Mengenal Toxic Masculinity Stereotip Masyarakat Terhadap Emosi Laki-laki

Ilustrasi Mengenal Toxic Masculinity stereotip masyarakat terhadap emosi laki-laki. (source: freepik)
Ilustrasi Mengenal Toxic Masculinity stereotip masyarakat terhadap emosi laki-laki. (source: freepik)

Kesetaraan gender merupakan salah satu  masalah yang tidak asing lagi ditelinga kita, terutama yang sering dialami oleh kaum perempuan. Namun kali ini saya tidak membahas tentang yang dialami kaum perempuan, melainkan yang dialami oleh pasangan mereka yaitu kaum laki-laki. Mungkin para pembaca akan bertanya-tanya “Apa sih masalah yang dialami oleh laki-laki? Mereka kan memiliki fisik yang kuat dan lebih terpandang di depan masyarakat.”

Opini tersebut tidak bisa menutupi bahwa laki-laki juga memiliki masalah kesetaraan gender, sama seperti yang dialami oleh perempuan. Setiap gender pasti memiliki masalah mereka masing-masing, oleh karena itu kita tidak bisa asal beropini dan menitik beratkan sesuatu berdasarkan gender seseorang.

Bacaan Lainnya

Toxic Masculinity adalah suatu tekanan budaya bagi kaum pria untuk berperilaku dan bersikap dengan cara tertentu. Istilah ini umumnya dikaitkan dengan nilai-nilai yang dianggap harus ada di dalam diri seorang pria, misalnya pria harus menunjukkan kekuatan, kekuasaan, dan pantang mengekspresikan emosi, terutama emosi yang dianggap lemah.[1]

Maskulinitas sudah berkembang ribuan tahun yang lalu pada saat Homo Sapiens menggunakan kekuatan mereka misalnya untuk memaksakan dominasi atau mengambil alih kekuasaan dalam kelompoknya. Pada masa itu Homo Sapiens jantan yang paling berkuasa adalah mereka yang dapat bertarung dan berburu, sifat lain yang diinginkan termasuk agresi, kekejaman, dan kekuatan fisik.

Pola ini terus berlanjut selama berabad-abad tidak berubah sampai tahun 1980-an dan 1990-an ketika perilaku tradisional laki-laki menjadi tidak sesuai dengan pandangan masyarakat kotemporer. Namun masih ada kelompok dan subkultur tertentu yang masih terjebak dalam ‘norma tradisional’ ini. Yang membuat maskulinitas bisa menjadi ‘beracun’.[2]

Maskulin sendiri merupakan sesuatu yang sehat apabila masih berada dalam batas wajar serta tidak berlebihan. Toxic Masculinity inilah yang melahirkan stereotip masyarakat terhadap emosi laki-laki. Pada makalah ini saya akan membawa para pembaca sekalian untuk bisa lebih memahami tentang Toxic Masculinity, terutama masalah yang dihadapi oleh laki-laki dalam melampiaskan emosinya.

Stereotip Masyarakat Terhadap Emosi Laki-laki

Emosi adalah perasaan intens yang ditujukan kepada seseorang atau sesuatu. Emosi dapat diekspresikan dengan berbagai cara seperti ketika kita merasa senang tentang sesuatu, marah kepada seseorang, takut terhadap sesuatu ataupun sedih ketika kita gagal maupun kehilangan seseorang.[3]

Pada umumnya laki-laki cenderung lebih tenang dalam mengekspresikan emosi positif yang ia rasakan. Sedangkan emosi negatif laki-laki biasanya dikaitkan dengan amarah atau rasa kesal yang dilampiaskan dengan berteriak, berkata kasar, atau tidak jarang yang melakukan tindakan ekstrim seperti melempar barang ataupun memukul orang lain yang berada di sekitarnya.

Namun, adakalanya emosi negatif sudah tidak dapat dilampiaskan dengan amarah melainkan dengan menangis, hal ini terjadi karena seorang laki-laki sudah tidak mempunyai tenaga untuk melampiaskannya dengan amarah atau masalah yang dihadapinya sudah diluar kendali dan tidak dapat ia tangani lagi.

Masyarakat menganggap seorang laki-laki sejati tidak boleh menangis, pasti kita sering mendengar orang tua terutama  ayah yang mengatakan kepada putranya “Anak laki-laki itu tidak boleh menangis!” Atau orang yang mengatakan “Cengeng dasar! Masa seperti itu saja menangis?” Maksud dari perkataan ini sebenarnya baik yaitu untuk mendidik anak laki-laki supaya menjadi pribadi yang lebih tegar dan kuat saat menghadapi masalahnya kelak.[4]

Hal ini sudah menjadi sesuatu yang wajar dikalangan masyarakat dan menjadi budaya yang diteruskan secara turun-temurun. Masyarakat seharusnya tahu bahwa setiap emosi yang dikeluarkan manusia itu adalah hal yang normal termasuk ‘emosi negatif’ seperti kesedihan, kekecewaan, frustasi, kekhawatiran, dan kemarahan benar-benar suatu hal normal yang dialami baik oleh laki-laki maupun perempuan dan tidak perlu dihindari, ditekan, atau ditakuti.[5]

Tentu pembaca sekalian akan bertanya-tanya kapan, dimana, dan mengapa stereotip masyarakat terhadap emosi laki-laki ini bisa muncul. Ternyata stereotip masyarakat terhadap emosi laki-laki mengalami beberapa perubahan dari zaman ke zaman.

Berikut ini adalah perkembangannya:

  1. Pada zaman Alkitab dan di zaman Pahlawan Yunani dan Romawi kuno menangis karena sedih merupakan sesuatu yang diharapkan dilakukan oleh manusia baik laki-laki maupun perempuan. Bahkan, pada zaman itu kesatria Yunani kuno pun diharapkan untuk menangis karena memang hal itu adalah hal yang normal.
  2. Pada abad ke-16 dan ke-17 di bawah pengaruh Stoic dan penulis klasik lainnya, menjadi penting bagi pria elit untuk mengendalikan emosi mereka, terutama di depan umum. Budaya baru ini terutama diterapkan pada bangsawan dan pria yang berpendidikan saat itu. Tangisan keagamaan serta perasaan manusiawi menjadi pemicu perdebatan pada periode modern awal. Air mata terbaik adalah air mata rohani: air mata penyesalan atas dosa-dosa seseorang, dan air mata rasa syukur atas kasih karunia Tuhan yang menyelamatkan.
  3. Oliver Cromwell adalah orang yang akan menangis di depan umum. Akibatnya, gagasan tentang seorang pria menangis menjadi jauh lebih tidak dapat diterima oleh kaum Royalis dan Anglikan, yang kemudian mengaitkan air mata spiritual dengan fanatisme dan kemunafikan.
  4. Hal tersebut berubah pada abad ke-18. Kaum Metodis menghidupkan kembali semangat emosional kaum Puritan, cerita fiksi yang popular karya Henry Mackenzie yang menormalkan dan menerima bahwa laki-laki bisa untuk menangis. Bahkan pemeran utama laki-lakinya pada saat itu yang ‘banyak’ menangis sering mendapat pujian dikalangan masyarakat. Pada saat itu laki-laki yang menangis merupakan sifat yang sopan yang dikenal sebagai “Sensibilitas”.
  5. Satu generasi kemudian semua hal itu berubah, laki-laki sudah merasakan tekanan bahwa mereka tidak bisa dan tidak boleh untuk menangis. Beberapa sejarawan yang meneliti hal ini seperti Percoco dan Wetmore yang meneliti hal ini pun kurang yakin mengenai sebab dan asal-usul stereotip bahwa laki-laki tidak bisa menangis ini muncul. Namun, mereka meyakini bahwa revolusi industri lah salah satu alasan utama stereotip ini muncul. Dilaporkan, beberapa manajer pabrik sebenarnya melatih pekerja, biasanya laki-laki, untuk menekan emosi mereka agar produktivitas tetap tinggi. Dua puluh tahun peperangan sengit melawan Prancis Revolusioner dan Napoleon telah menghasilkan konsep maskulinitas yang jauh lebih keras di Inggris. [6]

Walaupun demikian sekarang mulai banyak masyarakat yang beranggapan bahwa laki-laki yang menangis itu adalah hal yang normal, dan penelitian pun menunjukan bahwa menahan ataupun memendam perasaaan saat tertekan, marah dan menangis itu tidak baik bagi kesehatan mental dan emosional kita, hanya untuk memenuhi standar maskulinitas yang kemungkinan besar seharusnya tidak ada. Tetapi kita tidak bisa memungkiri bahwa anggapan laki-laki itu tidak boleh menangis sudah ada sekitar 200 tahun yang lalu.[7]

Perbedaan Pola Asuh

Keluarga merupakan pembentuk karakter utama dan yang paling berpengaruh bagi seorang anak sebelum lingkungan sekitarnya. Perbedaan jenis kelamin seringkali membuat orang tua membesarkan anaknya dengan cara yang berbeda. Perbedaan pola asuh berdasarkan perbedaan jenis kelamin sebenarnya diperlukan dan cukup penting karena laki-laki dan perempuan memiliki kekuatan fisik, mental, minat, bakat dan pola pikir yang berbeda. Namun, sering kali perbedaan pola asuh ini membuat orang tua bertindak tidak adil terhadap anak mereka.[8]

Perbedaan pola asuh dan perbedaan cara orang tua dalam membesarkan anaknya berdasarkan jenis kelaminnya ini menjadi salah satu alasan yang kuat dalam permasalahan dan isu tentang pandangan bahwa laki-laki yang menangis itu adalah laki-laki yang lemah.

Hal ini karena anak laki-laki di didik dengan lebih keras dan tegas dalam keluarga. Riset menunjukkan, kebanyakan orang tua lebih sering bertanya pada anak perempuan tentang perasaan mereka dibandingkan kepada anak laki-lakinya.

Hasilnya? Anak laki-laki akan cenderung malu memperlihatkan emosinya. Ia pun akan tumbuh menjadi pria yang tidak bisa berkomunikasi dengan baik, sehingga sulit menjalin relasi dengan orang lain.[9]

Anak laki-laki sering diberi tahu bahwa lebih baik mengendalikan emosi dan bersikap berani ketika mereka mengalami masa-masa sulit. Di seluruh dunia, penelitian telah menunjukkan bahwa wanita lebih cenderung menangis daripada pria ketika mereka frustasi, marah, atau sedih.

Baca Juga: Maraknya Kasus Kekerasan Seksual Sebagai Reaksi Negatif Perkembangan Teknologi

Menurut sebuah penelitian oleh Profesor Ad Vingerhoets, wanita menangis antara 30 dan 64 kali setahun, sedangkan pria hanya menangis antara 6 dan 17 kali.[10] Hal ini dapat membuktikan jika laki-laki menahan emosinya atau kesulitan dalam mengungkapkan emosi kesedihannya.

Orang tua melupakan bahwa menangis juga memiliki manfaat yang banyak yaitu, dapat memperbaiki suasana hati, menjaga dan melindungi mata, membantu membersihkan hidung, dan mempererat hubungan sesama manusia.[11]

Setiap Manusia Terlahir Menangis

Tangisan merupakan hal pertama yang dilakukan oleh setiap manusia ketika dilahirkan, tangisan pula yang dikeluarkan manusia saat masih balita sebagai sarana komunikasi ketika menginginkan sesuatu atau ketika merasa tidak nyaman akan akan sesuatu.

Terlahir sebagai laki-laki tidak akan mengubah fakta bahwa seorang laki-laki juga merupakan ‘manusia’ yang dapat menangis untuk melampiaskan emosinya. Namun ada beberapa penyebab mengapa laki-laki lebih jarang menangis dibandingkan perempuan menurut Brizendine, yaitu:

  1. Memiliki hormon testosteron yang lebih tinggi sehingga lebih kuat menahan tangis.
  2. Memiliki saluran air mata yang lebih besar sehingga air mata tidak gampang jatuh.
  3. Adanya perbedaan pada sel-sel kelenjar air mata antara laki-laki dan perempuan.[12]

Bagi sebagian besar laki-laki berpikir bahwa menangis ataupun  mengeluarkan air mata akan membuatnya terlihat lemah, dan laki-laki  adalah pribadi yang sangat gengsi dicap lemah oleh siapa pun. Sesedih apapun kehidupan yang seorang laki-laki rasakan, ia akan berusaha terlihat kuat, biasa saja bahkan bahagia. Dibandingkan harus dicap sebagai laki-laki yang lemah dan cengeng, banyak pria yang akan menahan kesedihannya. Sebisa mungkin ia juga akan menahan air matanya agar tidak terjatuh.

Ketika seorang laki-laki itu akhirnya menyerah, maka ia tidak bisa lagi menahan dan membendung lagi air matanya maka ia akan menangis. Namun, ini bukan berarti karena laki-laki itu lemah, tetapi karena beberapa laki-laki itu terlahir dengan perasaan yang cukup sensitif dan penyayang.

Baca Juga: Kendali Perekonomian Indonesia: Daya Beli Kelas Menengah yang Semakin Lesu

Laki-laki yang menangis di depan seseorang ataupun pasangannya membuktikan bahwa ia telah percaya dan memiliki cinta serta ketulusan terhadap pasangannya itu. Saat seorang laki-laki sudah merasakan nyaman dan percaya terhadap pasangan ataupun sahabat dan keluarganya, baginya tidak ada lagi gengsi untuk mengeluarkan air matanya. Akan tetapi, adakalanya seorang laki-laki itu menangis di momen-momen tertentu, momen itu bisa karena sangat menyedihkan ataupun bisa karena sangat bahagia sampai terharu.[13]

Dampak Menahan Emosi Bagi Laki-Laki

Sesuatu yang sudah lama ditahan sewaktu-waktu pasti dapat meledak, begitu pula dengan menahan emosi yang kita rasakan. Banyak riset yang menyatakan bahwa perbandingan-perbandingan bunuh diri pada pria lebih tinggi daripada wanita. Salah satu  riset  dari  World Health Organization  (WHO) menyebutkan bahwa  80% pria  melakukan bunuh diri dari total semua kasus bunuh diri di Amerika.

Di Indonesia sendiri, riset yang sama menyebutkan bahwa 2,9% orang dari 100.000 orang melakukan bunuh diri, di mana  pria mendominasi  angka tersebut. Rata-rata usia  harapan hidup pria  di dunia adalah  69 tahun, jauh lebih rendah dari wanita pada angka 74 tahun. Beberapa dampak yang akan dirasakan oleh laki-laki jika terus menahan emosinya, yaitu:

  1. Tekanan psikologis yang lebih besar. Laki-laki terkadang merasa perlu menyembunyikan atau menghindari pengekspresian emosi yang mereka rasakan. Terkhusus, emosi dan perasaan yang berkaitan dengan kerentanan yang dianggap sebagai karakteristik feminin.
  2. Risiko depresi dan kecemasan yang lebih besar. Seperti yang sebelumnya. Menahan emosi yang rentan untuk mengalami depresi. Karena emosi tidak disalurkan dengan baik.
  3. Penyalahgunaan zat dan obat-obat terlarang. Laki-laki cenderung tidak mencari bantuan karena tidak ingin dianggap lemah. Hal tersebut, terkadang membawa laki-laki untuk mencari cara mengatasi permasalahannya dengan hal yang tidak sehat, seperti penyalahgunaan zat alkohol, hingga narkoba atau obat-obatan yang dilarang.
  4. Risiko terkena gangguan kesehatan, seperti tekanan darah tinggi.
  5. Masalah terkait dengan pasangan hingga terjadinya kekerasan. Toxic Masculinity dapat menimbulkan kekerasan dalam rumah tangga, sikap laki-laki yang mendominasi dan mengontrol pasangan, dengan ancaman berupa tindak kekerasan.[14]

Kesimpulan

Emosi adalah perasaan yang tidak memiliki gender, baik perempuan maupun laki-laki dapat merasakannya dan hal itu juga normal. Emosi apapun itu, baik yang akan membuat seseorang terlihat kuat maupun lemah tidak ada batasan tertentu untuk merasakannya, tidak ada peraturan tertentu untuk mengekspresikannya, dan tidak ada larangan tertentu untuk menyembunyikannya.

Baca Juga: Langkah Strategis Mengatasi Kondisi Darurat Literasi di Indonesia

Semua emosi dapat dikeluarkan saat kita merasakannya karena itu adalah hak setiap individu. Menangis tidak dapat menjadi tolak ukur seorang laki-laki itu kuat atau lemah, selama laki-laki menyandang sebagai seorang ‘manusia’ ia dapat menangis sebanyak yang diinginkannya, kapanpun, dan dimanapun itu.

Opini negatif yang masyarakat keluarkan tentu tidak dapat dibungkam begitu saja, namun sebagai individu kita dapat memilah mana opini yang benar dan yang tidak. Saat ini dengan berkembangnya teknologi serta penelitian tentang kesehatan mental sudah banyak pandangan masyarakat yang terbuka dan lebih menghargai emosi yang dikeluarkan oleh orang disekitar mereka.


[1] https://www.alodokter.com/toxic-masculinity-ini-yang-perlu-kamu-ketahui (Website Alodokter diakses 15 Oktober 2024)

[2]https://www.medicalnewstoday.com/articles/toxic-masculinity#origins (Website Medical News Today diakses 15 Oktober 2024)

[3] Frieda, N.H. (Inggris)“Moods, Emotion Episodes and Emotions”, New York: Guilford Press, 1993, hal. 381-403.

[4] http://yayasanpulih.org/2020/09/kenapa-laki-laki-dilarang-menangis/ (Website Yayasan Pulih diakses 15 Oktober 2024)

[5] https://www.irishtimes.com/life-and-style/health-family/parenting/fears-for-tears-why-do-we-tell-boys-not-to-cry-1.4006399 (Website The Irish Times diakses 15 Oktober 2024)

[6] https://warwick.ac.uk/newsandevents/knowledgecentre/arts/history/big-boys-dont-cry/ (Website WARWICK diakses 15 Oktober 2024)

[7] https://www.upworthy.com/historians-say-the-time-when-men-were-men-never-really-existed (Website UP WOR THY diakses 15 Oktober 2024)

[8]https://lifestyle.kompas.com/read/2013/09/14/1417333/Perbedaan.Pola.Asuh.Anak.Lelaki.dan.Perempuan?page=all&jxconn=1*15gc1ni*other_jxampid*VzdPWk5SVll4Vk5IYkdRR1d3WXJROXZBcURLYlVHQnBOa0V3cUc4Ql9wbUF5VF83VjVLSGR3WnZmTDgwY05rSA.. – page2 (Website KOMPAS.COM diakses 16 Oktober 2024)

[9] https://nakita.grid.id/amp/0210292/pola-asuh-yang-membuat-anak-laki-laki-tumbuh-jadi-pria-bertanggungjawab (Website nakita.grid.id diakses 16 Oktober 2024)

[10] https://www.bbc.com/newsround/48379047 (Website newsround diakses 16 Oktober 2024)

[11] https://hellosehat.com/mental/manfaat-menangis/ (Website hellosehat.com diakses 16 Oktober 2024)

[12] https://hellosehat.com/pria/penyakit-pria/mengapa-pria-sulit-menangis/ (Website hellosehat diakses 16 Oktober 2024)

[13] https://m.fimela.com/amp/3877750/sesedih-apapun-pria-baginya-terlalu-gengsi-mengeluarkan-air-mata – aoh=16380018663216&referrer=https%3A%2F%2Fwww.google.com&amp_tf=From%20%251%24s

(Website Fimela.com, Jakarta diakses 16 Oktober 2024)

[14] http://himapsikologi.student.uny.ac.id/international-mens-day-2020/ (Himpunan Mahasiswa Psikologi UNY diakses 16 Oktober 2024)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *