Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki peran sentral dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, khususnya sebagai penjaga konstitusi (the guardian of the constitution). Keberadaannya sangat penting dalam memastikan bahwa produk hukum, terutama undang-undang, tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Selain itu, MK juga berfungsi sebagai penengah dalam sengketa kewenangan antar lembaga negara serta sebagai pelindung hak konstitusional warga negara melalui mekanisme pengujian undang-undang (judicial review).
Gagasan pembentukan MK mulai menguat di era Reformasi, ketika UUD 1945 mengalami serangkaian perubahan. Namun, pemikiran mengenai judicial review sebenarnya telah ada sejak perumusan UUD 1945 oleh BPUPK. Prof. Muhammad Yamin, salah satu anggota BPUPK, mengusulkan agar “Balai Agung” atau Mahkamah Agung diberi kewenangan untuk membanding undang-undang.
Namun, usulan tersebut ditolak oleh Soepomo dengan beberapa alasan penting. Pertama, UUD 1945 tidak menganut konsep pemisahan kekuasaan (separation of power) melainkan pembagian kekuasaan (distribution of power). Kedua, menurutnya, tugas hakim adalah menerapkan undang-undang, bukan mengujinya.
Ketiga, pemberian kewenangan kepada hakim untuk menguji undang-undang dianggap bertentangan dengan konsep supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sehingga wacana judicial review tidak diadopsi pada saat itu.
Saat Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) berlaku, judicial review sempat diberikan kepada Mahkamah Agung, meski terbatas hanya untuk menguji Undang-Undang Negara Bagian terhadap konstitusi.
Hal ini diatur dalam Pasal 156 hingga 158 Konstitusi RIS. Namun, ketika UUD Sementara 1950 diberlakukan, tidak ada lembaga yang berwenang menguji undang-undang, karena dalam pandangan saat itu, undang-undang dianggap sebagai manifestasi langsung dari kedaulatan rakyat yang dijalankan oleh pemerintah dan DPR.
Kedudukan, Fungsi, dan Wewenang Mahkamah Konstitusi RI
Secara umum, kekuasaan negara diklasifikasikan ke dalam tiga cabang: legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Meskipun struktur kelembagaan negara kini berkembang dengan kompleksitas tinggi, tiga cabang kekuasaan tersebut tetap menjadi pilar utama organisasi negara. Kekuasaan yudikatif dimaknai sebagai kekuasaan kehakiman, yang dalam konteks ini dijalankan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, Mahkamah Konstitusi memiliki fungsi konstitusional yang khusus, yakni menegakkan hukum dan keadilan dengan ukuran utama berupa konstitusi. Berbeda dari Mahkamah Agung yang menafsirkan dan menegakkan hukum secara umum, MK menafsirkan dan menegakkan keadilan berdasarkan konstitusi sebagai norma dasar, yang mencakup prinsip-prinsip negara hukum, demokrasi, perlindungan hak asasi manusia, serta hak-hak konstitusional warga negara.
Dalam Penjelasan Umum UU tentang MK dijelaskan bahwa MK dibentuk untuk menangani perkara konstitusional tertentu demi menjaga agar konstitusi dilaksanakan secara bertanggung jawab dan sesuai dengan kehendak rakyat serta cita-cita demokrasi. Selain itu, MK juga hadir sebagai koreksi atas pengalaman buruk ketatanegaraan masa lalu yang disebabkan oleh penafsiran konstitusi yang ganda dan multitafsir.
Fungsi Mahkamah Konstitusi dijalankan melalui wewenang yang diberikan, yakni memeriksa, mengadili, dan memutus perkara-perkara tertentu berdasarkan pertimbangan konstitusional. Oleh karena itu, setiap putusan MK merupakan hasil dari penafsiran konstitusi yang bersifat final dan mengikat.
Dalam pelaksanaannya, MK memiliki lima fungsi utama yang dapat dirinci sebagai berikut: sebagai penjaga konstitusi (the guardian of the constitution), penafsir akhir konstitusi (the final interpreter of the constitution), pelindung hak asasi manusia (the protector of human rights), pelindung hak konstitusional warga negara (the protector of citizen’s constitutional rights), dan pelindung demokrasi (the protector of democracy).
Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Pengaruhnya terhadap Sistem Hukum
Mahkamah Konstitusi berwenang menangani perkara tingkat pertama dan terakhir, dengan putusan yang bersifat final dan mengikat, khususnya dalam pengujian konstitusionalitas undang-undang terhadap UUD 1945. Salah satu isu penting dalam praktik ketatanegaraan adalah bagaimana MK menyikapi undang-undang pengesahan perjanjian internasional.
Dalam sistem hukum Indonesia, pengesahan perjanjian internasional harus dilakukan melalui undang-undang yang disetujui oleh DPR dan Presiden. Namun, apakah undang-undang pengesahan tersebut dapat diuji materiil oleh MK menjadi pertanyaan yang terus berkembang.
Dalam hal ini, muncul pertimbangan apakah undang-undang pengesahan merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan yang tunduk pada mekanisme pengujian berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011.
Jika ya, maka MK memiliki wewenang untuk mengujinya. Ini menjadi salah satu bukti bahwa MK memiliki posisi strategis dalam memastikan bahwa peraturan hukum, baik nasional maupun internasional yang diadopsi, tetap sejalan dengan konstitusi.
MK juga menegakkan prinsip independensi dan imparsialitas dalam setiap proses persidangan. Prinsip-prinsip ini menjadi landasan moral dan hukum agar putusan yang dihasilkan benar-benar mencerminkan keadilan dan kebebasan dari intervensi kekuasaan lain. Dimensi independensi ini mencakup aspek fungsional, struktural, dan personal.
Untuk menjaga prinsip tersebut, Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi. Peraturan ini menjadi panduan etik dalam menjaga martabat dan integritas hakim konstitusi, serta memperkuat batasan yang tegas dalam menjalankan tugas peradilan secara profesional dan independen.
Mahkamah Konstitusi bukan sekadar lembaga hukum biasa, melainkan institusi vital yang menjaga marwah konstitusi, memastikan praktik demokrasi berjalan dalam rel yang benar, dan melindungi setiap hak dasar warga negara. Dengan kewenangan yang besar dan fungsi yang strategis, MK harus terus bertransformasi menjadi lembaga yang kredibel, independen, dan responsif terhadap dinamika ketatanegaraan.
Peran Mahkamah Konstitusi akan semakin krusial di masa depan, ketika tantangan terhadap supremasi hukum, hak asasi manusia, dan prinsip demokrasi semakin kompleks. Oleh karena itu, komitmen terhadap penegakan konstitusi secara konsisten dan bertanggung jawab harus menjadi landasan utama dalam setiap langkah dan keputusan MK.
Mata Kuliah : Sistem Hukum Indonesia
Dosen pengampu : Bpk. Dr. Herdi Wisman Jaya, S.Pd.,M.H





