Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis yang memegang peran penting dalam perekonomian nasional. Kontribusinya tidak hanya terlihat dari kemampuannya menyerap tenaga kerja, tetapi juga dari perannya dalam meningkatkan pendapatan masyarakat perdesaan serta menyumbang devisa negara.
Sebagai bahan baku utama industri cokelat dunia, biji kakao memiliki nilai ekonomi tinggi dengan permintaan yang relatif stabil di pasar domestik maupun global. Kondisi tersebut menjadikan kakao sebagai komoditas berprospek jangka panjang dan memiliki arti penting dalam struktur pertanian Indonesia.
Secara historis, posisi Indonesia dalam peta produksi kakao dunia pernah berada pada titik yang kuat. Data FAOSTAT menunjukkan bahwa periode 2005 hingga 2011 menempatkan Indonesia sebagai produsen kakao terbesar kedua setelah Pantai Gading dengan rata-rata produksi sekitar 775 ribu ton per tahun. Capaian itu menegaskan peran kakao sebagai salah satu tulang punggung subsektor perkebunan di tingkat global.
Namun, lebih dari satu dekade terakhir peta tersebut berubah. Sejak 2012 hingga 2023, peringkat Indonesia bergeser ke posisi ketiga setelah Pantai Gading dan Ghana. Produksi pada 2023 tercatat sekitar 641 ribu ton atau 11 persen dari total produksi dunia. Walaupun secara absolut angka ini besar, pergeseran peringkat mencerminkan adanya persoalan struktural yang tidak bisa diabaikan.
Di tingkat nasional, pengembangan kakao tetap ditempatkan sebagai prioritas karena berkaitan erat dengan agenda ekspor. Pemerintah menargetkan kakao sebagai produk unggulan perkebunan yang diharapkan menopang kinerja perdagangan luar negeri.
Sekitar separuh produksi nasional diarahkan untuk pasar ekspor, dengan proporsi rerata mencapai 54 persen dalam satu dekade terakhir. Angka ini menunjukkan ketergantungan besar subsektor kakao pada dinamika pasar internasional.
Namun, kinerja ekspor tidak bergerak seiring dengan perkembangan produksi. Selama periode 2015–2024, produksi kakao nasional cenderung berfluktuasi tetapi menunjukkan tren meningkat rata-rata 1,3 persen per tahun.
Sebaliknya, volume ekspor justru menurun tipis sekitar 0,06 persen per tahun. Kesenjangan ini menandakan bahwa kenaikan produksi belum diterjemahkan menjadi penguatan posisi Indonesia di pasar ekspor. Sebagian pasokan tampaknya terserap pasar domestik atau terhambat faktor kualitas dan daya saing.
Salah satu persoalan mendasar terletak pada rendahnya kontribusi produk kakao olahan. Pangsa kakao olahan Indonesia di pasar internasional masih di bawah 7 persen. Negara pesaing telah lebih jauh bergerak pada pengolahan dan inovasi produk bernilai tambah, sementara Indonesia masih bertumpu pada ekspor bahan baku primer. Akibatnya, nilai tambah lebih banyak dinikmati negara pengolah, bukan negara produsen kakao.
Di sisi lain, terdapat perkembangan yang cukup positif. Meskipun volume ekspor melemah, nilai ekspor menunjukkan tren peningkatan rata-rata sekitar 12 persen per tahun. Pergerakan ini mengindikasikan perbaikan harga dan sebagian pergeseran menuju produk bernilai lebih tinggi. Kendati demikian, skala peningkatan belum cukup kuat untuk memperbaiki struktur daya saing kakao Indonesia secara menyeluruh.
Dalam lanskap perdagangan global yang semakin kompetitif, keunggulan komparatif tidak lagi memadai. Yang diperlukan adalah keunggulan kompetitif berbasis efisiensi, kualitas, inovasi produk, dan keandalan pasokan.
Daya saing ekspor kakao tidak hanya menyangkut angka perdagangan, tetapi berhubungan langsung dengan keberlanjutan jutaan petani kecil yang berada di sektor hulu. Tanpa daya saing yang kuat, posisi tawar petani akan tetap lemah dan ketergantungan pada harga internasional sulit dihindari.
Tantangan utama kakao Indonesia datang dari tiga sisi. Pertama, aspek produktivitas. Sebagian besar tanaman kakao berusia tua dan kurang terawat sehingga produktivitasnya rendah. Program peremajaan yang ada berjalan, tetapi belum cukup masif untuk mengimbangi laju penurunan tanaman. Kedua, aspek kualitas.
Fermentasi belum dilakukan secara konsisten dan menyeluruh sehingga mutu biji masih kalah dibanding pesaing. Ketiga, struktur industri pengolahan yang belum berkembang merata. Basis pengolahan domestik masih terbatas sehingga sebagian besar nilai tambah justru dinikmati industri luar negeri.
Dalam kerangka tersebut, penguatan daya saing kakao Indonesia mensyaratkan strategi yang terintegrasi dari hulu hingga hilir. Di tingkat hulu, peremajaan kebun perlu dipercepat dengan penggunaan benih unggul, praktik budidaya yang lebih baik, serta dukungan riset varietas tahan hama dan perubahan iklim. Pendampingan teknis bagi petani harus diperkuat, disertai akses pembiayaan yang terjangkau agar mereka mampu melakukan intensifikasi dan rehabilitasi kebun.
Pada tahap pascapanen, standardisasi mutu menjadi kunci. Penerapan fermentasi secara konsisten, penanganan pascapanen yang higienis, serta sistem sertifikasi yang kredibel akan menentukan akses produk Indonesia ke pasar premium dunia. Banyak negara importir mulai mensyaratkan standar keberlanjutan, ketelusuran, dan perlindungan lingkungan. Tanpa pemenuhan standar tersebut, peluang pasar berkurang.
Di hilir, hilirisasi industri kakao perlu ditempatkan sebagai agenda strategis jangka panjang. Insentif investasi bagi industri pengolahan, pengembangan produk turunan, serta penguatan riset pangan fungsional dari kakao dapat mendorong terciptanya nilai tambah di dalam negeri. Kemitraan yang lebih erat antara industri dan petani akan menciptakan rantai pasok yang lebih efisien sekaligus memastikan harga yang lebih adil.
Diversifikasi pasar ekspor juga penting untuk mengurangi ketergantungan pada negara tujuan utama. Pasar nontradisional di kawasan Asia Timur, Timur Tengah, atau Eropa Timur dapat menjadi sasaran baru dengan karakter permintaan yang terus berkembang. Kebijakan perdagangan luar negeri perlu diarahkan untuk membuka akses pasar, melindungi kepentingan petani, dan menjamin kesinambungan pasokan industri.
Indonesia memiliki modal sejarah sebagai produsen besar kakao dunia. Namun posisi sebagai produsen volume belum otomatis menjadikan Indonesia pemain utama dalam penguasaan nilai perdagangan global. Yang menentukan bukan sekadar berapa banyak kakao diproduksi, tetapi sejauh mana negara ini mampu menguasai rantai nilai, memperkuat kualitas, dan membangun industri pengolahan yang berdaya saing.
Penguatan kebijakan yang konsisten, dukungan riset dan teknologi, serta keberpihakan pada petani kecil akan menjadi faktor penentu. Tanpa langkah-langkah terintegrasi itu, Indonesia berisiko tetap berada pada peran pinggiran dalam pasar kakao global.
Sebaliknya, bila transformasi hulu hilir dijalankan secara sungguh-sungguh, kakao dapat kembali menjadi motor penting yang mengangkat daya saing ekspor sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani.




