Sudah menjadi anggapan umum di masyarakat, bahwa guru adalah profesi yang mulia serta salah satu pekerjaan yang harus dijalani dengan penuh keikhlasan dan kesabaran. Namun ironisnya, kemuliaan profesi ini seringkali dijadikan alasan untuk membenarkan rendahnya kesejahteraan para guru.
Kalimat seperti “Guru itu harus ikhlas” atau “Mengajar itu panggilan jiwa, bukan soal materi” sering terdengar, seolah-olah guru yang menuntut kesejahteraan adalah pribadi yang memikirkan urusan duniawi daripada surgawi. Hal seperti inilah bentuk normalisasi yang harus kita hentikan. Mewajarkan gaji kecil untuk guru adalah sebuah kekeliruan besar, baik secara moral maupun struktural.
Guru memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk masa depan sebuah bangsa. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kualitas pendidikan suatu negara sangat bergantung pada kualitas gurunya.
Namun bagaimana mungkin kita bisa berharap memiliki guru yang berkualitas jika mereka tidak mendapatkan dukungan hidup yang layak. Menganggap bahwa seorang guru seharusnya ikhlas menerima gaji rendah justru menunjukkan bahwa kita gagal memahami esensi dari keikhlasan itu sendiri.
Ikhlas bukan berarti pasrah terhadap ketidakadilan. Keikhlasan tidak bisa dipakai sebagai dalih untuk tidak memberikan penghargaan yang setimpal atas kerja keras dan tanggung jawab yang diemban oleh seorang guru.
Perlu disadari bahwa menjadi guru bukanlah pekerjaan yang ringan. Selain mengajar, guru juga harus mempersiapkan materi, menilai hasil belajar siswa, berinteraksi dengan orang tua, hingga terlibat dalam kegiatan administratif sekolah.
Banyak guru, terutama di daerah pelosok atau di sekolah swasta kecil yang harus mengajar di lebih dari satu tempat hanya demi mencukupi kebutuhan hidup. Ada yang harus menempuh perjalanan jauh, ada pula yang harus mengambil pekerjaan tambahan di luar jam mengajar karena penghasilannya tidak cukup.
Salah satu dampak serius dari normalisasi ini adalah rendahnya minat generasi muda untuk menjadi guru. Di tengah kebutuhan hidup yang terus meningkat dan biaya pendidikan yang tidak murah, menjadi guru bukan lagi pilihan yang menarik secara ekonomi.
Banyak lulusan sarjana pendidikan yang akhirnya memilih profesi lain karena gaji guru dianggap tidak mampu memberikan kehidupan yang stabil. Jika kondisi ini terus dibiarkan, kita akan menghadapi krisis kualitas dan kuantitas tenaga pendidik dalam jangka panjang.
Masalah lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa rendahnya gaji tidak hanya mempengaruhi kesejahteraan guru, tetapi juga berdampak pada kualitas pengajaran. Guru yang harus memikirkan cara bertahan hidup sering kali tidak bisa fokus sepenuhnya pada tugas mendidik. Kualitas pembelajaran bisa menurun karena tenaga dan pikiran guru terbagi.
Padahal, pendidikan berkualitas hanya bisa dicapai jika guru berada dalam kondisi psikologis dan ekonomi yang stabil. Pemerintah sebenarnya sudah memiliki berbagai program untuk meningkatkan kesejahteraan guru, seperti tunjangan profesi atau sertifikasi. Namun implementasinya masih jauh dari merata.
Banyak guru honorer di daerah terpencil yang tidak mendapatkan tunjangan sama sekali, atau bahkan dibayar jauh di bawah upah minimum regional. Ketimpangan ini menunjukkan bahwa penghargaan terhadap profesi guru masih bersifat simbolis, belum menjadi bagian dari sistem yang adil dan merata.
Masyarakat pun punya peran penting dalam membentuk narasi tentang profesi guru. Sudah saatnya kita berhenti menganggap guru sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa” yang harus selalu bersabar dan tidak mengeluh.
Kalimat ini memang terdengar indah, namun sebenarnya menyembunyikan fakta bahwa jasa guru sering tidak dibalas secara layak. Pahlawan tetaplah manusia yang memiliki kebutuhan hidup, dan jasa mereka selayaknya diberi penghargaan yang nyata, bukan sekadar pujian kosong. Bayangkan jika profesi guru dihargai setara dengan profesi lain yang dianggap berwibawa secara ekonomi.
Bayangkan jika menjadi guru adalah cita-cita yang realistis untuk mereka yang ingin hidup sejahtera sambil memberi kontribusi besar bagi masyarakat. Negara-negara maju seperti Finlandia dan Jepang sudah membuktikan bahwa ketika guru diberi posisi strategis dan penghargaan layak, maka kualitas pendidikan pun akan ikut meningkat.
Menghargai guru bukan hanya soal memberikan gaji tinggi, tapi juga menciptakan sistem yang adil, transparan, dan mendukung pengembangan profesional mereka. Guru perlu diberi kesempatan untuk terus belajar, mengakses pelatihan berkualitas, dan mendapatkan fasilitas yang memadai dalam mengajar.
Semua itu tidak bisa dicapai jika kita masih memelihara pola pikir bahwa guru harus cukup dengan ikhlas dan sabar. Terlebih akhir-akhir ini profesi guru selalu menjadi sasaran hinaan, mulai dari anggapan beban negara hingga statement yang menyebutkan bahwa guru adalah pahlawan penuh tanda tanya.
Menormalisasikan rendahnya kesejahteraan guru adalah bentuk ketidakadilan yang sistemik hanya karena alasan profesi mereka merupakan panggilan jiwa. Sudah waktunya kita membangun budaya yang benar-benar memuliakan guru, bukan hanya dalam kata-kata, tetapi dalam kebijakan dan tindakan nyata. Keikhlasan guru memang penting, tetapi keadilan dan kesejahteraan mereka jauh lebih mendesak untuk diwujudkan.





