Menjawab Krisis Moral dan Mewujudkan Ekonomi yang Berkeadilan Lewat Akuntansi Syariah

Ilustrasi foto. (konsultasiku)
Ilustrasi foto. (konsultasiku)

Ketika dunia dihantam krisis ekonomi, ketika korporasi besar runtuh akibat rekayasa laporan keuangan, dan ketika kepercayaan publik terhadap sistem keuangan konvensional semakin memudar, di sanalah akuntansi syariah mulai memperlihatkan relevansinya.

Dalam sistem ekonomi yang didominasi oleh kapitalisme, yang kerap kali mengabaikan dimensi etik dan kemanusiaan, akuntansi syariah tampil bukan sekadar sebagai alat pencatatan, melainkan sebagai instrumen perubahan moral dan spiritual.

Bacaan Lainnya

Akuntansi syariah dibangun di atas pandangan bahwa kekayaan bukanlah milik mutlak individu, tetapi amanah dari Tuhan yang harus dikelola dengan penuh tanggung jawab. Oleh karena itu, laporan keuangan dalam sistem ini tidak hanya ditujukan kepada pemegang saham semata, tetapi juga mencakup kepentingan masyarakat, lingkungan hidup, dan generasi masa depan. Nilai-nilai seperti transparansi, kejujuran, dan tanggung jawab sosial menjadi pondasi utama yang tidak bisa ditawar.

Dalam praktiknya, akuntansi syariah menolak praktik yang bertentangan dengan prinsip keadilan dan keberlanjutan, seperti bunga (riba), spekulasi yang berlebihan (gharar), serta transaksi yang tidak jelas atau merugikan.

Prinsip ini menjadi oase di tengah dunia bisnis modern yang sering kali hanya fokus pada keuntungan jangka pendek tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap moralitas dan sosial. Ketika sebagian perusahaan berlomba-lomba mencari celah pajak atau menutupi kerugian melalui manipulasi laporan keuangan, akuntansi syariah justru menuntut keterbukaan, integritas, dan pertanggungjawaban yang bukan hanya ditujukan kepada publik, tetapi juga kepada Tuhan.

Isu seperti greenwashing dan social-washing semakin sering kita temui, di mana banyak perusahaan hanya berpura-pura peduli terhadap isu lingkungan dan sosial demi mempercantik citra mereka.

Akuntansi syariah hadir dengan pendekatan yang berbeda. Ia mendorong pelaporan yang otentik dan berbasis pada niat baik, bukan sekadar kepentingan citra. Maka tak heran jika konsep Islamic Social Reporting (ISR) dan Value Added Statement kini kembali menarik minat kalangan akuntan muda dan akademisi ekonomi Islam.

Sayangnya, potensi besar ini masih belum tergarap maksimal. Tingkat literasi yang rendah serta minimnya dukungan kebijakan menjadi tantangan besar dalam mengarusutamakan akuntansi syariah. Masih banyak yang menganggap sistem ini bersifat eksklusif untuk umat Islam, padahal nilai-nilai universal seperti keadilan, kejujuran, dan tanggung jawab adalah milik semua manusia, tanpa batas agama atau budaya.

Untuk menjadikan akuntansi syariah sebagai sistem yang relevan secara global, kita perlu merombak cara pandang. Akuntansi syariah harus dilihat bukan sebagai sistem alternatif, tetapi sebagai pendekatan yang mampu menjawab tantangan etika dalam dunia keuangan modern—bahkan berpotensi menjadi sistem unggulan.

Langkah ke depan menuntut adanya kolaborasi lintas sektor. Dunia akademik, regulator, dan industri harus duduk bersama untuk menyusun standar pelaporan yang inklusif, memperkuat literasi publik, serta mendorong pemanfaatan teknologi.

Keberadaan AI, blockchain, dan digitalisasi bukanlah ancaman, melainkan peluang untuk menjadikan sistem pelaporan lebih transparan, efisien, dan akuntabel. Wacana pelaporan keuangan tidak boleh lagi terjebak pada soal halal dan haram semata, melainkan juga harus membahas bagaimana pelaporan dapat dilakukan secara etis dalam era digital.

Di Indonesia, perkembangan akuntansi syariah sejalan dengan tumbuhnya industri halal dan keuangan syariah. Namun, banyak lembaga keuangan syariah yang belum sepenuhnya konsisten dalam penerapan prinsip syariah secara utuh.

Beberapa hanya mengganti nama produk konvensional dengan istilah Islami, namun tidak mengubah substansi maupun sistem pelaporannya. Di sinilah pentingnya reformasi akuntansi syariah, bukan hanya pada aspek teknis, tetapi juga dari sisi filosofis dan kesadaran etik.

Kurikulum pendidikan tinggi, terutama di jurusan akuntansi dan ekonomi, perlu memberikan ruang lebih besar bagi akuntansi syariah. Materi ini tidak boleh lagi dianggap sebagai pelengkap, tetapi sebagai pendekatan setara yang memiliki kontribusi besar terhadap pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.

Literasi ini harus menyasar berbagai lapisan: mulai dari mahasiswa, dosen, praktisi, hingga pembuat kebijakan. Kita membutuhkan lebih banyak akuntan yang memahami prinsip syariah, sekaligus piawai dalam standar pelaporan internasional seperti IFRS.

Lebih dari sekadar sistem pencatatan keuangan, akuntansi syariah adalah gerakan moral. Ia berupaya menyelaraskan nilai-nilai spiritual dengan praktik ekonomi modern. Dalam era digital yang cepat dan kompetitif, akuntansi syariah mengingatkan bahwa akuntabilitas tidak hanya soal angka, tetapi juga tentang niat, dampak, dan kebermanfaatan sosial. Dunia saat ini mungkin tidak selalu butuh lebih banyak laba, tetapi yang pasti, dunia sangat membutuhkan lebih banyak keadilan dan transparansi.

Kini saatnya kita berhenti memandang akuntansi syariah sebagai sesuatu yang kuno atau eksklusif. Sebaliknya, mari kita lihat dan kembangkan sistem ini sebagai jawaban atas krisis moral dan etika yang melanda sistem keuangan global. Jika dunia tengah mencari jalan keluar dari krisis keuangan dan krisis kepercayaan, maka akuntansi syariah pantas dihadirkan sebagai salah satu solusi paling menjanjikan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *