Menanam Harapan di Sekolah: Saatnya Pendidikan Menyentuh Hati dan Potensi Anak-Anak Probolinggo

Opini Moh Rafa Arabiey
Opini Moh Rafa Arabiey

“Setiap anak itu istimewa dan dapat menjadi juara di bidangnya masing-masing.”
KH. Junaidi Hidayat

Setiap orang tua tentu ingin memberikan yang terbaik untuk anak-anak mereka. Namun, bagaimana jika sistem yang mereka percayai sebagai jalan menuju masa depan justru menjadi penghambat tumbuhnya potensi? Pendidikan seharusnya membentuk, bukan membatasi.

Bacaan Lainnya

Ia mesti menjadi jembatan antara harapan dan kenyataan, antara bakat dan kesempatan. Namun di Kabupaten Probolinggo, harapan itu masih kerap terbentur pada dinding kebijakan yang kaku serta pendekatan yang seragam.

Di ruang-ruang kelas yang seharusnya menjadi tempat anak-anak tumbuh dalam semangat ingin tahu dan eksplorasi, justru terlalu sering kita dapati wajah-wajah yang lesu. Bukan karena beratnya materi pelajaran, melainkan karena sistem tidak melihat mereka sebagai pribadi yang unik. Sistem pendidikan kita masih banyak menyamaratakan siswa, seolah semua harus mengikuti satu jalur sempit yang dianggap ‘sukses’.

Angka dan Realita: Wajah Pendidikan Kita Hari Ini

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Probolinggo tahun 2022, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) hanya mencapai 66,96. Angka ini menempatkan Probolinggo di peringkat ke-35 dari 38 kabupaten/kota di Jawa Timur merupakan sebuah peringatan keras bahwa pendidikan belum menjadi prioritas nyata.

Rata-rata Lama Sekolah (RLS) masyarakat berusia 25 tahun ke atas hanya 6,29 tahun, setara kelas 6 SD. Dibandingkan rata-rata nasional yang mencapai 8,77 tahun, ini adalah jurang yang mengkhawatirkan. Terlebih lagi, sebanyak 2.835 siswa tercatat putus sekolah pada 2022 hingga Maret 2023. Angka yang tak hanya mencerminkan masalah struktural, tetapi juga krisis kepercayaan terhadap manfaat pendidikan.

Realitas ini menunjukkan bahwa bukan hanya kurikulum yang harus dibenahi, tapi juga paradigma masyarakat. Di beberapa desa, masih banyak orang tua yang lebih memilih membelikan sepeda motor untuk anaknya dibanding memperpanjang masa sekolah. Sebab bagi mereka, ijazah kerap kali dianggap tak berdampak pada peningkatan kualitas hidup.

Sekolah yang Kaku, Bakat yang Layu

Sekolah-sekolah di Probolinggo belum sepenuhnya menjadi tempat tumbuhnya keunikan. Kegiatan ekstrakurikuler pun terbatas, hanya berputar pada pramuka, pencak silat, dan olahraga umum. Padahal di wilayah seperti Kecamatan Paiton, banyak siswa menunjukkan minat tinggi pada seni lukis, musik digital, desain grafis, bahkan astronomi.

Namun sayangnya, tidak ada ruang bagi mereka untuk mengekspresikan diri. Tanpa pendampingan dan sarana, potensi yang seharusnya bersinar itu justru tenggelam. Kita sedang menyia-nyiakan generasi berbakat bukan karena mereka gagal belajar, tetapi karena kita gagal memahami cara mereka belajar.

Pendidikan yang Merawat, Bukan Menghakimi

KH. Junaidi Hidayat pernah menegaskan bahwa setiap anak adalah unik. Dalam pendidikan, pernyataan ini seharusnya menjadi dasar kebijakan. Pendidikan bukan tentang menyamaratakan, tapi menyesuaikan pendekatan sesuai karakter dan kecenderungan masing-masing siswa.

Bayangkan jika sejak awal sekolah menerapkan tes psikologi dasar untuk mengenali kecenderungan belajar dan potensi siswa. Dengan begitu, guru bisa memberikan pendekatan yang lebih personal dan relevan. Anak-anak tidak lagi belajar untuk menghindari nilai jelek, melainkan untuk tumbuh menjadi versi terbaik dari dirinya.

Selain itu, sekolah perlu memberi ruang partisipatif bagi siswa dalam membentuk dan memilih kegiatan ekstrakurikuler. Biarkan mereka memilih bidang yang mereka sukai, lalu sekolah memfasilitasi pembimbing yang sesuai. Seni digital, musik tradisional, robotika, bahkan permainan strategi seperti catur, bisa menjadi jalur eksplorasi baru.

Namun untuk mewujudkan ini semua, guru pun perlu dibekali pelatihan dan pemahaman baru tentang pendidikan yang berpusat pada potensi anak. Pemerintah daerah harus hadir, bukan hanya sebagai regulator, tapi sebagai fasilitator perubahan. Tanpa kebijakan yang mendukung, sekolah akan sulit bergerak keluar dari pola lama.

Menyalakan Obor Harapan di Kabupaten Probolinggo

Probolinggo bukan kekurangan anak-anak hebat. Yang kurang hanyalah sistem yang memberi mereka ruang dan kepercayaan untuk berkembang. Kita harus berhenti mengukur pendidikan hanya lewat angka kelulusan dan mulai bertanya: sejauh mana sekolah kita telah menyentuh hati anak-anak?

Pendidikan adalah tanggung jawab bersama. Pemerintah, guru, orang tua, tokoh agama, pemuda, bahkan media, punya peran masing-masing dalam membangun ekosistem pendidikan yang menyemai harapan. Sudah saatnya kita bergeser dari pola pengajaran satu arah menjadi hubungan yang dua arah yaitu antara guru dan siswa, antara sekolah dan masyarakat.

Karena anak-anak Probolinggo tidak kekurangan potensi. Yang mereka butuhkan hanyalah satu hal: kesempatan. Kesempatan untuk tumbuh dengan cara mereka sendiri. Kesempatan untuk bermimpi besar. Kesempatan untuk menjadi manusia seutuhnya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *