Perkawinan merupakan bentuk ikatan yang sakral, dimaknai sebagai langkah penting dalam membangun keluarga dan melanjutkan keturunan. Ikatan ini idealnya dilandasi oleh kesepakatan dua pihak yang matang dan saling memahami.
Namun, tidak semua bentuk perkawinan berjalan sesuai prinsip tersebut. Di Sumba, Nusa Tenggara Timur, dikenal sebuah tradisi yang disebut kawin tangkap, atau dalam bahasa lokal dikenal sebagai Piti Maranggangu. Tradisi ini telah menjadi bagian dari identitas budaya masyarakat setempat yang diwariskan secara turun-temurun.
Dalam praktiknya, kawin tangkap melibatkan penangkapan perempuan oleh seorang laki-laki yang berniat menikahinya. Proses ini umumnya dilakukan dengan bantuan keluarga atau komunitas pria tersebut.
Dalam kerangka hukum adat, praktik ini memiliki makna simbolik yang dalam, memperlihatkan struktur sosial patriarkal di mana laki-laki menjadi pengambil keputusan utama. Akan tetapi, dari sudut pandang hak asasi manusia, khususnya hak perempuan, tradisi ini menyimpan banyak persoalan.
Menurut pandangan masyarakat adat, pernikahan bukan hanya menyatukan dua individu, tetapi juga dua keluarga besar. Kawin tangkap dianggap sebagai bukti perjuangan seorang pria untuk memperoleh perempuan yang dicintainya.
Namun, dalam banyak kasus, prinsip dasar kesepakatan bersama justru diabaikan. Perempuan sering tidak diberikan ruang untuk menyatakan persetujuan secara bebas, menjadikan mereka korban dari praktik yang semestinya bersifat sakral dan saling mengikat secara sukarela.
Proses kawin tangkap mengikuti sejumlah tahapan. Biasanya, pihak laki-laki menyiapkan diri dengan pakaian adat dan menunggang kuda yang dihiasi kain tenun, simbol keberanian dan kehormatan. Sementara itu, perempuan yang akan “ditangkap” juga dipakaikan busana adat.
Setelah penangkapan simbolik berlangsung, pihak laki-laki akan menyerahkan seekor kuda dan sebilah parang kepada keluarga perempuan sebagai tanda permintaan maaf sekaligus pengakuan bahwa perempuan tersebut kini menjadi bagian dari keluarga mereka.
Bagi masyarakat Sumba, kawin tangkap memiliki nilai budaya yang mendalam, mencerminkan solidaritas sosial dan gotong royong. Keterlibatan komunitas dan keluarga dalam prosesi ini memperkuat tali kekerabatan.
Namun, di balik semua nilai luhur tersebut, terselip praktik yang dapat mengakibatkan kerugian psikologis dan sosial bagi perempuan. Tidak jarang perempuan mengalami trauma karena proses penangkapan yang dilakukan tanpa persetujuan, bahkan dengan unsur paksaan dan kekerasan.
Seiring waktu, makna dan pelaksanaan kawin tangkap mengalami pergeseran. Tradisi yang dahulu dilakukan dengan unsur kesepakatan kini kerap dijalankan tanpa mempertimbangkan kehendak perempuan.
Mereka yang menolak atau berusaha melarikan diri dari pernikahan dianggap mencemarkan nama baik keluarga, bahkan melanggar norma adat. Tekanan sosial ini menjebak perempuan dalam posisi tidak berdaya, sehingga mereka terpaksa menerima pernikahan tersebut.
Kondisi ini memperlihatkan adanya ketimpangan kekuasaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan dalam struktur sosial adat. Dalam konteks hukum nasional, berbagai peraturan seperti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) sudah melindungi hak perempuan.
Namun, dalam praktiknya, norma adat yang kuat sering kali menghalangi pelaporan atau penindakan terhadap kasus kawin tangkap, karena dianggap sebagai urusan internal masyarakat adat.
Pandangan masyarakat terhadap tradisi ini pun beragam. Sebagian mendukung pelestarian kawin tangkap sebagai warisan budaya dan simbol jati diri masyarakat Sumba. Mereka menilai kritik terhadap tradisi ini berasal dari perspektif luar yang tidak memahami konteks budaya lokal.
Sebaliknya, terdapat pula kelompok kritis yang menuntut reformasi tradisi kawin tangkap agar lebih menghargai hak individu, terutama hak perempuan. Kelompok ini mendorong pentingnya edukasi mengenai kesetaraan gender dan hak asasi manusia, agar persepsi masyarakat dapat berubah secara perlahan namun pasti.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh organisasi masyarakat sipil dan pegiat hak perempuan di Sumba. Mereka memberikan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya kesetaraan dan perlindungan terhadap perempuan.
Pemerintah daerah juga didorong untuk meluncurkan program pemberdayaan perempuan agar posisi mereka dalam struktur sosial adat semakin kuat dan setara. Namun, tantangan terbesar dalam proses reformasi ini adalah bagaimana menyeimbangkan pelestarian budaya lokal dengan penghormatan terhadap nilai-nilai universal hak asasi manusia.
Reformasi tidak berarti menghapus budaya lokal sepenuhnya. Justru reformasi bertujuan memodernisasi tradisi agar lebih selaras dengan prinsip keadilan dan kesetaraan. Salah satu langkah yang dapat diambil adalah mengganti elemen paksaan dalam prosesi penangkapan dengan pendekatan simbolik yang tetap menjaga nilai budaya, namun dengan tetap menjunjung tinggi hak perempuan untuk memilih.
Tradisi kawin tangkap di Sumba merupakan budaya yang kompleks dengan berbagai dimensi filosofis, sosial, dan hukum. Di satu sisi, ia memperlihatkan kekuatan nilai budaya lokal dan solidaritas sosial. Namun, praktik ini juga bisa menjadi bentuk pelanggaran terhadap hak dasar manusia jika dijalankan tanpa persetujuan kedua belah pihak.
Oleh karena itu, perlu adanya dialog terbuka antara pemerintah, tokoh adat, masyarakat sipil, dan komunitas lokal untuk merumuskan pendekatan baru yang menghormati warisan leluhur namun juga relevan dengan nilai-nilai kemanusiaan masa kini.
Dengan pendekatan inklusif dan kolaboratif, serta penyuluhan yang berkelanjutan mengenai hak-hak perempuan, tradisi kawin tangkap bisa diarahkan menjadi warisan budaya yang lebih manusiawi dan adil.
Proses perubahan ini tidak hanya penting bagi perempuan Sumba, tetapi juga menjadi contoh reformasi budaya yang dapat menginspirasi daerah lain di Indonesia untuk mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan tanpa kehilangan jati diri budaya lokal.





