Memahami Risiko dan Membangun Perlindungan: Edukasi Melalui Grafik SPHPN sebagai Upaya Pencegahan Pelecehan Seksual di SMKN 4 Kota Tangerang Selatan

Dokumentasi bersama. (doc. pribadi)
Dokumentasi bersama. (doc. pribadi)

Kekerasan dan pelecehan seksual merupakan bentuk kekerasan yang tidak hanya berdampak pada fisik, tetapi juga menimbulkan luka psikis yang mendalam. Dampak psikologis ini seringkali membutuhkan proses penyembuhan yang panjang dan memerlukan pendekatan khusus. Oleh karena itu, upaya pencegahan sejak dini sangat penting dilakukan, khususnya di kalangan remaja.

Sebagai bentuk kepedulian terhadap isu ini, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pamulang melaksanakan kegiatan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) di SMKN 4 Kota Tangerang Selatan. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman siswa terhadap risiko kekerasan seksual serta memberikan edukasi hukum secara langsung.

Bacaan Lainnya

Mengusung tema “Memahami Risiko dan Membangun Perlindungan Berdasarkan Grafik SPHPN sebagai Upaya Pencegahan Pelecehan Seksual”, kegiatan dilaksanakan pada Kamis, 24 April 2025. Sebanyak 24 mahasiswa dari kelas 06HUKP004 terlibat sebagai pelaksana, sedangkan peserta terdiri dari 30 siswa dan siswi SMKN 4 Tangerang Selatan yang berlokasi di Jl. Sumatra, Jombang, Ciputat.

Sesi utama kegiatan dibagi dalam tiga bagian pemaparan materi, yakni strategi pemberian dukungan terhadap pencegahan kekerasan seksual, pemahaman risiko melalui grafik SPHPN, serta edukasi hukum untuk membangun keberanian siswa. Materi yang disampaikan secara edukatif dan komunikatif memudahkan peserta dalam memahami isu yang diangkat.

Kegiatan ini tidak hanya berlangsung secara satu arah, namun juga dilengkapi dengan sesi diskusi interaktif dan tanya jawab. Di tengah kegiatan, panitia menyelipkan sesi ice breaking selama 15 menit untuk mencairkan suasana.

Sesi permainan edukatif di akhir kegiatan memberikan nuansa menyenangkan sekaligus memperkuat pemahaman siswa. Para pemenang permainan diberikan hadiah sebagai bentuk apresiasi atas partisipasi aktif mereka.

Kekerasan terhadap anak tidak terbatas pada bentuk fisik seperti penganiayaan atau kekerasan seksual. Terdapat pula kekerasan non-fisik seperti kekerasan psikis, ekonomi, hingga kekerasan yang bersifat simbolik atau berbasis agama.

Dalam konteks ini, perundang-undangan di Indonesia telah memberikan payung hukum, seperti KUHP, Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang telah diubah menjadi UU No. 35 Tahun 2014, serta UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Perlindungan terhadap anak yang diatur dalam berbagai undang-undang ini tidak hanya mencakup aspek pidana terhadap pelaku, tetapi juga mendorong tanggung jawab negara, pemerintah, masyarakat, dan keluarga untuk menciptakan lingkungan yang aman dan bebas dari kekerasan.

Pasal 15 UU No. 35 Tahun 2014 secara jelas menyebutkan bahwa setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan, kekerasan, konflik bersenjata, hingga kejahatan seksual.

Untuk menghindari terjadinya kejahatan seksual, peran semua pihak sangat dibutuhkan. Negara memikul tanggung jawab besar sebagaimana diatur dalam Pasal 20 hingga Pasal 26 UU Perlindungan Anak. Namun, efektivitas perlindungan hanya akan tercapai apabila terjadi sinergi yang kuat antara keluarga, masyarakat, dan negara.

Orang tua berperan penting sebagai garda terdepan dalam menjaga anak dari ancaman kekerasan seksual. Namun, tidak semua korban menunjukkan tanda-tanda yang mudah dikenali, apalagi jika pelaku adalah orang dekat atau menggunakan pendekatan yang manipulatif. Oleh karena itu, kewaspadaan orang tua sangat diperlukan, termasuk keberanian untuk membicarakan isu seksualitas secara terbuka dan sehat.

Masyarakat juga memiliki peran strategis dalam pencegahan kekerasan seksual, khususnya di tingkat komunitas. Pendekatan berbasis komunitas yang melibatkan anak-anak sebagai subjek dan bukan sekadar objek akan membantu deteksi dini terhadap potensi kasus kekerasan.

Dari sisi negara, keberpihakan terhadap perlindungan anak harus diwujudkan melalui kebijakan, pengawasan, dan pendidikan publik. Sayangnya, pendidikan seksual masih menjadi topik yang tabu. Banyak orang tua enggan membahasnya secara terbuka dengan anak karena merasa canggung. Begitu pula guru-guru di sekolah yang kerap merasa bukan kewajiban mereka untuk memberikan pendidikan seksual.

Minimnya literasi seksual ini memperparah kondisi. Padahal, pemahaman tentang tubuh, batasan, dan hak atas perlindungan diri sangat penting dikenalkan sejak dini. Dampak kekerasan seksual tidak bisa dianggap remeh: dari trauma psikologis, depresi, PTSD, hingga risiko penyakit menular seksual dan cedera fisik.

Untuk memberikan gambaran nyata, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) bersama BPS, LDUI, LPEM UI, dan Poltekesos Bandung merilis hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) dan Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) tahun 2024.

Survei ini menyajikan data kuantitatif dan kualitatif mengenai kekerasan yang dialami perempuan dan anak. Salah satu tantangan utama dalam pelaksanaan survei ini adalah kuatnya stigma sosial dan budaya yang menyebabkan banyak korban enggan bersuara. Namun, data ini menjadi dasar penting dalam menyusun kebijakan dan strategi pencegahan.

Berdasarkan hasil survei, beberapa rekomendasi strategis disampaikan, di antaranya peningkatan literasi publik, kampanye masif melalui media, pengarusutamaan perspektif gender dalam kebijakan, pemberdayaan ekonomi perempuan korban kekerasan, serta peningkatan akses terhadap program-program sosial.

Pencegahan kekerasan seksual memerlukan langkah yang konkret, terstruktur, dan menyeluruh. Pendidikan, terutama yang berbasis pada data seperti grafik SPHPN, menjadi salah satu pendekatan yang efektif. Selain memberikan gambaran nyata tentang situasi di lapangan, data juga membantu siswa dan masyarakat untuk menyadari urgensi pencegahan kekerasan seksual.

Langkah yang dilakukan mahasiswa Universitas Pamulang di SMKN 4 Tangerang Selatan patut diapresiasi. Kegiatan edukatif seperti ini menunjukkan bahwa upaya pencegahan bisa dimulai dari ruang-ruang kelas dan dilakukan oleh siapa saja yang peduli. Semoga kegiatan serupa dapat terus berlanjut dan menjangkau lebih banyak sekolah serta komunitas di seluruh Indonesia.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *