Dalam bukunya yang berjudul “Teori Sastra: Struktur, Metode, dan Pengkajian”, Jakob Sumardjo (1988) menulis: Psikologi karya menganggap karya sastra sebagai ekspresi batin pengarang yang diungkapkan melalui media bahasa atau stilistika yang termaktub dalam puisi. Penulis memanfaatkan karakter-karakter dan cerita dalam karyanya untuk mencerminkan kondisi psikologis baik itu secara langsung maupun tersirat. Penjelasan ini menggambarkan bahwa kritik sastra psikologi mencoba menggali unsur-unsur psikologis yang tersembunyi dalam teks sastra, yang memang menitikberatkan analisis pada karya itu sendiri.
Membaca sebuah puisi harus memiliki nilai objektif terhadap karya. Karena, selain melakukan pembacaan dekat, pembaca juga dapat memahami bagaimana stilistika yang dianut oleh pengarang. Pendekatan yang akan digunakan dalam analisis puisi kali ini adalah pendekatan psikologi karya.
Puisi “Hatiku Selembar Daun” karya Sapardi Djoko Damono sangat relevan untuk dianalisis menggunakan pendekatan ini. Dengan pilihan kata yang sederhana tetapi sarat makna, puisi ini mencerminkan renungan mendalam tentang kehidupan, kefanaan, dan momen-momen reflektif yang sering terlewatkan. Melalui pendekatan psikologi karya, kita dapat menyelami bagaimana karya ini mencerminkan kondisi emosional atau kejiwaan yang mungkin dialami oleh pengarangnya.
Karya-karya Sapardi, termasuk puisi ini, sering mencerminkan pandangan hidup yang reflektif dan penuh renungan. Melalui pilihan metafora dan tema yang diusung, ia seakan-akan ingin mengajak pembaca untuk lebih peka terhadap momen-momen sederhana dalam kehidupan yang sarat akan metafor.
Sebagai individu, Sapardi memiliki pandangan yang mendalam tentang kehidupan dan kefanaan yang sering tercermin dalam puisinya. Latar belakang budaya Jawa yang penuh filosofi, ditambah dengan pengaruh dunia modern, memberikan dimensi psikologis yang kompleks pada karyanya. Puisi “Hatiku Selembar Daun” adalah salah satu contohnya, yang mencerminkan kesadaran penuh akan kefanaan dan pentingnya menghargai waktu.
“Hatiku Selembar daun” merupakan salah satu dari kumpulan puisi yang bertajuk “Sihir Hujan” menggunakan pendekatan psikologi karya. Karena dalam analisis ini saya menemukan kisah yang mengulas tentang sesososk yang sedang patah hati. Jadi dapat disimpulkan puisi ini mengandung tema tentang seseorang yang sedang mengalami patah hati.
Hatiku Selembar Daun (Sapardi Djoko Damono)
Hatiku selembar daun melayang jatuh di rumput;
Nanti dulu, biarkan aku sejenak berbaring di sini;
Ada yang masih ingin kupandang, yang selama ini senantiasa luput
Sesaat adalah abadi sebelum kausapu tamanmu setiap pagi.
Sihir Hujan, 1984
Dewan Bahasa & Pustaka
/Hatiku selembar daun melayang jatuh di rumput/
Pada larik pertama terdapat klausa “hatiku” yang menyiratkan “ku” atau kata ganti “aku”. Partikel tersebut dapat kita katakan bahwa partikel “ku” yang tidak lain yaitu aku-lirik yang sedang merenung. Namun, dalam larik pertama terdapat dua terma dalam kalimat ini yaitu “hatiku” dan “selembar daun” akan bertentangan jika dimaknai secara harfiah.
Sebab, kata “hati” merupakan sebuah organ badan yang terdapat di dalam tubuh bukanlah selembar daun yang merupakan bagian tumbuhan. Sebelumnya perlu kita ketahui bahwa dalam larik pertama terdapat partikel “ku” yang menjadi dasar adanya ketegangan antara kedua terma tersebut. Oleh karena itu, untuk memperoleh makna yang mungkin perlu dilakukan sebuah penyerupaan pada penafsiran tersebut.
Kedua terma tersebut “hatiku” dan “selembar daun” menjadi serupa karena dalam puisi ini aku-lirik ingin menyampaikan sebuah perasaannya yang mati. Di mana aku-lirik mengibaratkan hatinya merupakan sebuah selembar daun yang melayang atau terbang karena diembus angin yang akan jatuh pada rumput.
Hal itu dapat memungkinkan bahwa “hatiku selembar daun melayang jatuh di rumput” seakan-akan aku-lirik menyampaikan bahwa pada larik pertama ini menandakan seseorang yang patah hati. Jika ditarik ke yang harfiah, daun yang jatuh sudah dapat dijumpai di kehidupan nayat, bahwa daun yang kering, secara otomatis adalah daun yang mati, namun, metaphor daun untuk menggantikan hati ditaja seakan itu memang benar-benar daun biasa yang jatuh.
Selanjutnya, untuk mendukung larik pertama dapat dilihat pada bagian larik kedua dan larik ketiga: “nanti dulu, biarkan aku sejenak terbaring di sini/ ada yang masih ingin kupandang, yang selama ini senantiasa luput”.
Pada larik kedua, frasa ”nanti dulu, biarkan aku sejenak terbaring di sini” terdapat partikel “aku” yang merujuk pada aku-lirik. Oleh karena itu, pada larik kedua ini menjelaskan bahwa si aku-lirik meminta mohon untuk berdiam sejenak sebelum melanjutkan perpisahan. Ia ingin sejenak berdiam, mungkin untuk bernafas, mengingat, dan berlarat-larat? Saya pun kurang tahu pasti. Tapi mari coba lanjut pada lrik berikutnya.
Kemudian pada larik ketiga “ada yang masih ingin kupandang, yang selama ini senantiasa luput”. Partikel “ku” atau kata ganti “aku” pada kata “kupandang” juga merujuk pada aku-lirik. Dalam larik ini si aku-lirik melanjutkan hasrat setelah berdiam sejenak, yaitu ingin memandang seseorang yang merujuk pada kekasihnya yang sebentar lagi akan berpisah, kemudian ingin menyelesaikan sesuatu yang belum terselesaikan sebelumnya, hal ini konkrit dengan klausa “yang selama ini senantiasa luput”, seolah-olah ada hal yang belum terealisi.
Baca Juga: Realitas Manusia Dalam Puisi “Hujan Badai”
Di mana seseorang masih ingin melihat (memandang) atau melakukan sesuatu yang belum pernah ia kerjakan atau dilihatnya. Atau bisa jadi secara implisit ia hanya mengimajinasikan seseorang, atau memandang foto? Tidak ada yang tahu kejelasan tersebut. Entah untuk memandang apa aku-lirik dalam puisi ini saya tidak tahu.
Pada larik keempat “sesaat adalah abadi sebelum kausapu tamanmu setiap pagi” ini memiliki dua terma yaitu “sesaat” dan “abadi” akan bertentangan jika dimaknai gamblang. Sebab “sesaat” merupakan imbuhan dari kata saat yang mana “saat” menyatakan sebuah konjungsi yang menyatakan waktu, jika diterjemahkan pada kata “sesaat” berarti waktu yang sebentar bukanlah “abadi” yang merupakan kekal.
Adapun predikat “adalah” yang menjadi perantara terjadinya ketegangan atau kesalahan kategori diantara kedua terma tersebut. Oleh karena itu, untuk memperoleh makna yang mungkin perlu dilakukan sebuah penyerupaan pada penafsiran larik tersebut.
Sesaat adalah abadi merupakan frasa yang mengandung nilai filosofis. “Sesaat adalah abadi” merupakan kata yang paradoks. Mungkin jika berkaca pada larik sebelumnya, sesaat yang dimaksud aku-lirik adalah untuk mengenang sebentar untuk melupakan selamanya.
Baca Juga: Kekejaman Para Penguasa dalam Puisi Bur Rasuanto
Kedua terma tersebut menjadi serupa dalam puisi ini dimana “sesaat adalah abadi” mengandung makna sesuatu hal yang dilakukan dalam kurun waktu tertentu yang sangat berharga namun pada akhirnya menyisakan sebuah kenangan yang membekas, kenangan yang sulit untuk dilupakan dalam hitungan hari sehingga kenangan yang dilalui bersamanya akan bersifat abadi dalam ingatannya.
“Sebelum kau sapu tamanmu setiap pagi” partikel “kau” dalam klausa ini merujuk pada kekasih yang dimaksud si aku lirik, dalam klausa ini menjelaskan bahwa kenangan itu terhapus secara perlahan. “tamanmu” partikel “mu” merujuk pada seseorang yang menyimpan kenangan yang akan tersapu atau perlahan hilang.
“Taman” secara implisit adalah kenangan yang pernah tertanam. “disapu” merupakan kata kerja yang digunakan untuk membersihkan sesuatu. Apa yang dibersihkan? Debu-debu? Atau kenangan yang pernah dilalui aku-lirik?





