Digitalisasi pembayaran melalui Quick Response Indonesian Standard (QRIS) telah menjadi instrumen penting dalam memperluas inklusi keuangan bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Indonesia.
Inovasi ini bukan sekadar mempermudah transaksi non-tunai, melainkan menghadirkan pintu masuk menuju sistem keuangan formal bagi jutaan pelaku usaha yang selama ini beroperasi di sektor informal.
Data Bank Indonesia mencatat bahwa hingga 2024, jumlah merchant QRIS telah melampaui 40 juta, dengan sekitar 90 persen di antaranya merupakan UMKM. Angka tersebut menegaskan peran strategis QRIS sebagai salah satu fondasi utama ekonomi digital inklusif.
Keunggulan QRIS terletak pada kemampuannya menjangkau pelaku usaha kecil hingga ke wilayah yang selama ini kurang tersentuh layanan perbankan. Warung tradisional di pedesaan, pedagang kaki lima di pasar lokal, hingga pelaku usaha mikro di kawasan timur Indonesia kini dapat menerima pembayaran digital dari konsumen lintas wilayah.
Sebelum kehadiran QRIS, keterbatasan akses perbankan dan mahalnya infrastruktur transaksi non-tunai membuat banyak UMKM terjebak dalam ekonomi berbasis uang tunai. Kondisi ini tidak hanya menyulitkan pencatatan keuangan, tetapi juga menghambat akses terhadap pembiayaan formal.
Dengan QRIS, setiap transaksi tercatat secara digital dan terintegrasi dalam sistem keuangan nasional. Rekam jejak transaksi tersebut menjadi data penting yang dapat dimanfaatkan pelaku UMKM untuk mengajukan kredit atau pembiayaan produktif.
Otoritas Jasa Keuangan mencatat adanya peningkatan signifikan dalam akses pembiayaan UMKM setelah implementasi QRIS diperluas pada 2023. Fakta ini menunjukkan bahwa QRIS tidak berhenti pada fungsi pembayaran, melainkan berperan sebagai sarana peningkatan literasi dan kepercayaan terhadap lembaga keuangan formal.
Aspek lain yang patut dicatat adalah rendahnya biaya adopsi teknologi QRIS. Berbeda dengan mesin electronic data capture yang relatif mahal, QRIS dapat digunakan tanpa biaya perangkat tambahan dan kompatibel dengan berbagai jenis telepon pintar.
Karakteristik ini menurunkan hambatan masuk bagi UMKM bermodal terbatas yang kerap terpinggirkan dari arus utama digitalisasi. Pengalaman selama pandemi COVID-19 memperlihatkan daya tahan QRIS dalam menopang aktivitas ekonomi UMKM, terutama melalui lonjakan transaksi digital yang mendukung layanan pesan antar dan perdagangan daring.
Meski demikian, implementasi QRIS masih menghadapi tantangan struktural. Kesenjangan literasi digital di kalangan pelaku UMKM usia lanjut serta keterbatasan jaringan internet di wilayah terdepan, terluar, dan tertinggal menjadi hambatan nyata. Risiko keamanan siber, termasuk penipuan melalui kode QR palsu, juga memerlukan perhatian serius.
Tantangan ini menuntut kolaborasi yang lebih erat antara Bank Indonesia, pemerintah daerah, penyedia layanan keuangan digital, dan pelaku UMKM sendiri. Edukasi berkelanjutan, penguatan regulasi, serta peningkatan infrastruktur digital harus berjalan seiring agar manfaat QRIS dapat dirasakan secara merata.
QRIS sejatinya merupakan jembatan strategis menuju ekonomi digital yang lebih inklusif. Dengan kontribusi UMKM yang mencapai sekitar 60 persen terhadap produk domestik bruto nasional, penguatan ekosistem pembayaran digital berpotensi mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih adil, menciptakan lapangan kerja, serta mengurangi ketimpangan struktural.
Keberhasilan QRIS tidak hanya akan tercatat sebagai capaian teknis, tetapi juga sebagai langkah konkret dalam membangun fondasi Indonesia menuju visi pembangunan jangka panjang yang berkelanjutan.
Dosen: Angga Rosidin S.I.P.,M.A.P
Kepala Program Studi: Zakaria Habib Al-Razie S.IP.,M.SOS





