Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang kembali melanda Kalimantan Barat pada 2025 seharusnya menjadi peringatan keras bagi kita semua. Lebih dari seribu hektare hutan telah terbakar hingga pertengahan tahun angka yang menunjukkan bahwa kita belum benar-benar belajar dari siklus bencana yang berulang saban musim kemarau. Kalimantan Barat bukan sekadar batas administratif, melainkan salah satu jantung ekologis Indonesia yang menopang stabilitas iklim nasional maupun global.
Pembukaan lahan dengan cara membakar masih menjadi persoalan klasik yang tak kunjung diatasi. Aturan dan sanksi seolah berhenti sebagai teks hukum yang tidak menggetarkan. Faktor manusia tetap menjadi pemicu utama, terutama melalui praktik pembakaran sistematis demi efisiensi biaya dan keuntungan jangka pendek.
Situasi ini menegaskan lemahnya pengawasan, minimnya kesadaran, serta terbatasnya keberanian aparat penegak hukum dalam menindak pelaku, termasuk korporasi besar yang kerap luput dari jerat hukum.
Dampak karhutla jauh lebih luas daripada sekadar kabut asap yang mengganggu jarak pandang. Asap pekat menebar ancaman kesehatan bagi masyarakat, terutama anak-anak, ibu hamil, dan lansia. Di balik itu, ribuan satwa kehilangan habitatnya dan lahan gambut yang terbakar melepaskan emisi karbon dalam jumlah besar kontributor signifikan bagi percepatan perubahan iklim global. Jika pola ini dibiarkan, Kalimantan Barat perlahan kehilangan identitasnya sebagai kawasan hijau yang selama ini disebut sebagai salah satu paru-paru Nusantara.
Upaya penanggulangan karhutla tidak dapat hanya mengandalkan intervensi pemerintah. Kolaborasi dengan masyarakat lokal harus diperkuat bukan sebatas ajakan, tetapi melalui model pemberdayaan yang nyata. Masyarakat bukan objek kebijakan, melainkan penjaga pertama yang mengetahui denyut hutan dan perubahan yang terjadi di sekitarnya.
Program edukasi, dukungan teknologi sederhana anti-bakar, hingga penyediaan alternatif ekonomi yang berkelanjutan perlu diperluas agar masyarakat tidak lagi melihat api sebagai satu-satunya jalan membuka lahan.
Selain itu, tata kelola hutan perlu dibenahi secara menyeluruh. Pemerintah harus memastikan transparansi izin lahan, memperketat pengawasan terhadap konsesi rawan terbakar, serta menindak tegas pola pembiaran dan pelanggaran yang terjadi berulang.
Penegakan hukum tidak boleh berhenti pada pekerja lapangan, tetapi menyasar aktor intelektual yang memperoleh keuntungan dari praktik haram ini. Ketegasan negara menjadi kunci untuk menghentikan lingkaran setan karhutla yang telah berlangsung selama puluhan tahun.
Kalimantan Barat sejatinya memiliki peluang besar untuk menjadi pelopor pengelolaan hutan berkelanjutan di Indonesia. Syaratnya, ada keberanian politik, konsistensi kebijakan, dan keterlibatan aktif masyarakat. Api yang membakar hutan tidak hanya menghanguskan pepohonan, tetapi juga mengikis harapan kita akan masa depan yang lebih hijau.
Menjaga hutan Kalimantan Barat berarti menjaga napas Nusantara. Bila hutan terus terbakar, yang hilang bukan hanya sebagian lanskap alam, melainkan masa depan generasi yang menggantungkan hidup pada bumi yang seharusnya tetap lestari.





