Menjembatani Keadilan Sosial: Sinergi Hukum Adat Baar dan Hukum Positif dalam Masyarakat Dayak

Ilustrasi foto/globalcybernews
Ilustrasi foto/globalcybernews

Dalam keberagaman sistem hukum yang ada di Indonesia, hukum adat masih menempati posisi penting sebagai bentuk hukum yang hidup di tengah masyarakat. Hukum ini tidak hanya menjadi bagian dari sejarah dan budaya, tetapi juga berfungsi nyata dalam kehidupan sosial, termasuk dalam menyelesaikan konflik dan menjaga tatanan komunitas. Salah satu bentuk hukum adat yang masih dijalankan dengan teguh adalah hukum adat Baar, yang dianut oleh masyarakat Dayak.

Keberadaan hukum adat secara eksplisit diakui oleh negara melalui Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya selama masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat serta prinsip-prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ini membuktikan bahwa hukum adat adalah bagian sah dari sistem hukum nasional yang tak boleh diabaikan.

Bacaan Lainnya

Hukum adat Dayak, termasuk hukum adat Baar, memiliki ciri khas dalam menyelesaikan perkara, yaitu mengutamakan musyawarah, keharmonisan, dan penghormatan terhadap alam. Hukum adat Baar atau dikenal juga sebagai Pati Nyawa atau Raga Nyawa, merupakan ketentuan adat yang diberlakukan atas pelanggaran yang mengakibatkan kematian seseorang.

Dalam pelaksanaannya, hukum ini tak hanya mengedepankan pertanggungjawaban pelaku terhadap korban dan keluarganya, tetapi juga menekankan pemulihan hubungan sosial dalam masyarakat.

Meski demikian, setelah pelaku menjalani sanksi adat, tidak jarang mereka tetap diajukan ke aparat penegak hukum untuk menjalani proses hukum positif. Di sinilah muncul perdebatan mengenai prinsip ne bis in idem, yaitu asas hukum yang menyatakan bahwa seseorang tidak boleh diadili dua kali atas perkara yang sama setelah ada putusan berkekuatan hukum tetap.

Namun, asas tersebut menjadi kompleks ketika berhadapan dengan hukum adat. Dalam praktiknya, sanksi adat tidak serta merta dipandang setara dengan putusan pengadilan formal. Hal ini ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1644 K/Pid/1988 yang menyebutkan bahwa jika suatu perkara telah diputus oleh pengadilan adat, dakwaan jaksa penuntut umum terhadap perkara yang sama bisa dinyatakan tidak dapat diterima. Namun, implementasi keputusan ini tidak selalu bersifat mutlak dan masih menyisakan ruang interpretasi yang luas.

Dalam kasus-kasus tertentu, pengadilan formal tetap menerima perkara meski pelaku telah menerima sanksi adat. Argumennya, hukum positif memiliki otoritas tersendiri dan tidak sepenuhnya terikat pada keputusan lembaga adat.

Hal ini dipertegas oleh hasil penelitian Masril dan Koasisih yang menyatakan bahwa sanksi adat Baar sering kali belum mencukupi dalam memberikan keadilan bagi korban, terutama dalam kasus berat seperti pembunuhan. Oleh karena itu, peran hukum positif dianggap penting untuk menegakkan keadilan secara menyeluruh.

Masyarakat Dayak sendiri dalam berbagai kesempatan menunjukkan sikap terbuka terhadap proses hukum formal. Mereka tidak menutup kemungkinan bahwa pelaku pelanggaran berat harus diproses secara hukum positif meskipun telah menjalani sanksi adat.

Ini menunjukkan adanya kesadaran bahwa keadilan tidak hanya bersifat lokal tetapi juga harus menyentuh aspek hukum nasional demi perlindungan hak-hak masyarakat, khususnya korban dan keluarganya.

Namun, permasalahan utama yang muncul adalah ketidaksinkronan antara hukum adat dan hukum nasional yang sering kali menimbulkan kebingungan. Masyarakat adat bisa merasa bingung apakah proses adat yang telah dilakukan sudah final ataukah masih memungkinkan adanya proses hukum lanjutan. Di sisi lain, aparat penegak hukum juga kerap ragu dalam menentukan apakah sanksi adat yang telah dijatuhkan dapat dijadikan dasar untuk menolak atau melanjutkan suatu perkara.

Oleh karena itu, penting untuk membangun sinergi antara hukum adat dan hukum positif. Keduanya tidak harus saling meniadakan, tetapi seharusnya dapat saling melengkapi. Hukum adat dapat berperan dalam memediasi dan menyelesaikan konflik sosial secara cepat dan menyentuh akar budaya masyarakat, sementara hukum positif menjamin kepastian hukum serta perlindungan hak konstitusional semua warga negara.

Langkah konkret yang dapat diambil adalah memperkuat peran lembaga adat dalam kerangka hukum nasional. Pemerintah perlu menyusun regulasi yang jelas dan tegas mengenai kedudukan putusan hukum adat dalam sistem hukum nasional. Misalnya, menetapkan batasan jenis perkara yang dapat diselesaikan melalui jalur adat, serta mekanisme penyelarasan antara sanksi adat dan proses hukum formal.

Selain itu, peningkatan kapasitas aparat hukum dan tokoh adat dalam memahami posisi masing-masing sistem hukum sangat diperlukan. Pelatihan terpadu dan dialog antar pemangku kepentingan, termasuk tokoh masyarakat adat, aparat hukum, akademisi, serta pemerintah, dapat menjadi jembatan komunikasi dan pemahaman yang lebih mendalam.

Penting juga untuk memastikan bahwa perlindungan terhadap korban tetap menjadi prioritas utama dalam setiap proses hukum. Jika sanksi adat dianggap tidak mampu memberikan pemulihan yang adil bagi korban atau keluarganya, maka proses hukum formal harus tetap dilaksanakan. Ini bukan bentuk pengabaian terhadap hukum adat, melainkan upaya untuk menjaga keadilan sosial yang menyeluruh, yang menjadi tujuan utama dari sistem hukum apa pun.

Dalam menghadapi era modern dan kompleksitas hukum yang semakin tinggi, dualisme hukum seperti ini memang menantang. Namun, dengan pendekatan kolaboratif dan saling menghargai, Indonesia dapat menjadikan sistem hukum adat dan hukum positif sebagai dua pilar yang saling menguatkan dalam menjaga keadilan dan ketertiban masyarakat.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *