Memahami Bank Bulion dan Aturan Pajaknya: Membaca Arah Baru PMK 51 dan PMK 52 Tahun 2025

Ilustrasi Bank Bulion
Ilustrasi Bank Bulion

Belakangan ini, istilah Bank Bulion makin sering muncul dalam obrolan seputar pajak dan investasi emas. Tak sedikit Kawan Pajak yang bertanya-tanya apa sebenarnya Bank Bulion itu, bagaimana cara kerjanya, dan yang paling penting, apakah ada perubahan pajak yang berdampak langsung ke masyarakat. Wajar saja jika muncul kebingungan, karena konsep Bank Bulion memang relatif baru di Indonesia, bahkan bagi sebagian praktisi keuangan dan perpajakan.

Agar tidak simpang siur, mari kita bedah pelan-pelan konsep Bank Bulion dan perubahan aturan pajaknya dengan bahasa yang ringan dan mudah dicerna.

Bacaan Lainnya

Apa Sebenarnya Bank Bulion?

Secara sederhana, kata bullion merujuk pada logam mulia dalam bentuk murni, terutama emas dan perak, yang biasanya hadir dalam bentuk batangan atau koin. Dalam konteks Indonesia, Bank Bulion adalah lembaga jasa keuangan yang menjalankan Kegiatan Usaha Bulion sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan, atau yang sering disebut UU P2SK.

Kegiatan Usaha Bulion sendiri mencakup berbagai aktivitas yang berkaitan dengan emas batangan. Mulai dari simpanan emas, pembiayaan berbasis emas, perdagangan emas, penitipan emas, hingga kegiatan lain yang mendukung pengembangan sektor ini. Fokus utamanya tetap pada emas batangan, bukan perhiasan atau emas olahan lainnya.

Dengan kata lain, Bank Bulion berperan sebagai simpul baru dalam ekosistem emas nasional, menjembatani produsen, pelaku usaha, dan masyarakat dalam transaksi emas yang lebih terstruktur dan diawasi.

Mengapa PMK 51 dan PMK 52 Tahun 2025 Diterbitkan?

Sebelum aturan terbaru ini lahir, ketentuan pajak atas emas batangan sebenarnya sudah diatur melalui PMK Nomor 48 Tahun 2023 dan PMK Nomor 81 Tahun 2024. Namun, dalam praktiknya, muncul persoalan yang cukup mengganggu, terutama bagi pelaku usaha.

Masalah utamanya adalah terjadinya praktik saling pungut Pajak Penghasilan Pasal 22. Dalam skema lama, saat suplier emas menjual emas batangan ke Bank Bulion BUMN, suplier memungut PPh Pasal 22 sebesar 0,25 persen. Di sisi lain, Bank Bulion BUMN justru memungut kembali PPh Pasal 22 sebesar 1,5 persen atas pembelian yang sama.

Kondisi ini jelas tidak efisien. Selain membingungkan secara administrasi, beban pajaknya juga terasa berlapis, padahal industri Bank Bulion sendiri masih dalam tahap awal pengembangan. Situasi inilah yang mendorong Direktorat Jenderal Pajak bersama OJK dan para pelaku industri melakukan penyesuaian aturan, yang kemudian melahirkan PMK 51 dan PMK 52 Tahun 2025.

Arah Baru PMK 51 Tahun 2025

PMK 51 Tahun 2025 membawa perubahan penting dalam mekanisme PPh Pasal 22 atas perdagangan emas batangan. Intinya, ada tiga hal besar yang diatur ulang.

Pertama, Bank Bulion secara resmi ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 atas pembelian emas batangan. Kedua, tarif PPh Pasal 22 yang dipungut oleh Bank Bulion disesuaikan agar lebih proporsional. Ketiga, terdapat penyesuaian tarif untuk impor emas batangan.

Hal menarik lainnya, aturan ini berlaku setara bagi Bank Bulion BUMN maupun swasta. Tidak ada lagi perlakuan berbeda, sehingga menciptakan level playing field yang lebih adil di industri ini.

Peran PMK 52 Tahun 2025 sebagai Pelengkap

Jika PMK 51 mengatur siapa memungut dan berapa tarifnya, maka PMK 52 Tahun 2025 berfungsi sebagai pelengkap dengan memperluas pengecualian pemungutan PPh Pasal 22.

Sebelumnya, PMK 48 Tahun 2023 sudah memberikan pengecualian pemungutan pajak bagi transaksi tertentu, seperti pembeli yang memiliki Surat Keterangan Bebas, Bank Indonesia, atau transaksi emas digital. Melalui PMK 52 Tahun 2025, Bank Bulion kini masuk dalam daftar pihak yang dikecualikan dari pemungutan PPh Pasal 22 oleh suplier emas.

Artinya, suplier emas tidak lagi memungut pajak saat menjual emas batangan ke Bank Bulion. Skema ini dibuat agar rantai transaksi menjadi lebih sederhana dan efisien.

Bagaimana Skema Pajaknya Sekarang?

Penting dicatat, PMK 51 dan PMK 52 hanya mengatur aspek perdagangan emas. Untuk kegiatan lain seperti simpanan emas, pembiayaan emas, dan penitipan emas, ketentuan pajaknya tetap mengikuti aturan yang sudah berlaku sebelumnya.

Dalam hubungan antara Bank Bulion dan pembeli, transaksi tetap mengacu pada PMK 48 Tahun 2023. Jika pembeli termasuk kategori tertentu yang dikecualikan, maka tidak ada pemungutan PPh Pasal 22 sebesar 0,25 persen. Konsumen akhir atau masyarakat umum juga termasuk pihak yang tidak dipungut pajak.

Sementara itu, dalam hubungan antara Bank Bulion dan suplier emas, skemanya menjadi lebih sederhana. Suplier tidak lagi memungut PPh Pasal 22 dari Bank Bulion. Sebaliknya, Bank Bulion memungut PPh Pasal 22 sebesar 0,25 persen dari suplier emas, jauh lebih rendah dibanding tarif sebelumnya yang mencapai 1,5 persen.

Meluruskan Isu yang Beredar

Di tengah perubahan ini, muncul kekhawatiran bahwa masyarakat akan dikenakan pajak saat membeli emas batangan di Bank Bulion. Anggapan tersebut tidak tepat. Konsumen akhir tetap tidak dikenakan pajak atas pembelian emas batangan.

Bahkan, konsumen akhir yang menjual kembali emas batangan ke Bank Bulion juga dikecualikan dari pemungutan pajak, selama nilai transaksinya tidak melebihi Rp10 juta. Batas ini dianggap merepresentasikan transaksi ritel masyarakat.

Dengan demikian, jelas bahwa PMK 51 dan PMK 52 tidak ditujukan untuk menambah beban pajak masyarakat, melainkan untuk merapikan ekosistem dan mendukung pertumbuhan industri Bank Bulion.

Terbitnya PMK Nomor 51 Tahun 2025 dan PMK Nomor 52 Tahun 2025 menandai langkah penyesuaian kebijakan perpajakan seiring hadirnya Kegiatan Usaha Bulion sebagaimana diamanatkan UU P2SK. Regulasi ini dirancang untuk menghilangkan praktik saling pungut, memberikan kepastian hukum, serta mendorong industri Bank Bulion tumbuh secara sehat dan berkelanjutan.

Dengan pemahaman yang utuh, Kawan Pajak diharapkan tidak lagi terjebak pada informasi yang keliru. Mengikuti perkembangan kebijakan pajak secara cermat menjadi kunci agar kita bisa bersikap tepat dan proporsional di tengah perubahan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *