Marriage-Free Jadi Pilihan Gen Z?

Ilustrasi foto/int
Ilustrasi foto/int

Bukan Gen Z namanya jika tidak membawa gebrakan baru. Generasi ini kerap dikenal sebagai kelompok yang enggan hanya sekadar ikut arus. Lahir di tengah pesatnya perkembangan teknologi, Gen Z tumbuh dengan akses mudah ke informasi yang memengaruhi berbagai aspek kehidupan, mulai dari sosial, agama, hingga budaya. Teknologi yang canggih dan keterbukaan pengetahuan menjadi salah satu faktor mengapa generasi ini memiliki cara pandang yang berbeda, termasuk soal pernikahan.

Jika dahulu menikah setelah lulus sekolah adalah fenomena umum, terutama di pedesaan, kini pola pikir tersebut mulai ditinggalkan. Gen Z lebih memilih melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi atau mengejar karier impian mereka. Narasi yang sering muncul di media sosial, seperti “lebih baik salah jalan daripada salah pasangan,” atau “marriage is scary,” menjadi gambaran keresahan generasi ini terhadap institusi pernikahan.

Bacaan Lainnya

Banyak faktor yang membuat Gen Z menunda pernikahan, bahkan memilih untuk tidak menikah seumur hidup. Faktor internal seperti trauma masa kecil kerap menjadi alasan utama. Pengalaman buruk melihat keluarga mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), perselingkuhan, perceraian, atau perlakuan tidak adil, menciptakan ketakutan mendalam terhadap pernikahan. Kekhawatiran bahwa pola buruk tersebut akan terulang dalam kehidupan mereka, membuat sebagian besar Gen Z ragu untuk melangkah ke jenjang tersebut.

Selain itu, kepercayaan terhadap cinta atau hubungan jangka panjang pun sering kali memudar. Banyak yang merasa tidak yakin bahwa pernikahan akan membawa kebahagiaan atau solusi atas masalah hidup mereka. Bagi sebagian besar Gen Z, kebahagiaan bisa diraih tanpa harus melalui institusi pernikahan.

Faktor eksternal seperti pola pikir realistis juga memengaruhi. Berita viral di media sosial kerap menyoroti kisah-kisah pernikahan yang memprihatinkan. Contohnya, perempuan yang kesulitan mengurus diri karena penghasilan keluarga hanya cukup untuk makan, suami yang lebih memprioritaskan keluarganya dibanding istri dan anak, atau pasangan yang harus tinggal serumah dengan mertua yang menciptakan konflik. Kisah-kisah ini menjadi pengingat bagi Gen Z bahwa pernikahan bukanlah hal yang sederhana.

Baca Juga: Upaya Pemerintah Daerah Ibukota Jakarta dalam Membenahi Sampah Plastik dan Memperbaiki Lingkungan

Dalam pandangan Gen Z, menikah membutuhkan persiapan matang. Bukan hanya kesiapan mental dan emosional, tetapi juga finansial. Mereka percaya bahwa rumah tangga seharusnya menjadi tanggung jawab bersama, bukan hanya istri yang mengurus pekerjaan rumah tangga, tetapi suami juga turut serta.

Selain itu, pola asuh anak yang baik dan perencanaan keuangan yang matang menjadi perhatian serius. Pernyataan seperti “memiliki anak dalam keadaan miskin adalah kejahatan” menjadi refleksi betapa pentingnya kesejahteraan sebelum memutuskan menikah atau memiliki anak.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan penurunan angka pernikahan di Indonesia selama tiga tahun terakhir. Pada 2021, jumlah pernikahan mencapai 1,74 juta. Pada 2022, angkanya turun menjadi 1,70 juta, dan pada 2023, kembali menurun drastis menjadi 1,58 juta. Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, angka pernikahan di Indonesia menyusut 28,63%, atau setara dengan 632.791 kasus.

Usia menikah juga mengalami peningkatan. Pada 2012, rata-rata usia menikah di Indonesia adalah 20 tahun, sedangkan pada 2023 menjadi 22,3 tahun. Kebijakan usia minimal perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 turut berperan dalam fenomena ini.

Baca Juga: Wajah Buram di Balik Surga: Bisnis Udang Hancurkan Ekosistem Karimunjawa

Namun, tren perceraian justru meningkat. Pada 2023, angka perceraian mencapai 460 ribu kasus. Meski menurun dibandingkan tahun sebelumnya, tren kenaikan ini tetap menjadi perhatian. Jika dibandingkan dengan tahun 2015 yang mencatat 340 ribu kasus, peningkatan ini cukup signifikan. Rekor tertinggi angka perceraian tercatat pada 2022, dengan jumlah 500 ribu kasus.

Dengan segala tantangan yang ada, penurunan angka pernikahan di kalangan Gen Z sebenarnya mencerminkan keinginan untuk mempersiapkan kehidupan yang lebih baik. Generasi ini tidak ingin terburu-buru dalam mengambil keputusan besar seperti menikah tanpa kesiapan yang memadai. Mereka ingin memastikan bahwa pernikahan tidak hanya sekadar formalitas, tetapi juga membawa kesejahteraan dan kebahagiaan.

Pandangan ini menegaskan bahwa bagi Gen Z, menikah bukanlah tujuan utama dalam hidup. Sebaliknya, mereka lebih fokus pada pengembangan diri, baik secara mental, emosional, maupun finansial. Harapannya, langkah ini dapat menciptakan generasi yang lebih matang dan siap menghadapi tantangan hidup, sehingga dapat membangun keluarga yang harmonis dan sejahtera.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *