Membongkar Sistem Zonasi: Diskriminasi Terselubung dalam Pendidikan Nasional

Sistem zonasi pendidikan, yang diperkenalkan pemerintah pada tahun 2018, dirancang sebagai langkah monumental dalam reformasi pendidikan di Indonesia. Tujuan mulianya adalah menciptakan pemerataan akses pendidikan tanpa memandang latar belakang sosial ekonomi. Namun, kenyataan di lapangan justru menyingkap ketimpangan baru yang lebih kompleks dan meresahkan.

Pada prinsipnya, sistem zonasi bertujuan mendekatkan siswa dengan sekolah berkualitas di sekitar tempat tinggal mereka. Sayangnya, implementasi kebijakan ini memunculkan berbagai masalah struktural yang membuat kesenjangan semakin melebar.

Bacaan Lainnya

Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menunjukkan, lebih dari 65% sekolah negeri di kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung masih terpusat di kawasan dengan tingkat ekonomi menengah ke atas.

Sekolah-sekolah di area ini cenderung memiliki infrastruktur lebih baik, tenaga pengajar dengan kualifikasi tinggi, serta akses ke sumber daya pendidikan yang unggul. Sebaliknya, sekolah-sekolah di daerah pinggiran atau marjinal kerap terpinggirkan dengan fasilitas seadanya.

Kondisi ini menimbulkan kesenjangan kualitas pendidikan. Sistem zonasi, alih-alih menjadi alat pemerataan, malah mempertegas segregasi sosial ekonomi di masyarakat.

Baca Juga: Chipset Ngebut di Era Sekarang: Seberapa Penting?

Salah satu dampak paling mencolok dari sistem zonasi adalah hilangnya peluang bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu untuk mengakses pendidikan unggul. Contohnya, seorang siswa berbakat dari pedesaan di Sulawesi tidak dapat mendaftar ke sekolah berkualitas di kota besar karena terhalang oleh pembatasan zonasi. Situasi ini mengubur mimpi dan potensi generasi muda, menjauhkan mereka dari peluang mobilitas sosial melalui pendidikan.

Banyak negara maju telah meninggalkan pendekatan berbasis geografis seperti zonasi. Finlandia, misalnya, mengadopsi sistem penilaian holistik yang menilai potensi siswa secara multidimensi tanpa mengacu pada lokasi tempat tinggal. Di Singapura, meritokrasi diterapkan dengan memberi kesempatan berdasarkan prestasi akademik, sementara Belanda menawarkan fleksibilitas pendidikan melalui jalur pengembangan bakat yang adaptif.

Penghapusan total sistem zonasi bukanlah jalan keluar yang tepat. Rekonstruksi mendalam dengan pendekatan berkeadilan sosial diperlukan untuk memastikan sistem ini benar-benar inklusif dan adil.

Pertama, perlu diterapkan kuota afirmasi untuk daerah tertinggal, memastikan siswa dari wilayah marginal memiliki akses khusus ke sekolah berkualitas. Kedua, sistem penilaian harus lebih komprehensif, melibatkan bakat, minat, dan potensi siswa, bukan hanya nilai akademik.

Baca Juga: Klinik Kecantikan Fivot Skincare: Pilihan Aesthetic di Tangerang

Ketiga, pemerataan infrastruktur menjadi prioritas, dengan investasi besar di sekolah-sekolah pinggiran agar setara dengan sekolah di perkotaan. Keempat, dukungan beasiswa berkelanjutan harus diberikan kepada siswa berprestasi dari keluarga kurang mampu.

Pendidikan adalah pondasi masa depan bangsa. Sistem zonasi harus berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan setiap anak Indonesia dengan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang. Kebijakan ini harus dirancang ulang agar mencerminkan semangat inklusi, keadilan, dan pemberdayaan, bukan sekadar menjadi alat administratif.

Indonesia membutuhkan visi besar untuk membangun ekosistem pendidikan yang benar-benar mendukung setiap anak bangsa, tanpa terkecuali. Inilah saatnya merombak sistem zonasi menjadi mekanisme yang memberdayakan, bukan membelenggu.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *