Maraknya Rasisme dan Bullying di Kalangan Remaja SMP: Cermin Buram Dunia Pendidikan di Pekalongan

Melambangkan banyaknya korban bullying dan rasisme yang memilih diam karena takut, meski di dalam diri mereka masih tersimpan harapan untuk diterima apa adanya.
Melambangkan banyaknya korban bullying dan rasisme yang memilih diam karena takut, meski di dalam diri mereka masih tersimpan harapan untuk diterima apa adanya.

Fenomena rasisme dan bullying di kalangan remaja, khususnya di jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP), kini menjadi isu yang tak bisa lagi dipandang sebelah mata. Di Kota Pekalongan, beberapa kasus mulai terungkap melalui laporan sekolah maupun unggahan media sosial yang viral.

Dua perilaku ini bukan sekadar kenakalan remaja, melainkan persoalan sosial yang kompleks dan berakar dalam meninggalkan luka psikologis, menurunkan rasa percaya diri, serta merusak tatanan moral generasi muda.

Bacaan Lainnya

Kasus-kasus yang muncul menjadi cermin betapa lemahnya kontrol sosial di kalangan pelajar. Banyak siswa dengan mudah meniru perilaku diskriminatif dari lingkungan sekitar atau konten digital yang mereka konsumsi setiap hari.

Rasisme kerap hadir dalam bentuk ejekan terkait warna kulit, logat bicara, atau asal daerah. Sementara itu, bullying muncul dalam berbagai rupa: kekerasan fisik, verbal, hingga cyberbullying yang semakin sulit dikendalikan.

Penelitian Nisrina Syadza dan Inhastuti Sugiasih (2017) di salah satu SMP di Pekalongan menunjukkan adanya kaitan erat antara konformitas kelompok dengan perilaku perundungan di media sosial. Siswa yang ingin diterima dalam kelompok tertentu sering kali meniru tindakan negatif, bahkan ketika hal itu menyakiti orang lain. Temuan ini memperlihatkan bahwa akar permasalahan bullying dan rasisme jauh lebih dalam dari sekadar “iseng” atau “candaan.”

Fenomena ini tidak muncul begitu saja. Berbagai kajian seperti yang diungkapkan oleh Andriyani et al. (2024) dan Rachmawati (2024) menyebutkan empat faktor utama yang mendorong perilaku menyimpang di kalangan remaja: keluarga, teman sebaya, lemahnya pengawasan sekolah, serta paparan media digital yang berlebihan.

Pertama, keluarga merupakan sekolah pertama bagi anak. Ketika pola asuh terlalu otoriter atau sebaliknya terlalu permisif, anak kehilangan kemampuan untuk berempati dan mengontrol diri. Minimnya kasih sayang membuat sebagian anak melampiaskan kemarahan melalui kekerasan atau diskriminasi terhadap teman yang dianggap berbeda.

Kedua, tekanan teman sebaya menjadi faktor kuat. Di usia remaja, kebutuhan untuk diterima oleh kelompok sangat besar. Dalam kondisi itu, remaja bisa saja ikut melakukan bullying agar dianggap “kompak” dengan teman-temannya.

Studi di SMP X Pekalongan menemukan bahwa siswa dengan tingkat konformitas tinggi cenderung mengikuti perilaku kelompok, bahkan ketika hal itu bertentangan dengan nilai moral.

Ketiga, pengawasan sekolah yang lemah memperparah situasi. Tidak sedikit guru yang menganggap perundungan sebagai hal lumrah, bagian dari dinamika sosial antar siswa. Padahal, sikap abai semacam ini justru menormalisasi kekerasan di lingkungan pendidikan.

Keempat, pengaruh media sosial menjadi variabel yang tak bisa diabaikan. Platform seperti TikTok, Instagram, dan X (Twitter) kerap menjadi ruang subur bagi munculnya ujaran kebencian dan konten diskriminatif. Menurut Rachmawati (2024), bentuk-bentuk cyberbullying justru lebih berbahaya karena meninggalkan jejak digital yang terus bisa diakses dan mempermalukan korban dalam jangka panjang.

Rasisme dan bullying memiliki dampak multidimensi. Dari sisi psikologis, korban kerap mengalami trauma, depresi, hingga gangguan kecemasan yang berkepanjangan. Banyak siswa yang kehilangan semangat belajar, bahkan memilih untuk tidak masuk sekolah. Dalam beberapa kasus ekstrem di Indonesia, perundungan bahkan berujung pada tindakan bunuh diri.

Secara sosial, fenomena ini mengikis nilai-nilai toleransi dan solidaritas di lingkungan sekolah. Ketika ejekan dan penghinaan dianggap “biasa,” maka budaya saling menghormati pun perlahan hilang. Dalam jangka panjang, situasi semacam ini dapat menciptakan siklus kekerasan baru melahirkan generasi yang terbiasa menindas dan ditindas.

Mengatasi rasisme dan bullying tentu tidak cukup dengan hukuman semata. Diperlukan pendekatan kolaboratif antara keluarga, sekolah, dan masyarakat. Pihak sekolah harus menegakkan kebijakan anti-bullying yang jelas dan menyediakan ruang pengaduan aman bagi siswa korban, sebagaimana disarankan oleh Andriyani et al. (2024). Guru juga harus berperan sebagai figur teladan yang menanamkan nilai toleransi dan empati dalam setiap interaksi di kelas.

Orang tua pun memiliki peran vital. Pengawasan terhadap aktivitas anak, baik di dunia nyata maupun digital, perlu dilakukan dengan pendekatan komunikasi terbuka, bukan sekadar kontrol ketat. Dengan cara ini, anak dapat belajar membedakan mana perilaku yang pantas dan mana yang menyakiti orang lain.

Selain itu, pemerintah daerah bersama sekolah bisa mengadakan program edukasi digital dan kampanye anti-diskriminasi. Pelatihan empati, seminar tentang literasi media, dan lomba bertema keberagaman bisa menjadi cara efektif untuk menumbuhkan kesadaran sejak dini.

Rachmawati (2024) menekankan bahwa pendekatan emosional dan partisipatif lebih berhasil menumbuhkan kesadaran daripada sekadar ancaman hukuman.

Yang tak kalah penting adalah keberadaan layanan konseling di sekolah. Banyak korban bullying memilih diam karena takut atau malu. Kehadiran konselor dapat menjadi tempat aman bagi mereka untuk bercerita dan mendapatkan dukungan psikologis yang memadai.

Rasisme dan bullying yang terjadi di SMP Pekalongan menjadi alarm bagi dunia pendidikan. Sekolah seharusnya menjadi tempat yang aman untuk tumbuh, bukan arena kekerasan yang menekan keberagaman. Upaya membangun budaya sekolah yang inklusif harus dimulai dari kesadaran kolektif bahwa setiap anak berhak untuk diterima tanpa memandang warna kulit, asal daerah, atau latar belakang sosialnya.

Mencegah rasisme dan bullying berarti melindungi masa depan bangsa. Dengan membangun lingkungan belajar yang menghargai perbedaan, menanamkan nilai kemanusiaan sejak dini, serta menghadirkan ruang aman bagi semua siswa, kita sedang menyiapkan generasi muda yang berani, berempati, dan menjunjung tinggi nilai persaudaraan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *