Bangka Belitung memiliki modal alam yang kuat untuk berkembang sebagai destinasi wisata unggulan. Pantai berpasir putih, gugusan batu granit raksasa, serta pulau-pulau kecil yang mudah dijangkau menempatkannya sebagai salah satu tujuan favorit wisatawan domestik. Namun kekayaan alam ini belum sepenuhnya terkonversi menjadi kekuatan ekonomi yang berkelanjutan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Bangka Belitung mencatat, pada Oktober 2024 jumlah tamu hotel berbintang mencapai 42.443 orang, dengan tingkat hunian kamar 34,79 persen dan rata-rata lama menginap hanya 1,8 malam. Angka-angka tersebut menunjukkan pergerakan wisatawan yang stabil, tetapi juga memperlihatkan persoalan mendasar: durasi kunjungan yang pendek.
Wisatawan belum terdorong untuk mengeksplorasi lebih banyak aktivitas maupun destinasi. Dampaknya, efek multiplikasi pariwisata belum optimal, terutama bagi pelaku usaha lokal di sektor kuliner, transportasi, penginapan kecil, hingga ekonomi kreatif.
Di tengah potensi itu, Bangka Belitung juga berhadapan dengan persoalan lingkungan yang tidak ringan. Aktivitas penambangan timah yang berlangsung selama puluhan tahun meninggalkan lahan kritis dan air kolong yang tercemar, bahkan mengubah karakter bentang alam.
Banyak titik bekas tambang berada dekat kawasan wisata, menjadikan pemulihan lingkungan sebagai pekerjaan besar yang menuntut keseriusan dan keberlanjutan.
Tantangan lain datang dari infrastruktur pariwisata yang belum merata. Masih ditemukan akses jalan yang kurang memadai, fasilitas umum yang terbatas, sanitasi yang belum tertata, hingga absennya standar keselamatan wisata air di sejumlah titik.
Di sisi sumber daya manusia, tidak semua pelaku wisata memiliki pelatihan memadai dalam hospitality, pemanduan, pemasaran digital, atau pengelolaan usaha berbasis wisata. Padahal kualitas layanan menjadi faktor penting dalam membangun pengalaman wisata yang berkesan.
Meski demikian, peluang pengembangan pariwisata Bangka Belitung tetap terbuka lebar. Tren wisata domestik pascapandemi menunjukkan meningkatnya minat terhadap destinasi bahari, ekowisata, serta pengalaman berbasis komunitas.
Desa-desa wisata, kuliner khas, tradisi lokal, hingga agenda budaya dapat menjadi penguat daya tarik sekaligus memperpanjang masa tinggal wisatawan. Dengan pengemasan yang tepat, paket perjalanan multi-hari yang menggabungkan wisata pantai, sejarah timah, kuliner lokal, dan island hopping dapat menarik segmen wisatawan yang lebih luas serta meningkatkan rata-rata pengeluaran wisatawan.
Untuk membangun pariwisata yang unggul, Bangka Belitung perlu melangkah pada strategi jangka panjang. Rehabilitasi lahan pascatambang harus ditempatkan sebagai prioritas, bukan hanya demi pemulihan ekologis, tetapi juga sebagai peluang mengembangkan destinasi ekowisata baru.
Penguatan branding dan pemasaran digital perlu dilakukan dengan segmentasi pasar yang lebih tajam mulai dari keluarga, penyelam, eco-traveler, hingga fotografer alam.
Di sisi lain, peningkatan infrastruktur dasar tetap menjadi fondasi. Perbaikan sanitasi, aksesibilitas, fasilitas keselamatan, serta manajemen sampah akan sangat menentukan reputasi destinasi dalam jangka panjang.
Pelibatan masyarakat lokal juga wajib menjadi prinsip utama. Pariwisata berkelanjutan hanya bisa tercapai bila manfaatnya dirasakan langsung oleh warga. Pelatihan hospitality, kewirausahaan, serta manajemen destinasi berbasis komunitas akan memperkuat profesionalitas tanpa menghilangkan identitas lokal.
Bangka Belitung kini berada pada titik krusial. Alamnya menyimpan keunggulan, tetapi keberhasilan pengembangan pariwisata bergantung pada kemampuan menyeimbangkan peluang ekonomi dengan tanggung jawab lingkungan.
Jika strategi dikelola secara terencana, inklusif, dan berkelanjutan, pariwisata dapat menjadi motor pertumbuhan baru sekaligus menjaga keindahan alam untuk generasi mendatang. Inilah momentum bagi Bangka Belitung untuk bergerak dari sekadar “menjual keindahan” menuju pembangunan destinasi yang matang, berdaya saing, dan bertumpu pada keberlanjutan.





