Pendidikan merupakan pilar utama dalam membentuk peradaban suatu bangsa. Dalam konteks Indonesia, tujuan pendidikan tercantum jelas dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat, yakni “…mencerdaskan kehidupan bangsa…”.
Kalimat tersebut menegaskan bahwa pembangunan bangsa tidak hanya bertumpu pada aspek ekonomi atau infrastruktur, tetapi juga pada peningkatan kualitas sumber daya manusia yang cerdas dan berkepribadian baik. Pendidikan di Indonesia tidak hanya ditujukan untuk mengasah kecerdasan intelektual, tetapi juga membentuk karakter dan moralitas individu.
Pentingnya pendidikan ditegaskan pula dalam Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.” Dalam implementasinya, lembaga pendidikan di Indonesia terbagi menjadi berbagai tingkatan, dari tingkat dasar hingga pendidikan tinggi, dan juga berdasarkan kepemilikannya, yaitu sekolah negeri yang dikelola oleh pemerintah dan sekolah swasta yang dikelola oleh masyarakat.
Dalam penyelenggaraan pendidikan, setiap sekolah memiliki kewenangan untuk menetapkan peraturan internal demi menciptakan lingkungan belajar yang kondusif. Salah satu bentuk regulasi yang lazim ditemukan di sekolah adalah aturan mengenai seragam atau tata cara berpakaian. Aturan ini dianggap penting karena berhubungan dengan pembentukan moral dan etika peserta didik.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, muncul berbagai kontroversi terkait kebijakan berpakaian di sekolah negeri, terutama mengenai kewajiban mengenakan hijab. Kebijakan semacam ini kerap diterapkan di wilayah dengan mayoritas penduduk beragama Islam, dengan alasan menyesuaikan dengan norma budaya dan sosial masyarakat setempat.
Salah satu kasus yang menjadi sorotan nasional terjadi di Kota Padang, Sumatera Barat. Di kota ini, pemerintah daerah mengatur kewajiban penggunaan seragam muslim/muslimah melalui Peraturan Daerah Kota Padang Nomor 5 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pendidikan, khususnya Pasal 14 poin J. Aturan tersebut menyebutkan bahwa peserta didik wajib mengenakan seragam muslim dan mengikuti kegiatan-kegiatan Islami lainnya.
Kebijakan ini dibuat atas dasar keinginan untuk mencerminkan nilai budaya Minangkabau yang identik dengan Islam. Namun, dalam praktiknya, aturan ini menjadi perdebatan ketika diterapkan secara menyeluruh kepada semua peserta didik, tanpa memandang latar belakang agama mereka. Akibatnya, muncul dugaan diskriminasi terhadap siswa nonmuslim yang merasa terpaksa harus mengikuti aturan tersebut.
Contohnya terjadi di SMKN 2 Kota Padang, di mana seorang siswi nonmuslim dilaporkan mengalami tekanan untuk memakai hijab. Padahal, secara eksplisit, kebijakan tersebut seharusnya hanya berlaku bagi peserta didik muslim.
Ketimpangan ini menunjukkan adanya perbedaan interpretasi antara perumus kebijakan dengan pelaksana di lapangan. Perbedaan pemahaman tersebut mengakibatkan ketidakadilan bagi siswa dari kelompok agama minoritas.
Dalam konteks ini, penerapan kebijakan sekolah yang bersifat seragam dan tidak mempertimbangkan keragaman budaya dan agama di Indonesia jelas berpotensi melanggar nilai-nilai dasar negara, terutama sila pertama Pancasila, yakni “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Sila ini menegaskan pentingnya kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia.
Pemaksaan identitas agama mayoritas kepada seluruh peserta didik tanpa mempertimbangkan latar belakang mereka bertentangan dengan semangat pluralisme yang dijunjung dalam Pancasila.
Lebih jauh lagi, kebijakan yang memaksakan aturan berpakaian tertentu tanpa ruang dialog dan kompromi dengan peserta didik juga berpotensi melanggar sila kedua Pancasila, yakni “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.”
Dalam sila ini, ditegaskan pentingnya penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia, termasuk hak untuk mengekspresikan identitas diri. Ketika siswi nonmuslim dipaksa memakai hijab, bukan saja hak kebebasan beragama mereka dilanggar, tetapi juga kebebasan berekspresi mereka dirampas. Situasi ini mencerminkan ketidakadilan yang merugikan kelompok minoritas dalam sistem pendidikan.
Dari sudut pandang teori konflik Karl Marx, kondisi ini mencerminkan ketimpangan kekuasaan. Marx membagi masyarakat dalam dua kelas utama: borjuis sebagai penguasa dan proletar sebagai pihak yang dikuasai.
Dalam kasus ini, mayoritas agama memiliki posisi seperti kelas borjuis, yang mampu membentuk kebijakan publik yang menguntungkan kelompoknya sendiri. Sementara kelompok minoritas, sebagai pihak yang lebih lemah, menjadi korban dari sistem yang diskriminatif.
Ketimpangan seperti ini tidak hanya menciptakan ketidakadilan sosial, tetapi juga merusak makna pendidikan sebagai ruang yang aman, netral, dan inklusif.
Secara tidak langsung, kondisi ini juga bertentangan dengan sila kelima Pancasila: “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.” Keadilan sosial menuntut adanya perlakuan yang setara bagi seluruh rakyat, tanpa diskriminasi atas dasar agama, ras, atau suku bangsa. Ketika kebijakan sekolah justru menciptakan ketimpangan dalam hal berpakaian dan praktik keagamaan, maka tujuan menciptakan keadilan sosial menjadi sulit tercapai.
Untuk menjawab tantangan ini, salah satu pendekatan yang bisa digunakan adalah pendidikan multikultural. Pendidikan seharusnya menjadi ruang yang mengajarkan toleransi, bukan hanya melalui teori, tetapi juga praktik sehari-hari. Toleransi yang diajarkan tidak hanya bersifat pasif, yakni sekadar mengakui perbedaan, tetapi juga aktif, yaitu menghargai dan membangun kerja sama dalam keberagaman.
Sekolah harus menjadi tempat yang aman bagi setiap individu untuk mengekspresikan identitasnya, baik dari segi budaya maupun agama. Untuk itu, penting bagi pemerintah, baik pusat maupun daerah, untuk meninjau kembali regulasi-regulasi yang berpotensi menimbulkan diskriminasi dan menyalahi nilai-nilai Pancasila. Negara harus bersikap netral dan menjadi fasilitator kebebasan, bukan alat dominasi kelompok tertentu.
Lebih jauh lagi, lembaga pendidikan perlu menjalankan fungsi transformasi nilai. Artinya, pendidikan bukan hanya mengajarkan Pancasila sebagai hafalan, tetapi juga sebagai nilai hidup yang dipraktikkan dalam interaksi sosial di sekolah. Hal ini bisa dimulai dari pelatihan guru, kurikulum yang inklusif, serta keterlibatan semua pemangku kepentingan dalam merumuskan kebijakan sekolah.
Jika Indonesia ingin mewujudkan cita-cita sebagai bangsa yang adil, cerdas, dan beradab, maka langkah awalnya adalah memastikan bahwa dunia pendidikan mencerminkan nilai-nilai luhur bangsa. Salah satu indikatornya adalah ketika semua peserta didik, apapun latar belakangnya, merasa diterima, dihargai, dan bebas mengekspresikan keyakinannya tanpa tekanan.





