Pembangunan Sirkuit Mandalika di Lombok, Nusa Tenggara Barat, merupakan proyek infrastruktur strategis nasional yang bertujuan menjadi tuan rumah ajang balap internasional seperti MotoGP. Proyek ini didorong oleh visi besar untuk mempercepat pertumbuhan sektor pariwisata dan meningkatkan perekonomian daerah.
Dengan investasi negara sebesar Rp2,2 triliun dan tambahan investasi pelaku usaha yang mencapai Rp28,63 triliun, Mandalika diharapkan dapat menyumbang devisa hingga Rp7,5 triliun per tahun dan memberikan kontribusi sebesar Rp16,96 triliun terhadap PDB sektor pariwisata.
Namun, di balik potensi ekonomi yang menjanjikan tersebut, muncul persoalan serius yang menyangkut perubahan sosial, terutama bagi masyarakat adat di sekitar kawasan proyek.
Komunitas adat seperti masyarakat Sasak memiliki keterikatan mendalam terhadap tanah leluhur mereka. Tanah bukan sekadar aset ekonomi, tetapi juga simbol identitas, spiritualitas, dan warisan budaya yang diwariskan turun-temurun.
Pembangunan Sirkuit Mandalika telah mengubah struktur sosial dan fisik wilayah ini, yang berdampak signifikan terhadap kesejahteraan, kedaulatan budaya, serta hak atas tanah masyarakat adat.
Penggusuran secara sepihak menjadi isu paling mengemuka. Banyak warga adat kehilangan lahan yang mereka kuasai secara turun-temurun. Proses pengambilalihan lahan kerap dilakukan tanpa dialog transparan atau musyawarah mufakat, dan sering kali dibalut dengan narasi “demi kepentingan nasional”.
Akibatnya, masyarakat tak hanya kehilangan tempat tinggal, tetapi juga sumber penghidupan utama seperti bertani, beternak, dan membuat kerajinan. Ketika dipindahkan ke tempat baru yang belum memiliki infrastruktur memadai, kualitas hidup mereka justru menurun drastis.
Selain itu, berbagai laporan menyebutkan adanya pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam proses pembangunan, seperti intimidasi, tekanan administratif, dan tidak transparannya informasi publik.
Masyarakat yang bersuara menentang kerap menghadapi tekanan hukum atau pengucilan. Hal ini menyebabkan erosi kepercayaan terhadap pemerintah dan sistem hukum negara. Hak masyarakat adat untuk menyuarakan pendapat serta mempertahankan budaya mereka terancam.
Dalam masyarakat adat, sanksi adat adalah mekanisme sosial yang menjaga tatanan dan harmoni. Sanksi ini tidak semata bersifat represif, tetapi juga restoratif. Dalam beberapa kasus, sanksi adat digunakan untuk menolak relokasi yang tidak adil atau sebagai perlawanan terhadap tindakan penggusuran paksa.
Bentuk sanksinya bervariasi, mulai dari teguran lisan, denda simbolis, hingga pengucilan. Namun, dalam konteks konflik lahan dan proyek besar seperti Mandalika, sanksi adat terkadang disalahgunakan sebagai alat untuk menekan kelompok internal yang dianggap tidak sejalan dengan kepentingan elite lokal atau luar. Hal ini menimbulkan konflik horizontal dan melemahkan kohesi sosial masyarakat adat.
Mekanisme hukum formal sering kali tidak mampu mengakomodasi hukum adat. Dalam proses pembebasan lahan Mandalika, pihak seperti ITDC dan pemerintah mengabaikan peran penting keliang atau tokoh adat.
Sosialisasi proyek dilakukan dalam bahasa Indonesia, yang tidak semua masyarakat pahami sepenuhnya. Tanpa pemahaman utuh, mereka kehilangan hak untuk menyatakan keberatan atau menegosiasikan harga tanah dengan layak.
Lebih jauh, pembangunan Sirkuit Mandalika juga mengancam eksistensi adat secara keseluruhan. Modernisasi yang cepat tanpa pendekatan partisipatif telah mengikis nilai-nilai budaya. Budaya luar yang masuk seiring dengan arus wisatawan dan media digital membuat generasi muda semakin jauh dari kearifan lokal.
Anak-anak masyarakat adat kini lebih mengenal budaya populer ketimbang tradisi leluhur. Hilangnya ruang adat fisik, seperti lahan upacara dan tempat ritual, semakin mempercepat proses disintegrasi budaya ini.
Pembangunan yang mengabaikan keberadaan dan partisipasi aktif masyarakat adat dapat berdampak sangat luas. Tidak hanya menyebabkan konflik sosial dan kerusakan lingkungan, tetapi juga mengancam hilangnya identitas kolektif yang sudah terbentuk selama berabad-abad. Oleh karena itu, pengakuan dan perlindungan terhadap hak masyarakat adat menjadi sangat penting.
Secara hukum, keberadaan masyarakat adat sebenarnya telah mendapat pengakuan. Beberapa dasar hukum yang menjamin hak-hak mereka di antaranya:
- Pasal 18B ayat (2) UUD 1945
- UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
- UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa
- Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 yang menegaskan pengakuan terhadap hak masyarakat hukum adat atas hutan adat
Namun, proyek-proyek strategis nasional seperti Mandalika juga dilandasi oleh berbagai kebijakan lain yang mendorong pengadaan lahan untuk pembangunan. Di antaranya UU No. 2 Tahun 2012 tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, serta sejumlah peraturan pemerintah dan perpres yang mempercepat implementasi proyek di kawasan ekonomi khusus (KEK). Konflik antara hukum positif dan hak kolektif masyarakat adat pun tak terelakkan.
Salah satu prinsip penting yang seharusnya ditegakkan dalam konteks pembangunan adalah Free, Prior and Informed Consent (FPIC). Prinsip ini mewajibkan pihak pengembang untuk mendapatkan persetujuan masyarakat secara bebas, tanpa tekanan, dengan informasi yang lengkap, dan dilakukan sebelum proyek dimulai. Namun, dalam kasus Mandalika, prinsip ini terabaikan. Proses yang minim transparansi dan minim partisipasi masyarakat telah mencederai hak dasar mereka.
Dalam menghadapi tantangan ini, beberapa langkah solutif dapat dilakukan. Pertama, perlu adanya pemberdayaan masyarakat adat melalui pelatihan dan pendampingan. Masyarakat perlu dibekali kemampuan untuk mengelola sumber daya budaya dan alam secara mandiri serta berkelanjutan. Kedua, proyek pembangunan harus mengintegrasikan nilai-nilai budaya lokal dalam desain dan pelaksanaannya. Misalnya, pembangunan pusat budaya, festival adat, dan museum lokal yang bisa menjadi sarana pelestarian sekaligus objek wisata.
Ketiga, legislasi yang kuat perlu dikembangkan untuk melindungi tanah adat. Regulasi harus menjamin mekanisme kompensasi dan relokasi yang adil dan transparan. Keempat, dibutuhkan kolaborasi multipihak melalui forum konsultasi antara pemerintah, investor, masyarakat adat, dan LSM. Partisipasi aktif masyarakat lokal dalam perencanaan pembangunan akan memperkuat legitimasi sosial proyek.
Kelima, penting untuk melakukan revitalisasi budaya lokal. Program pendidikan berbasis budaya dan dokumentasi pengetahuan tradisional harus digalakkan. Ini bisa melibatkan kerjasama antara lembaga pendidikan, pemerintah daerah, dan komunitas adat untuk memastikan regenerasi budaya tetap terjadi.
Kesimpulannya, pembangunan infrastruktur berskala besar seperti Sirkuit Mandalika harus dilakukan dengan pendekatan yang inklusif dan menghormati hak-hak dasar masyarakat adat. Kemajuan ekonomi tidak boleh dibayar dengan penghapusan identitas kultural dan kedaulatan sosial masyarakat lokal. Menjadikan pembangunan sebagai ruang kolaborasi antara modernitas dan tradisi adalah kunci untuk menciptakan pertumbuhan yang adil, berkelanjutan, dan berkeadilan sosial.