Di tengah gempuran arus modernisasi yang serba cepat, banyak tradisi lokal tergerus dan perlahan menghilang dari kehidupan masyarakat. Namun, di Dusun Sidorejo, Desa Sedah, Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo, sebuah tradisi kuno masih bertahan dan dipertahankan dengan penuh makna: perhitungan weton dalam pernikahan Jawa.
Tradisi ini tidak hanya merepresentasikan keyakinan masyarakat terhadap nilai-nilai leluhur, tetapi juga menjadi simbol harmoni antara budaya, keyakinan, dan kehidupan sosial.
Perhitungan weton adalah bagian integral dari budaya Jawa. Ia menggabungkan sistem kalender Jawa, yang terdiri dari hari pasaran (Pon, Wage, Kliwon, Legi, dan Pahing), dengan kalender Masehi. Kombinasi keduanya menghasilkan nilai numerik atau yang dikenal dengan neptu. Dalam pernikahan, neptu digunakan untuk menentukan kecocokan pasangan serta memilih waktu terbaik untuk melangsungkan prosesi sakral tersebut.
Bagi masyarakat Dusun Sidorejo, menghitung weton bukanlah ritual semata, melainkan bentuk penghormatan terhadap adat istiadat yang telah diwariskan secara turun-temurun. Tradisi ini diyakini mampu menjaga keharmonisan rumah tangga dan mencegah konflik yang mungkin terjadi akibat ketidakcocokan watak pasangan.
Dalam praktiknya, proses perhitungan ini tidak dilakukan sembarangan. Calon pengantin atau keluarganya akan mendatangi seorang tokoh adat yang disebut pujonggo, yang memiliki pengetahuan mendalam tentang weton.
Pujonggo akan mengumpulkan informasi tentang tanggal lahir kedua calon pengantin dan mengonversinya ke sistem kalender Jawa. Selanjutnya, dilakukan perhitungan neptu berdasarkan kombinasi hari dan pasaran. Dari hasil ini, akan diketahui apakah pasangan tersebut dinilai serasi atau memiliki sengkolo—indikasi ketidakcocokan yang diyakini dapat menimbulkan hambatan dalam rumah tangga.
Jika ditemukan sengkolo, keluarga akan melakukan ritual tertentu untuk menetralkan energi negatif yang mungkin muncul. Ritual ini tidak hanya bertujuan menghindari kesialan, tetapi juga menciptakan keyakinan dan ketenangan batin bagi calon pengantin serta keluarganya.
Lebih dari sekadar proses matematis, tradisi weton memiliki nilai filosofis yang mendalam. Dalam pandangan masyarakat Jawa, kehidupan yang harmonis harus selaras dengan tatanan alam semesta. Dengan menghitung weton, masyarakat percaya bahwa mereka sedang memohon restu dari alam untuk memulai fase kehidupan baru.
Tradisi ini juga memperkuat nilai-nilai sosial seperti kebersamaan dan musyawarah. Proses perhitungannya melibatkan banyak pihak, dari keluarga besar hingga tokoh masyarakat, yang menjadi bukti pentingnya relasi sosial dalam budaya Jawa.
Komunikasi menjadi aspek penting dalam pelaksanaan tradisi ini. Bahasa yang digunakan cenderung sopan dan penuh hormat, mencerminkan nilai kesantunan dalam budaya Jawa. Selain itu, gestur non-verbal seperti duduk bersila atau menundukkan kepala menunjukkan sikap hormat terhadap leluhur dan adat istiadat.
Tradisi ini bukan hanya tentang hasil akhir perhitungan, tetapi juga tentang membangun dan mempererat hubungan sosial antar anggota masyarakat.
Namun, keberlanjutan tradisi weton tidak lepas dari tantangan zaman. Modernisasi dan globalisasi memunculkan sikap kritis di kalangan generasi muda. Sebagian menganggap tradisi ini sebagai takhayul yang tidak relevan dengan kehidupan masa kini. Mereka menuntut pendekatan rasional dan ilmiah dalam mengambil keputusan, termasuk dalam hal pernikahan.
Meski demikian, tidak sedikit pula yang tetap menghargai dan melestarikan tradisi ini sebagai bagian dari jati diri budaya. Bagi mereka, weton bukan soal percaya atau tidak, melainkan bagian dari identitas yang mengajarkan tentang pentingnya menghargai nilai-nilai warisan nenek moyang.
Dalam menghadapi tantangan tersebut, masyarakat Dusun Sidorejo melakukan berbagai upaya untuk menjaga keberlanjutan tradisi ini. Anak-anak diperkenalkan pada makna weton sejak dini melalui cerita-cerita keluarga dan pengalaman langsung saat perhitungan dilakukan.
Tokoh-tokoh adat mulai mendokumentasikan proses dan makna filosofis weton agar dapat dipelajari secara berkelanjutan. Lebih dari itu, nilai-nilai dalam tradisi ini diintegrasikan dengan ajaran agama yang dianut masyarakat setempat, yaitu Islam, sehingga terasa lebih relevan dan diterima oleh generasi muda.
Pelestarian tradisi weton menjadi langkah penting dalam menjaga keberagaman budaya bangsa Indonesia. Tradisi ini menunjukkan bahwa modernitas tidak selalu harus menghapus warisan lama, melainkan bisa berdampingan secara harmonis. Justru dengan mempertahankan nilai-nilai budaya lokal, kita dapat memperkaya cara pandang terhadap kehidupan.
Kesimpulannya, perhitungan weton dalam pernikahan Jawa adalah refleksi dari cara masyarakat memaknai hidup secara menyeluruh. Ia menyatukan logika, keyakinan, budaya, dan spiritualitas dalam satu proses yang sarat makna.
Di tengah derasnya perubahan zaman, weton masih menjadi pilar yang menjaga keseimbangan antara manusia dengan alam, serta antara masa lalu dengan masa depan. Semoga tradisi ini tetap lestari dan terus menjadi bagian dari mozaik kebudayaan Indonesia.