Mengembalikan Supremasi Konstitusi ke Tempat Terhormat

Ilustrasi Mengembalikan Supremasi Konstitusi ke Tempat Terhormat. (GG)
Ilustrasi Mengembalikan Supremasi Konstitusi ke Tempat Terhormat. (GG)

Konstitusi seharusnya menjadi fondasi tertinggi dalam sistem hukum sebuah negara, termasuk Indonesia. Ia bukan sekadar dokumen formal, melainkan living constitution yang menjadi pijakan setiap tindakan penyelenggara negara.

Namun, kenyataan belakangan ini justru menunjukkan bahwa supremasi konstitusi di Indonesia tengah menghadapi ancaman serius. Salah satu indikator yang paling nyata adalah sikap abai terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) oleh lembaga pembentuk undang-undang, terutama DPR dan Presiden.

Bacaan Lainnya

Sebagai penjaga konstitusi, Mahkamah Konstitusi memiliki kedudukan istimewa. Ia berwenang menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, menyelesaikan sengketa antar-lembaga negara, hingga menangani perselisihan hasil pemilu.

Lebih dari itu, seluruh putusan MK bersifat final dan mengikat. Dalam sistem hukum yang sehat, tidak ada ruang bagi institusi negara lain untuk mengabaikan putusan tersebut. Sayangnya, praktik di lapangan tidak mencerminkan penghormatan terhadap prinsip ini.

Banyak putusan MK yang telah menyatakan suatu norma dalam undang-undang sebagai inkonstitusional bersyarat, tetapi tidak kunjung ditindaklanjuti. Bahkan, dalam beberapa kasus, DPR dan pemerintah justru menerbitkan undang-undang baru yang isinya bertentangan secara substansial dengan putusan MK sebelumnya.

Hal ini jelas mencerminkan rendahnya komitmen terhadap supremasi konstitusi, seolah MK hanya dianggap sebagai formalitas prosedural yang bisa diabaikan jika tidak sejalan dengan kepentingan politik jangka pendek.

Situasi ini bukan hanya menimbulkan ketidakpastian hukum, tetapi juga krisis kepercayaan publik. Masyarakat dibuat bingung: apakah yang berlaku adalah undang-undang buatan DPR atau putusan MK yang final dan mengikat? Ketika lembaga negara sendiri tak tunduk pada hukum, bagaimana mungkin rakyat diminta untuk patuh?

Lebih jauh lagi, kondisi ini berisiko mengganggu keseimbangan kekuasaan antar lembaga negara. Jika putusan MK tidak dihormati, maka mekanisme check and balances dalam sistem demokrasi konstitusional akan lumpuh.

Kondisi ini mengindikasikan terjadinya krisis konstitusi. Kita tengah dihadapkan pada ancaman nyata: negara hukum yang hanya hidup dalam wacana, bukan dalam praktik. Pengabaian terhadap konstitusi bukanlah persoalan sepele. Ia adalah bentuk pengkhianatan terhadap nilai-nilai demokrasi, yang seharusnya dijaga bersama oleh semua elemen bangsa.

Penyelesaian persoalan ini tentu tidak cukup hanya dengan imbauan moral atau seruan etis. Diperlukan langkah konkret, salah satunya melalui pengaturan sanksi politik dan administratif terhadap lembaga negara yang terbukti mengabaikan putusan MK. Regulasi yang tegas akan memberi sinyal bahwa pelanggaran terhadap konstitusi bukan hal yang bisa dibiarkan begitu saja.

Di samping itu, partisipasi masyarakat harus diperkuat. Masyarakat yang kritis dan sadar konstitusi menjadi benteng terakhir untuk menjaga marwah hukum. Di sinilah peran penting akademisi, mahasiswa, dan media massa dalam mengawasi proses legislasi dan mendorong transparansi. Dengan kontrol sosial yang kuat, pembentuk undang-undang tidak akan mudah bertindak sewenang-wenang.

Pendidikan hukum dan konstitusi juga perlu ditanamkan sejak dini, tidak hanya di bangku kuliah hukum, tetapi di ruang-ruang publik, sekolah, komunitas, dan media sosial. Kita perlu membangun budaya konstitusional — menjadikan konstitusi sebagai rujukan moral dan etis dalam kehidupan bernegara, bukan sekadar teks yang dibacakan saat upacara atau sidang istimewa.

Supremasi konstitusi harus ditegakkan dengan konsisten. Jika tidak, kita akan menyaksikan degradasi negara hukum, hingga akhirnya demokrasi menjadi rapuh dan kehilangan makna. Oleh karena itu, sudah saatnya seluruh komponen bangsa — eksekutif, legislatif, yudikatif, dan masyarakat sipil — bersatu mengembalikan konstitusi ke tempat yang semestinya: sebagai hukum tertinggi yang ditaati dan dijunjung tinggi, bukan dipermainkan demi kepentingan sesaat.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *