoalan dikotomi, tetapi lebih merupakan ajakan untuk berefleksi. Kita diminta membaca ulang bagaimana agama dimaknai dan dijalankan oleh masyarakat Madura. Di sinilah filsafat menjadi penting—bukan sebagai jalan keluar instan, tetapi sebagai cahaya penimbang dalam gelapnya bias simbol dan otoritas yang mengakar.

Dalam sosiologi klasik, Émile Durkheim memandang agama sebagai ekspresi solidaritas sosial, tempat simbol-simbol suci memperkuat identitas kolektif. Dalam konteks Madura, simbol agama tidak hanya memperkuat identitas, melainkan juga menjadi alat legitimasi moral dan politik yang kuat.

Fenomena ini terasa nyata dalam eksistensi pesantren, yang tidak hanya menjadi institusi pendidikan keislaman, tetapi juga pusat orbit kekuasaan sosial.

Para kyai tidak hanya berperan sebagai guru spiritual, tetapi juga menjadi tokoh karismatik yang disegani, ditaati, bahkan dijadikan rujukan utama dalam segala aspek kehidupan masyarakat. Dalam situasi ini, agama menjelma menjadi struktur kekuasaan yang kompleks.

Namun muncul pertanyaan filosofis: apakah kekuasaan itu bersifat kenabian dan membebaskan seperti para wali? Ataukah telah menyerap unsur “kerajaan” yang lebih hierarkis, absolut, dan terkadang menindas?

Dalam sejarah Islam Nusantara, para wali dikenal sebagai figur yang menyebarkan agama dengan pendekatan damai, simbolik, dan filosofis. Mereka tidak membawa pedang, tetapi menebar hikmah lewat syair dan suluk.

Mereka bukan penguasa yang menindas, tetapi penuntun batin masyarakat yang membebaskan. Jika Madura adalah tanah para wali, maka agama seharusnya hadir sebagai jalan pencerahan moral dan transformasi sosial yang adil dan terbuka.

Di titik inilah, filsafat agama memiliki peran mendasar: sebagai kritik terhadap dogmatisme dan pendorong pembebasan spiritual. Namun, kenyataan di lapangan tidak selalu mencerminkan idealisme ini. Kadangkala otoritas keagamaan justru membungkam kritik, menutup ruang diskusi, dan memperalat simbol agama demi kepentingan politik lokal.

Filsuf Michel Foucault menjelaskan bahwa kekuasaan tidak hanya hadir dalam bentuk fisik, tetapi juga simbolik—dalam bahasa, ritual, dan pengetahuan. Di Madura, kekuasaan keagamaan sering muncul melalui ritualisasi: dari haul besar-besaran, pengkultusan terhadap kyai, hingga pola relasi santri-klien yang sangat patronistik. Di satu sisi, hal ini menciptakan stabilitas sosial. Namun di sisi lain, ia juga berpotensi mematikan daya kritis dan menutup ruang filsafat.

Agama tidak lagi dipahami sebagai jalan pencarian kebenaran, melainkan sebagai sarana untuk mempertahankan status quo. Dalam model ini, kyai bukan lagi pembimbing spiritual, tetapi raja simbolik yang menguasai bukan hanya masjid, melainkan juga arena politik dan ekonomi lokal.

Fenomena ini tampak jelas ketika kita melihat betapa besar pengaruh tokoh agama dalam perhelatan politik seperti pilkada. Mereka tidak sekadar memberikan restu, tetapi menentukan arah dukungan massa, bahkan memengaruhi distribusi ekonomi. Di titik ini, filsafat mempertanyakan: apakah ini bentuk keberhasilan agama dalam kehidupan publik, atau justru penyelewengan terhadap makna spiritualnya?

Filsafat moral mengajarkan bahwa otoritas sejati lahir dari nilai dan konsistensi moral, bukan semata-mata dari posisi atau garis keturunan. Namun dalam konteks budaya patronase yang melekat di banyak pesantren, loyalitas sering dibangun berdasarkan kharisma dan warisan simbolik, bukan pada integritas. Ini menciptakan apa yang bisa disebut sebagai “feodalisme rohani”—masyarakat lebih banyak ikut tanpa berpikir, tunduk tanpa bertanya.

Dalam filsafat Islam klasik, pemikir seperti Al-Farabi dan Ibnu Rusyd menekankan pentingnya akal dalam beragama. Namun dalam praktik keagamaan lokal, akal seringkali dipinggirkan. Kritik terhadap kyai bisa dianggap dosa atau bahkan penghinaan terhadap agama. Maka lahirlah suatu bentuk “otoritarianisme spiritual,” di mana ketaatan menjadi lebih utama daripada pemahaman.

Pertanyaan filosofis yang sejati tidak pernah nyaman. Ia menggugat, mengusik, bahkan dianggap sesat oleh mereka yang menikmati kenyamanan status quo. Tapi di sinilah letak kekuatan filsafat agama: ia menyalakan kembali makna dari dalam, dari kedalaman spiritual, bukan dari permukaan simbolik semata.

Di Madura, keberanian untuk bertanya adalah awal dari pembebasan. Pertanyaan-pertanyaan seperti: apakah otoritas agama benar-benar membimbing ke jalan kebenaran, atau justru memelihara kekuasaan? Apakah simbol-simbol agama masih menjadi jembatan menuju Tuhan, atau telah berubah menjadi ornamen kosong demi pengaruh politik?

Madura tidak harus memilih antara menjadi tanah para wali atau para raja. Ia bisa menjadi keduanya—asal kekuasaan dijalankan berdasarkan kebijaksanaan spiritual, bukan dominasi simbolik. Di sinilah peran filsafat menjadi sangat relevan: mengkritik ketika agama terlalu larut dalam kekuasaan, dan membimbing ketika agama kehilangan arah moralnya.

Filsafat agama tidak hadir untuk menyaingi iman, melainkan untuk menyucikannya dari kerak kekuasaan yang menempel. Dan Madura, dengan segala kompleksitas sosial, politik, dan spiritualnya, layak dipandang bukan hanya sebagai tanah religius, tetapi juga sebagai ladang kontemplasi dan refleksi filosofis yang mendalam.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *