Pemilihan kepala daerah (Pilkada) bukan hanya tentang perebutan kursi kekuasaan. Ia adalah representasi dari harapan publik akan perubahan, kemajuan, serta jaminan atas hak-hak dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan.
Namun di balik hingar-bingar euforia demokrasi lokal, ada satu elemen penting yang sering kali luput dari perhatian publik: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Lembaga ini sejatinya memegang posisi strategis dalam mengawal proses Pilkada agar berjalan jujur, adil, dan bermartabat.
DPRD bukan sekadar lembaga legislatif yang menyusun dan mengesahkan peraturan daerah. Mereka adalah mitra kerja pemerintah daerah, pengawas anggaran, dan penjaga etika birokrasi. Dalam konteks Pilkada, DPRD memiliki tanggung jawab politik dan moral untuk memastikan proses demokrasi berjalan tanpa manipulasi. Sayangnya, tidak semua anggota DPRD memahami atau menjalankan tanggung jawab ini secara optimal.
Netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) menjadi salah satu isu paling krusial yang muncul dalam setiap penyelenggaraan Pilkada. Kepala BKD Kalimantan Timur, Deni Sutrisno, dalam sebuah pernyataan menyebutkan bahwa netralitas ASN adalah kunci dalam menjaga kepercayaan publik terhadap proses Pilkada dan pemerintahan daerah secara umum. Ini bukan sekadar slogan, melainkan sebuah tuntutan konkret bagi semua pihak, termasuk DPRD, untuk mengambil posisi tegas dalam menjaga netralitas birokrasi.
Data dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kalimantan Timur mengungkap bahwa pada tahapan Pilkada serentak 2024, terdapat 43 laporan dugaan pelanggaran yang sebagian besar berkaitan dengan ketidaknetralan ASN. Ketua Bawaslu, Hari Darmanto, menyatakan bahwa isu dominan dalam laporan tersebut adalah netralitas ASN.
Fakta ini menegaskan bahwa pelanggaran dalam kontestasi politik lokal benar-benar terjadi dan bukan sekadar isu teknis. Di sinilah seharusnya DPRD mengambil peran strategis sebagai pengawas sekaligus penyampai suara rakyat.
Namun, kenyataan di lapangan seringkali memperlihatkan sisi lain. Beberapa anggota DPRD memilih diam dalam menghadapi isu-isu kritis Pilkada, entah karena tekanan politik, loyalitas kelompok, atau bahkan ketidaktertarikan.
Padahal, sikap pasif ini membuka ruang selebar-lebarnya bagi manipulasi dan ketimpangan dalam proses politik lokal. Ketika DPRD abai terhadap tanggung jawabnya, masyarakat kehilangan tameng utama mereka dari penyalahgunaan kekuasaan.
Peran DPRD seharusnya tidak hanya muncul dalam forum-forum resmi atau saat pengesahan anggaran. Lembaga ini perlu hadir secara aktif dalam mendidik warga melalui tindakan nyata. Mereka bisa menjadi jembatan informasi politik yang mendorong partisipasi masyarakat secara sehat, serta menjadi contoh dalam berpolitik yang beretika dan penuh integritas. Pendidikan politik tidak hanya tugas institusi pendidikan atau media, tetapi juga tanggung jawab moral para wakil rakyat di parlemen daerah.
Sebagai seorang akademisi di bidang Ilmu Pemerintahan, saya berpandangan bahwa demokrasi lokal yang sehat tidak dapat dibangun di atas pondasi yang rapuh. Kita membutuhkan lembaga-lembaga yang berani bersuara, berdiri di tengah rakyat, dan konsisten dalam menjaga nilai-nilai demokrasi.
Keberadaan DPRD harus lebih dari simbol keterwakilan, melainkan menjadi entitas yang betul-betul berfungsi melayani dan melindungi kepentingan masyarakat.
Pilkada bukan hanya momentum lima tahunan, tetapi sebuah proses berkelanjutan yang memerlukan pengawasan serius dari semua pihak, terutama DPRD.
Jika lembaga legislatif ini mampu menunjukkan sikap tegas, transparan, dan pro-rakyat, maka demokrasi lokal kita tidak hanya hidup di atas kertas, melainkan tumbuh sebagai kesadaran kolektif yang kokoh.
Kita tidak boleh membiarkan Pilkada menjadi ajang formalitas politik yang kosong makna. Demokrasi hanya akan bermakna ketika wakil rakyat benar-benar bekerja untuk rakyat. Oleh karena itu, DPRD harus tampil sebagai pengawal utama Pilkada, bukan sebagai penonton apatis di tengah panggung demokrasi yang sedang dipertaruhkan.





