Menghidupkan Kembali Moralitas di Tengah Gempuran Era Digital

Ilustrasi/kompas
Ilustrasi/kompas

Kemajuan teknologi di era modern membawa perubahan besar dalam kehidupan manusia. Informasi dapat menyebar dengan begitu cepat, membuat batas antara dunia nyata dan maya semakin kabur.

Namun, kemudahan ini juga memunculkan tantangan serius: penurunan nilai-nilai moral di masyarakat. Fenomena seperti ujaran kebencian, perundungan daring (cyberbullying), hingga perilaku kasar di media sosial mencerminkan lemahnya penguatan pendidikan moral dalam menghadapi era digital.

Bacaan Lainnya

Ironisnya, pendidikan moral yang seharusnya menjadi landasan pembentukan karakter justru semakin terpinggirkan. Tanpa moralitas, kecanggihan teknologi dapat menjadi alat destruktif yang merugikan banyak pihak.

Contohnya, kasus yang menghebohkan media sosial beberapa waktu lalu, ketika dua mahasiswi Universitas Bandar Lampung (UBL) menghina fasilitas kampus Institut Informatika dan Bisnis (IIB) Darmajaya.

Video tersebut viral, menunjukkan kedua mahasiswi menghina satpam dan kendaraan kampus. Mereka akhirnya meminta maaf, mengakui bahwa tindakan itu bermotif iseng. Insiden ini menjadi potret nyata lemahnya pemahaman moralitas di tengah arus deras teknologi digital.

Dahulu, pelajaran budi pekerti menjadi bagian penting dalam pendidikan formal. Nilai-nilai seperti empati, toleransi, dan penghormatan diajarkan secara langsung. Namun, seiring perubahan kurikulum, mata pelajaran ini tidak lagi diajarkan secara khusus, menyisakan ruang kosong yang berpotensi memperburuk kondisi moral masyarakat.

Baca Juga: Menghormati Guru: Pilar Pendidikan yang Harus Dijaga

Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, pernah menyatakan bahwa pendidikan nilai sudah terintegrasi dalam mata pelajaran agama dan kewarganegaraan, sehingga tidak perlu pelajaran khusus budi pekerti. Meski begitu, beliau menegaskan bahwa nilai-nilai ini harus tercermin dalam setiap mata pelajaran.

Pendidikan moral sejatinya dapat dihidupkan kembali dengan pendekatan yang relevan. Salah satu caranya adalah mengintegrasikan pendidikan moral ke dalam aktivitas sekolah. Guru dapat memulai kelas dengan sesi refleksi singkat, mendiskusikan cerita yang mengandung pesan moral terkait tema pelajaran.

Selain itu, program seperti Proyek Kebiasaan Baik atau simulasi penyelesaian konflik bisa membantu siswa memahami cara menyelesaikan masalah secara bijak. Langkah ini tidak hanya memperkuat karakter siswa tetapi juga menciptakan lingkungan pendidikan yang berbasis moralitas.

Literasi digital juga perlu menjadi prioritas. Berdasarkan laporan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), pengguna internet di Indonesia pada tahun 2024 mencapai 79,5% dari populasi, atau sekitar 221 juta jiwa.

Dengan peningkatan ini, sekolah dan komunitas harus mengedukasi masyarakat tentang etika digital, termasuk bahaya cyberbullying dan pentingnya menjaga sopan santun dalam berkomunikasi online.

Baca Juga: Hedonisme: Ancaman Terhadap Masa Depan Bangsa

Selain itu, keluarga memiliki peran penting dalam membentuk moral anak. Orang tua harus menjadi teladan dalam bersikap sopan dan menghargai orang lain, termasuk di dunia maya. Pengawasan terhadap penggunaan teknologi oleh anak-anak juga penting untuk mencegah mereka terpapar konten negatif yang merusak moralitas.

Di tengah gempuran era digital, pendidikan moral harus menjadi perhatian utama. Generasi muda tidak hanya harus tumbuh menjadi individu yang cerdas dan kompeten, tetapi juga memiliki karakter yang baik. Dengan cara ini, teknologi dapat dimanfaatkan secara bijak untuk menciptakan keseimbangan antara dunia nyata dan dunia maya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *