Menemukan Makna Asesmen PAI di Tengah Hiruk Pikuk Dunia Gen Z

Ilustrasi foto/smadwiwarna.sch.id
Ilustrasi foto/smadwiwarna.sch.id

Di tengah derasnya arus digitalisasi dan distraksi yang tak terbendung, generasi muda yang kita kenal sebagai Generasi Z hidup dalam dunia yang sarat dengan informasi tetapi juga penuh kegelisahan eksistensial.

Mereka memiliki akses pengetahuan lebih luas dari generasi mana pun sebelumnya. Namun, pada saat yang sama, mereka juga menghadapi tantangan yang lebih kompleks: krisis identitas, kebingungan moral, tekanan sosial media, dan minimnya keteladanan spiritual.

Bacaan Lainnya

Dalam hiruk pikuk semacam ini, Pendidikan Agama Islam (PAI) seharusnya hadir sebagai jangkar yang menstabilkan arah hidup mereka. Namun benarkah demikian? Sudahkah asesmen pembelajaran PAI yang kita terapkan benar-benar menyentuh kedalaman jiwa mereka? Ataukah kita masih terjebak pada rutinitas administratif yang hanya menilai capaian kognitif dan melupakan proses pembentukan makna?

Antara Angka dan Akhlak: Di Mana Letak Jiwa Asesmen Kita?

Ketika mendengar kata “asesmen”, kita sering kali secara refleks membayangkan angka, nilai, skor, dan ranking. Pertanyaan yang muncul biasanya, “Anak ini paham atau tidak?” tetapi kita sering lupa bertanya, “Apakah dia tergerak? Apakah ajaran itu hidup dalam dirinya?” Ironis sekali jika asesmen pembelajaran agama justru menjadi kegiatan paling mekanis. Padahal, pendidikan Islam seharusnya menekankan proses spiritualisasi manusia, bukan sekadar transmisi pengetahuan keagamaan.

Realitas di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar asesmen PAI masih berkutat pada hafalan, definisi, atau pilihan ganda yang tidak menyentuh pengalaman batin peserta didik. Ini menjadi sebuah ironi di tengah generasi yang sangat ekspresif, eksistensial, dan haus akan dialog.

Mereka lebih merespons pada hal-hal nyata dan personal—bukan ceramah satu arah atau evaluasi yang tidak kontekstual. Dalam banyak kasus, PAI hanya menjadi bagian dari daftar kurikulum yang harus dituntaskan, bukan perjalanan pencarian makna.

Apalagi dengan derasnya distraksi digital, Gen Z tidak mudah ‘terhipnotis’ oleh metode-metode lama. Mereka tumbuh dalam budaya yang interaktif, visual, dan reflektif. Mereka lebih peka terhadap bentuk asesmen yang terasa bernyawa: memberi ruang untuk berpikir kritis, merefleksi pengalaman, dan mengekspresikan nilai melalui karya. Namun sayangnya, pendekatan seperti ini belum menjadi arus utama dalam asesmen pembelajaran agama.

Dalam konteks ini, pernyataan bahwa asesmen pendidikan agama harus bergeser dari sekadar mengukur capaian kognitif menuju penghayatan nilai-nilai transenden secara otentik menjadi sangat relevan. Kita perlu mereformulasi asesmen bukan hanya sebagai alat ukur, tetapi juga sebagai alat pembina.

Bukan sekadar menilai pemahaman, tetapi menggali pengalaman. Bukan hanya mencatat seberapa banyak siswa tahu, tetapi sejauh mana mereka tumbuh secara spiritual.Proyek reflektif, tugas narasi personal, atau ruang diskusi terbuka tentang tantangan moral di media sosial bisa menjadi bentuk asesmen yang lebih relevan dan menyentuh.

Menakar Ulang: Dari Kurikulum Menuju Kehidupan

Kita perlu bertanya: Apakah asesmen PAI kita disusun untuk memenuhi kurikulum atau untuk menemani siswa menjalani kehidupan? Kurikulum Merdeka sebenarnya telah membuka ruang besar untuk diferensiasi dan pendekatan yang lebih humanistik.

Namun jika guru masih terpaku pada kebiasaan lama, esensi kemerdekaan belajar tak akan pernah benar-benar tercapai. Pendidikan agama akan tetap menjadi pelajaran yang dihafal tanpa pernah dihayati, diujikan tanpa pernah dimaknai.

Kita perlu keberanian menciptakan ruang yang lebih lentur dan bermakna dalam menilai proses belajar siswa. Misalnya, ketika membahas tentang kejujuran, mengapa tidak meminta siswa menulis jurnal tentang pengalaman mereka dalam memilih jujur di situasi sulit?

Atau saat membahas syukur, mengapa tidak mengajak mereka membuat proyek sederhana yang menunjukkan rasa syukur melalui aksi sosial? Ketika tema akhlak digital diangkat, mengapa tidak meminta siswa menelaah konten viral dari perspektif Islam dan membahasnya dalam forum terbuka?

Asesmen yang kontekstual semacam ini bukan hanya mengukur, tetapi juga membimbing. Ia memberikan ruang bagi siswa untuk mengenali dirinya, memahami posisinya sebagai makhluk spiritual di tengah dunia modern, dan memberikan arah dalam mengambil keputusan moral sehari-hari. Bukankah itu sejatinya tujuan dari pendidikan agama?

Namun, tentu saja perubahan ini tidak mudah. Terdapat tantangan seperti keterbatasan waktu, beban administratif, bahkan resistensi dari sistem yang masih mengidolakan angka. Tetapi jika kita menyerah pada keterbatasan itu, kita hanya menunda krisis yang lebih besar: keterasingan siswa dari nilai-nilai agama yang seharusnya menjadi cahaya hidup mereka. Kita tidak sedang menyelamatkan nilai agama, tetapi menggiringnya menjauh dari hati generasi muda.

Perlu digarisbawahi bahwa Generasi Z bukan generasi yang apatis terhadap agama. Justru mereka ingin memahami, bertanya, menggugat, dan mencari bukti bahwa nilai-nilai yang diajarkan benar-benar relevan. Sayangnya, sistem asesmen yang statis dan konvensional menutup ruang tersebut. Ini adalah tantangan besar, tapi juga peluang emas bagi pendidik untuk melakukan transformasi pendidikan.

Asesmen bukan sekadar produk akhir, melainkan proses yang utuh. Di sinilah peran pendidik sebagai fasilitator spiritual sangat penting. Guru bukan hanya pemberi nilai, melainkan pembimbing jiwa. Maka sangat disayangkan jika metode asesmen yang dipertahankan justru membuat pelajaran agama terasa seperti mata pelajaran biasa, tanpa kedalaman.

Sebagaimana diingatkan oleh Syed Muhammad Naquib Al-Attas dalam gagasannya tentang Islamisasi ilmu, tujuan akhir pendidikan Islam adalah adab, bukan sekadar intelektualitas. Maka sudah seharusnya asesmen pun diarahkan untuk membentuk manusia yang beradab, bukan sekadar berpengetahuan. Proses ini tidak bisa dibatasi oleh lembar jawaban atau angka statistik. Ia butuh ruang dialog, keterbukaan, dan empati yang tulus.

Reimajinasi Masa Depan Asesmen PAI

Bayangkan jika asesmen PAI di masa depan melibatkan portofolio digital yang memuat refleksi siswa atas nilai-nilai Islam dalam kehidupan nyata mereka. Misalnya, sebuah video pendek tentang pentingnya salat dalam membangun kedisiplinan, esai tentang pengalaman memaafkan teman, atau podcast diskusi siswa tentang isu moral di TikTok. Bentuknya bisa sangat variatif, tetapi esensinya tetap satu: menjembatani ajaran dengan kenyataan, teks dengan konteks.

PAI tidak seharusnya menjadi pelajaran normatif yang jauh dari realitas siswa. Dengan pendekatan asesmen yang autentik dan kontekstual, PAI bisa menjadi ruang yang menyembuhkan, menyadarkan siswa bahwa Islam bukan sekadar hukum dan larangan, tetapi tentang cinta, makna, dan misi hidup.

Tentu, perubahan ini memerlukan kerja kolektif. Guru perlu pelatihan asesmen yang relevan. Sekolah harus memberi ruang untuk eksperimen dan refleksi. Pemerintah perlu merancang kebijakan yang tidak hanya menekankan target capaian, tetapi juga kualitas pertumbuhan spiritual.

Dan masyarakat, termasuk orang tua, perlu memahami bahwa keberhasilan pendidikan agama tidak diukur dari seberapa banyak ayat yang dihafal, tetapi seberapa dalam ajaran itu dihayati dan diamalkan.

Mungkin kini saatnya kita berhenti bertanya, “Sejauh mana siswa tahu tentang Islam?” dan mulai bertanya, “Sejauh mana mereka merasa bahwa Islam menyentuh hidup mereka?” Di situlah letak makna asesmen yang sejati: bukan sekadar memenuhi kurikulum, tetapi menjawab kebutuhan jiwa manusia modern.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *