Hukum pidana memegang peran krusial dalam menjaga ketertiban dan keadilan di tengah masyarakat. Di Indonesia, hukum pidana masih mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dirumuskan sejak masa kolonial Belanda.
Meski telah mengalami beberapa penyesuaian, substansi utama KUHP tetap dipengaruhi oleh sistem hukum lama yang kini dinilai sudah tidak lagi sejalan dengan perkembangan zaman. Hal ini menjadi tantangan besar bagi sistem hukum pidana nasional dalam menanggapi kemajuan teknologi serta isu-isu hak asasi manusia yang terus berkembang.
KUHP selama ini menjadi landasan dalam menangani berbagai tindak pidana, mulai dari pencurian, penipuan, hingga pembunuhan. Namun, kompleksitas sosial yang terus meningkat serta munculnya jenis-jenis kejahatan baru, seperti kejahatan siber, memperlihatkan keterbatasan hukum pidana konvensional. Banyak pasal dalam KUHP yang belum mampu menjawab fenomena baru ini secara memadai.
Sebagai bentuk respons terhadap tantangan digital, pemerintah Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Undang-undang ini memberikan dasar hukum terhadap pelanggaran yang berkaitan dengan penggunaan teknologi dan internet, seperti penyebaran hoaks, pencemaran nama baik di media sosial, hingga penipuan daring.
Namun, meskipun UU ITE hadir sebagai pelengkap, implementasi hukum pidana masih menghadapi tantangan serius, antara lain ketimpangan dalam penegakan hukum, lambatnya proses peradilan, serta penyalahgunaan hukum demi kepentingan tertentu.
Tak hanya itu, isu perlindungan hak asasi manusia juga menjadi sorotan utama dalam pembaruan hukum pidana. Beberapa kasus menunjukkan adanya penyimpangan dalam proses hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, termasuk diskriminasi terhadap kelompok tertentu.
Kondisi ini memperlihatkan betapa pentingnya reformasi hukum pidana yang tidak hanya memperhatikan aspek normatif, tetapi juga menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan.
Tantangan lain yang tak kalah penting adalah ketidaksesuaian antara hukum tertulis dengan pelaksanaan di lapangan. Korupsi yang terjadi di tubuh lembaga penegak hukum menjadi penghambat besar dalam pemberantasan kejahatan. Ketika penegak hukum justru menjadi bagian dari permasalahan, maka kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum akan tergerus.
Selain itu, rendahnya literasi hukum masyarakat juga memperparah situasi. Banyak warga yang belum memahami hak-hak mereka dalam proses hukum, mulai dari hak mendapatkan pendampingan hukum, hingga hak untuk mendapat perlakuan yang setara di mata hukum.
Kurangnya pengetahuan ini membuat mereka rentan menjadi korban ketidakadilan. Untuk itu, edukasi hukum yang menyeluruh dan berkelanjutan sangat dibutuhkan agar masyarakat mampu melindungi diri dan aktif menuntut keadilan ketika haknya dilanggar.
Dalam pandangan penulis, meskipun langkah-langkah awal pembaruan telah dilakukan, seperti pengesahan UU ITE, namun itu belum cukup. Pembaruan hukum pidana perlu dilakukan secara menyeluruh, dimulai dari revisi KUHP agar mencerminkan kondisi sosial saat ini, hingga reformasi institusi hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.
Tanpa adanya pembenahan fundamental pada struktur dan budaya institusi penegak hukum, perubahan regulasi hanya akan menjadi simbol tanpa dampak nyata di masyarakat.
Lebih jauh lagi, perlindungan terhadap hak asasi manusia harus dijadikan prinsip dasar dalam pembaruan hukum pidana. Hukum pidana harus hadir sebagai pelindung, bukan alat represi. Semua warga negara, tanpa memandang latar belakang sosial, ekonomi, maupun politik, berhak mendapatkan proses hukum yang adil, transparan, dan manusiawi.
Sistem hukum yang mampu menjamin keadilan akan menciptakan kepercayaan masyarakat terhadap negara, yang pada akhirnya berkontribusi terhadap stabilitas sosial dan pembangunan nasional.
Penting pula untuk memastikan bahwa aparat penegak hukum tidak hanya memahami aturan secara tekstual, tetapi juga memiliki integritas moral serta pemahaman kontekstual dalam menegakkan hukum. Penegakan hukum yang adil tidak hanya bergantung pada regulasi, tetapi juga pada kualitas sumber daya manusia di balik institusi penegak hukum.
Sebagai penutup, dapat disimpulkan bahwa hukum pidana Indonesia membutuhkan pembaruan mendalam, baik dari sisi substansi hukum, lembaga penegak hukum, maupun pemahaman masyarakat terhadap hukum. Tanpa ketiga aspek ini berjalan secara seimbang, maka hukum pidana akan terus tertinggal dalam menghadapi dinamika masyarakat modern.
Pembenahan hukum pidana Indonesia bukan hanya kebutuhan mendesak, tetapi keharusan mutlak demi menciptakan sistem hukum yang adil, humanis, dan responsif terhadap zaman.
Mata Kuliah : Sistem Hukum Indonesia
Dosen pengampu : Bpk. Dr. Herdi Wisman Jaya, S.Pd.,M.H





