Di tengah derasnya arus digitalisasi, pendidikan Indonesia masih berkutat pada persoalan mendasar: apakah sekolah benar-benar memahami kebutuhan belajar siswanya? Pertanyaan ini terus relevan karena proses pembelajaran hingga kini kerap berlangsung tanpa pijakan pada analisis kebutuhan yang sistematis.
Padahal, inti pendidikan adalah manusia bukan kurikulum, bukan administrasi, bukan tumpukan laporan. Tanpa pemahaman yang memadai mengenai kebutuhan peserta didik, sekolah berjalan seperti kapal tanpa kompas: bergerak, tetapi tanpa arah yang jelas. Rutinitas akademik terus dipertahankan, seakan perubahan bukanlah sebuah keniscayaan.
Secara konsep, analisis kebutuhan belajar merupakan upaya membaca kesenjangan antara kemampuan siswa saat ini dan kompetensi yang seharusnya mereka capai. Namun di ruang kelas, proses ini sering berhenti pada tataran wacana. Guru mengajar berdasarkan kebiasaan, institusi menetapkan target tanpa menimbang kondisi faktual, sementara siswa diminta mengikuti standar yang tidak pernah benar-benar mengenali mereka.
Ketika pembelajaran kehilangan relevansi, menurunnya motivasi siswa bukanlah anomali. Yang keliru bukan peserta didiknya, tetapi sistem yang gagal menakar kebutuhan mereka secara tepat.Masalah Nyata Tantangan dalam menerapkan analisis kebutuhan belajar sesungguhnya telah lama tampak di depan mata, namun terus dibiarkan berulang tanpa penyelesaian yang memadai.
Kualitas sumber daya manusia pendidikan, misalnya, masih jauh dari merata. Banyak guru belum memiliki keterampilan mumpuni untuk membaca data belajar maupun melakukan diagnosis pembelajaran secara tepat. Ketidakmampuan ini bukan selalu karena kurangnya kemauan, melainkan karena belum tersedianya pelatihan yang benar-benar membekali mereka dengan keterampilan praktis.
Di sisi lain, ketimpangan fasilitas teknologi memperlebar jurang kualitas antar-sekolah. Ada sekolah yang telah memanfaatkan platform digital untuk memonitor perkembangan siswa, tetapi lebih banyak yang masih berkutat dengan keterbatasan perangkat dasar. Ketimpangan ini membuat pemanfaatan teknologi sebagai alat analisis kebutuhan nyaris mustahil dilakukan secara merata.
Budaya kerja pendidikan kita pun sering resisten terhadap inovasi. Perubahan dipandang sebagai gangguan yang mengancam kenyamanan rutinitas, bukan sebagai peluang untuk memperbaiki mutu pembelajaran. Akibatnya, pendekatan baru yang seharusnya membantu guru memahami kebutuhan siswa kerap ditolak atau diadopsi setengah hati.
Masalah semakin kompleks karena tidak ada mekanisme evaluasi nasional yang benar-benar baku. Setiap sekolah berjalan dengan caranya sendiri, sehingga kualitas asesmen dan tindak lanjutnya tidak memiliki standar yang jelas.
Dalam kondisi seperti ini, keberagaman karakter siswa yang sangat luas justru menjadi tantangan besar. Satu pendekatan pembelajaran dipaksakan untuk kebutuhan yang berbeda-beda, seakan semua siswa belajar dengan cara yang sama dan memiliki hambatan yang serupa.
Tanpa pembenahan menyeluruh atas persoalan-persoalan mendasar ini, analisis kebutuhan belajar hanya akan menjadi jargon yang terus diulang tanpa pernah benar-benar dijalankan.
Perubahan bukan tidak mungkin. Yang dibutuhkan adalah komitmen untuk mengeksekusi langkah-langkah konkret, bukan sekadar jargon kebijakan.
Pertama, peningkatan kapasitas guru harus dilakukan secara substantif. Pelatihan tidak boleh berhenti pada acara seremonial; guru perlu dibekali kemampuan membaca data belajar sehingga keputusan pembelajaran dapat berbasis bukti.
Kedua, instrumen analisis kebutuhan harus dikembangkan sesuai konteks Indonesia. Tidak semua metode impor relevan. Kita perlu alat ukur yang memahami keragaman budaya, sosial, dan karakter belajar siswa di berbagai daerah.
Ketiga, evaluasi harus menjadi proses berkelanjutan. Evaluasi tidak boleh direduksi menjadi formalitas administrasi, tetapi berfungsi sebagai bahan refleksi untuk perbaikan pembelajaran dari hari ke hari.
Dengan langkah-langkah tersebut, pembelajaran tidak akan berjalan otomatis, melainkan bertransformasi sesuai kebutuhan nyata siswa di kelas.
Era digital sebenarnya menawarkan peluang besar untuk memperbaiki proses analisis kebutuhan. Platform pembelajaran daring, sistem asesmen digital, hingga teknologi kecerdasan buatan mampu memetakan kemampuan siswa secara real-time.
Namun teknologi sering diperlakukan sekadar pajangan, bukan instrumen yang mendukung kualitas pembelajaran. Jika dimanfaatkan secara optimal, guru dapat membaca perkembangan siswa dari hari ke hari, mengenali pola belajar, serta menyesuaikan pendekatan mengajar dengan lebih presisi sebuah lompatan besar yang hingga kini belum ditempuh secara serius.
Pendidikan tak akan bergerak maju jika sekolah mengajar tanpa memahami siapa yang sedang mereka didik. Analisis kebutuhan belajar seharusnya menjadi dasar dari setiap kebijakan dan praktik pembelajaran, bukan pekerjaan tambahan yang dilakukan hanya jika ada waktu.
Saat sekolah, guru, pemerintah, dan masyarakat benar-benar menempatkan kebutuhan belajar siswa sebagai pusat perhatian, pendidikan Indonesia memiliki peluang untuk lebih relevan dengan tuntutan zaman dan lebih manusiawi bagi peserta didiknya. Tanpa langkah itu, masa depan pendidikan hanya akan menjadi repetisi dari persoalan-persoalan lama yang tak kunjung selesai.
Dosen pengampu : Dr. Imas Masriah S.Pd., M.Pd
Nama Anggota :
- Ismi Nurul Fadillah (251012700010)
- Tania Rizki Putritama (251012700031)





