Di era Revolusi Industri 4.0 dan menuju Society 5.0, fenomena otomasi dan digitalisasi telah mengubah lanskap dunia kerja secara fundamental. Mesin-mesin pintar, robot, dan kecerdasan buatan (AI) kini menggantikan berbagai pekerjaan yang sebelumnya dilakukan oleh manusia (Daulay, 2024).
Fenomena ini bukan hanya sekadar perkembangan teknologi, melainkan isu sosial kompleks yang memerlukan pemahaman mendalam dan kemampuan berpikir kritis, terutama bagi generasi muda yang akan menjadi pelaku utama dalam dunia kerja masa depan.
Siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) berada pada tahap perkembangan kognitif yang krusial, di mana mereka mulai mengembangkan kemampuan berpikir abstrak dan analitis (Nuryanti et al., 2018). Menumbuhkan berpikir kritis terhadap dampak sosial penggantian tenaga kerja oleh mesin pada usia ini menjadi sangat penting untuk mempersiapkan mereka menghadapi dinamika sosial-ekonomi yang akan mereka hadapi kelak.
Kemampuan berpikir kritis memungkinkan siswa untuk menganalisis, mengevaluasi, dan membuat keputusan berdasarkan pertimbangan yang matang terhadap berbagai informasi yang mereka terima (Anwar et al., 2023).
Pembahasan
Otomasi telah merambah ke berbagai sektor pekerjaan dalam kehidupan sehari-hari. Di sektor manufaktur, robot perakitan menggantikan pekerja lini produksi dengan tingkat presisi dan kecepatan yang lebih tinggi. Di sektor perbankan, mesin ATM dan aplikasi mobile banking telah secara signifikan mengurangi kebutuhan akan teller bank.
Di bidang retail, kasir self-service mulai menggantikan kasir konvensional di berbagai supermarket dan toko modern. Bahkan di sektor jasa, chatbot berbasis kecerdasan buatan mulai menggantikan peran customer service manusia dalam menjawab pertanyaan pelanggan (Saputra et al., 2024).
Bagi siswa SMP, memahami bahwa fenomena ini bukan sekadar cerita futuristik melainkan realitas yang sudah terjadi di sekitar mereka merupakan langkah awal yang penting. Mereka perlu diajak mengamati dan mengidentifikasi contoh-contoh nyata otomasi dalam kehidupan sehari-hari mereka, mulai dari mesin cuci otomatis di rumah hingga sistem pembayaran digital yang mereka gunakan. Pengamatan langsung terhadap fenomena ini dapat menjadi pintu masuk untuk mengembangkan kesadaran kritis terhadap perubahan teknologi yang terjadi di sekitar mereka.
Untuk menumbuhkan berpikir kritis, siswa perlu memahami perspektif berbagai pihak yang terlibat dalam fenomena ini. Dari sudut pandang perusahaan, penggunaan mesin menawarkan beberapa keuntungan signifikan seperti efisiensi biaya operasional jangka panjang, konsistensi kualitas produksi yang lebih terjamin, kemampuan beroperasi selama dua puluh empat jam tanpa perlu istirahat, serta minimnya tingkat kesalahan dalam pekerjaan yang bersifat repetitif.
Penelitian menunjukkan bahwa otomasi dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi kerja secara signifikan (Saputra et al., 2023). Pemahaman ini penting agar siswa tidak hanya melihat fenomena ini dari satu sisi, melainkan mampu menganalisis berbagai perspektif yang ada dengan objektif dan mendalam.
Dampak paling langsung dan mencolok dari penggantian tenaga kerja oleh mesin adalah kehilangan pekerjaan bagi sejumlah besar pekerja. Otomasi mengakibatkan penggantian tenaga kerja di industri, dimana pekerjaan yang memiliki risiko tinggi untuk digantikan adalah pekerjaan yang sifatnya sederhana dan mendasar, serta pekerjaan administratif yang melibatkan kegiatan repetitif (Khotimah et al., 2021).
Siswa perlu diajak berpikir kritis tentang bagaimana pengangguran tidak hanya mempengaruhi individu yang kehilangan pekerjaan, tetapi juga memiliki efek domino terhadap keluarga mereka dan masyarakat secara luas.
Ketika seorang kepala keluarga kehilangan pekerjaan, akses terhadap pendidikan berkualitas bagi anak-anak, pelayanan kesehatan untuk keluarga, dan kesejahteraan umum rumah tangga akan mengalami ancaman serius. Dampak ekonomi ini dapat berlanjut menjadi masalah sosial yang lebih kompleks.
Namun, berpikir kritis juga menuntut siswa untuk melihat sisi lain dari fenomena ini dengan fair dan seimbang. Otomasi juga menciptakan jenis pekerjaan baru yang memerlukan keahlian berbeda, seperti programmer untuk mengembangkan sistem otomasi, teknisi robot untuk perawatan dan perbaikan mesin, analis data untuk menginterpretasikan informasi yang dihasilkan mesin, dan spesialis kecerdasan buatan untuk mengembangkan sistem yang lebih canggih.
Diperkirakan sekitar 27 juta pekerjaan baru akan muncul sebagai dampak dari otomatisasi, dengan potensi tambahan sejumlah 9 juta pekerjaan di bidang infrastruktur dan real estate (Valentio, 2025). Tantangan besarnya adalah bagaimana memastikan adanya transisi yang adil dan terjangkau bagi pekerja dari pekerjaan lama yang hilang menuju pekerjaan baru yang memerlukan keterampilan berbeda ini.
Pekerjaan bukan hanya sekadar sumber penghasilan material, tetapi juga merupakan sumber identitas sosial dan harga diri seseorang dalam masyarakat. Kehilangan pekerjaan dapat menyebabkan berbagai masalah psikologis seperti stres berkepanjangan, depresi, kecemasan berlebihan, dan masalah kesehatan mental lainnya yang mempengaruhi kualitas hidup (Daulay, 2024).
Siswa perlu memahami dimensi kemanusiaan ini dengan mendalam, bahwa di balik angka-angka statistik pengangguran yang sering muncul di media, terdapat individu-individu nyata dengan keluarga yang bergantung pada mereka, impian hidup yang ingin diwujudkan, dan kebutuhan emosional yang harus dipenuhi.
Selain itu, otomasi berpotensi menciptakan kesenjangan sosial yang semakin lebar antara kelompok masyarakat yang berbeda. Mereka yang memiliki akses terhadap pendidikan berkualitas dan pelatihan teknologi tinggi akan memiliki peluang besar untuk berkembang dan beradaptasi dengan perubahan, sementara yang tidak memiliki akses tersebut akan semakin tertinggal dan termarjinalkan (Marsudi & Widjaja, 2019). Ini menciptakan pertanyaan kritis yang mendasar, yaitu bagaimana cara memastikan keadilan sosial dan pemerataan kesempatan dalam era otomasi yang terus berkembang pesat.
Ketika sebuah pabrik besar memutuskan untuk mengotomasi proses produksinya dan mengurangi ribuan pekerja, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh pekerja yang di-PHK tersebut. Komunitas di sekitar pabrik, termasuk pedagang kecil, penyedia jasa transportasi, warung makan, dan berbagai bisnis lokal lainnya akan ikut merasakan dampak negatif karena berkurangnya daya beli masyarakat di wilayah tersebut.
Dampak yang paling terasa adalah pengurangan tenaga kerja manusia, dimana pekerja yang kurang terampil mudah tereliminasi dan digantikan dengan tenaga profesional yang lebih sedikit jumlahnya namun dibantu dengan perangkat teknologi mesin otomatis (Tarumingkeng, 2024). Siswa perlu memahami keterkaitan sosial-ekonomi yang kompleks ini untuk mengembangkan pemikiran sistematis dan holistik tentang bagaimana satu keputusan dapat memiliki efek berantai yang luas.
Guru dapat menggunakan studi kasus konkret yang relevan dengan konteks lokal dan kehidupan sehari-hari siswa. Misalnya, menganalisis dampak penerapan sistem pembayaran elektronik di jalan tol terhadap nasib petugas tol manual yang sebelumnya melayani pengendara, atau mempelajari dampak pertumbuhan e-commerce terhadap keberlanjutan usaha pedagang di pasar tradisional yang telah berdiri puluhan tahun.
Model pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning) terbukti efektif dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa SMP karena mengajak siswa agar mampu melatih kemampuan dalam memecahkan masalah nyata (Setyorini et al., 2011). Siswa dapat diajak untuk melakukan wawancara langsung dengan pekerja yang terdampak, mengumpulkan data kuantitatif dan kualitatif, serta menganalisis berbagai perspektif dari pemangku kepentingan yang berbeda.
Mengadakan debat dengan tema kontroversial seperti “Apakah otomasi membawa lebih banyak manfaat atau kerugian bagi masyarakat Indonesia?” dapat menjadi metode efektif untuk melatih siswa mengembangkan argumen yang kuat berdasarkan bukti empiris, mendengarkan dan menghargai perspektif yang berbeda dari lawan debat, serta mengevaluasi kekuatan dan kelemahan berbagai argumen secara objektif.
Yang penting untuk ditekankan adalah bahwa debat ini tidak bertujuan mencari “pemenang” dalam arti mengalahkan pihak lain, melainkan melatih kemampuan berpikir kritis dari berbagai sudut pandang dan membangun pemahaman yang lebih komprehensif.
Siswa dapat dilatih menggunakan kerangka berpikir kritis yang sistematis dalam menganalisis isu otomasi. Pertama, mereka belajar mengidentifikasi masalah utama yang timbul dari penggantian tenaga kerja oleh mesin dengan spesifik dan terukur.
Kedua, mereka menganalisis penyebab mengapa fenomena ini terjadi dan apa saja faktor-faktor yang mendorongnya, baik dari sisi ekonomi, teknologi, maupun sosial. Ketiga, mereka mengevaluasi dampak dari berbagai dimensi dengan mengidentifikasi siapa saja pihak yang terdampak dan bagaimana dampaknya terhadap masing-masing pihak.
Keempat, mereka mempertimbangkan berbagai perspektif yang ada, termasuk pandangan perusahaan yang mengadopsi otomasi, pekerja yang terdampak, pemerintah sebagai regulator, dan konsumen sebagai pengguna produk atau jasa.
Kelima, mereka mengeksplorasi berbagai solusi alternatif yang mungkin diterapkan beserta kelebihan dan kekurangan masing-masing. Terakhir, mereka melakukan refleksi etis dengan mempertanyakan apakah situasi ini adil dan apa yang seharusnya dilakukan untuk menciptakan solusi yang lebih manusiawi.
Siswa dapat diberi proyek jangka panjang untuk meneliti sektor pekerjaan tertentu yang rentan terhadap otomasi di daerah mereka sendiri, menganalisis dampak sosial-ekonominya secara mendalam, dan mengusulkan solusi yang realistis dan dapat diimplementasikan. Pembelajaran berbasis proyek (Project Based Learning) memungkinkan siswa untuk belajar secara aktif, kolaboratif, dan kontekstual dalam menyelesaikan masalah nyata (Anwar et al., 2023).
Proyek semacam ini dapat mengintegrasikan berbagai mata pelajaran secara terpadu. Mata pelajaran IPS digunakan untuk memahami dampak sosial-ekonomi dan dinamika masyarakat, Matematika untuk menganalisis data statistik dan membuat proyeksi, Bahasa Indonesia untuk menyusun laporan penelitian dan presentasi yang komunikatif, serta Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk melakukan riset online dan membuat presentasi multimedia yang menarik.
Aktivitas role-playing atau bermain peran di mana siswa diminta berperan sebagai berbagai pemangku kepentingan yang berbeda dapat menjadi metode pembelajaran yang sangat efektif. Siswa dapat berperan sebagai pekerja pabrik yang baru saja kehilangan pekerjaan karena digantikan robot, pemilik perusahaan yang harus memutuskan apakah akan mengadopsi otomasi atau mempertahankan pekerja manusia, pengambil kebijakan pemerintah yang harus menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan perlindungan sosial, atau konsumen yang menginginkan produk berkualitas dengan harga terjangkau.
Melalui aktivitas ini, siswa dapat memahami kompleksitas isu ini dari berbagai perspektif yang berbeda dan mengembangkan empati terhadap posisi dan dilema yang dihadapi oleh masing-masing pihak.
Berpikir kritis tentang dampak otomasi seharusnya mengarahkan siswa pada kesadaran mendalam tentang pentingnya kemampuan adaptabilitas dalam menghadapi perubahan. Mereka perlu memahami dengan jelas bahwa di masa depan yang semakin tidak pasti, kemampuan untuk terus belajar hal-hal baru sepanjang hayat dan beradaptasi dengan perubahan teknologi dan sosial akan jauh lebih penting daripada hanya menguasai satu keterampilan teknis tertentu yang mungkin akan menjadi usang dalam beberapa tahun ke depan.
Revolusi Industri 4.0 menuntut adanya transformasi dalam cara hidup, cara bekerja, dan cara berhubungan satu sama lain yang memerlukan kemampuan beradaptasi yang tinggi (Kemhan RI, 2019).
Diskusi kritis tentang otomasi juga dapat mengarahkan siswa untuk mengidentifikasi dan mengembangkan keterampilan-keterampilan yang sulit atau bahkan tidak mungkin digantikan oleh mesin dalam waktu dekat.
Keterampilan tersebut mencakup kreativitas dalam menghasilkan ide-ide baru dan inovatif, empati dalam memahami dan merespons perasaan orang lain, kemampuan berpikir kritis itu sendiri yang melibatkan analisis kompleks dan pertimbangan kontekstual, kecerdasan emosional dalam mengelola hubungan interpersonal, kemampuan berkomunikasi ide-ide kompleks dengan cara yang mudah dipahami, dan pemecahan masalah yang memerlukan pertimbangan etis dan kontekstual yang mendalam.
Mesin mungkin dapat mengolah data dengan cepat, tetapi belum mampu menggantikan pertimbangan manusia yang mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan.
Siswa perlu ditumbuhkan kesadarannya bahwa mereka kelak akan menjadi bagian aktif dari masyarakat yang memiliki tanggung jawab moral terhadap kesejahteraan bersama. Ketika mereka nanti berada di posisi untuk membuat keputusan penting, entah sebagai pengusaha yang memimpin perusahaan, pembuat kebijakan di pemerintahan, atau profesional di bidang tertentu, mereka perlu selalu mempertimbangkan dampak sosial jangka panjang dari setiap keputusan yang mereka ambil, bukan hanya keuntungan ekonomi jangka pendek. Kesadaran akan tanggung jawab sosial ini menjadi fondasi penting dalam menciptakan masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan.
Sekolah perlu menciptakan lingkungan pembelajaran yang kondusif yang mendorong siswa untuk mengajukan pertanyaan, melakukan eksplorasi intelektual, dan mengembangkan pemikiran independen tanpa takut salah atau dihakimi.
Guru berperan sebagai fasilitator pembelajaran yang tidak hanya menyampaikan informasi secara satu arah, tetapi membimbing siswa untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis yang mendasar, mencari informasi dari berbagai sumber yang kredibel, mengevaluasi validitas informasi yang mereka temukan, dan mengembangkan pemikiran yang matang berdasarkan bukti dan reasoning yang solid. Penelitian menunjukkan bahwa peran guru sebagai fasilitator sangat penting dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa (Nuryanti et al., 2018).
Orang tua juga memiliki peran vital dalam mendukung pengembangan berpikir kritis anak-anak mereka di luar lingkungan sekolah. Mereka dapat berdiskusi secara informal tentang isu-isu sosial yang mereka lihat di media massa atau yang mereka alami langsung dalam pekerjaan mereka sehari-hari.
Menciptakan budaya dialog terbuka di rumah di mana anak merasa aman dan nyaman untuk mengekspresikan pendapat mereka, mengajukan pertanyaan yang mungkin tampak naif, dan bahkan menantang pandangan orang tua dengan argumen yang rasional, akan sangat berkontribusi pada perkembangan kemampuan berpikir kritis mereka.
Siswa sendiri sebagai subjek pembelajaran perlu mengembangkan keingintahuan intelektual yang tinggi terhadap berbagai fenomena di sekitar mereka. Mereka perlu memiliki keberanian untuk mempertanyakan asumsi-asumsi yang diterima begitu saja oleh masyarakat, serta keterbukaan mental terhadap perspektif yang berbeda bahkan jika bertentangan dengan keyakinan awal mereka.
Siswa juga perlu mengembangkan kebiasaan membaca dari berbagai sumber informasi yang beragam, tidak hanya mengandalkan satu sumber saja, serta memverifikasi kebenaran informasi sebelum menerimanya sebagai fakta atau membagikannya kepada orang lain.
Penutup
Menumbuhkan berpikir kritis siswa SMP terhadap dampak sosial penggantian tenaga kerja oleh mesin bukan sekadar upaya persiapan praktis menghadapi masa depan dunia kerja yang berubah cepat, tetapi juga merupakan bagian fundamental dari pembentukan karakter warga negara yang bertanggung jawab dan peduli terhadap sesama.
Melalui pemahaman mendalam tentang kompleksitas isu ini dari berbagai dimensi, siswa belajar untuk tidak menerima informasi atau narayan tunggal begitu saja tanpa pemikiran kritis, mempertimbangkan berbagai perspektif yang ada dengan adil dan objektif, memahami keterkaitan sosial-ekonomi yang kompleks dalam masyarakat, dan mengembangkan empati yang tulus terhadap mereka yang terdampak negatif oleh perubahan teknologi.
Fenomena otomasi dan digitalisasi adalah keniscayaan sejarah yang tidak dapat dihindari atau dihentikan, tetapi bagaimana kita sebagai masyarakat merespons dan mengelola dampaknya adalah pilihan kolektif yang dapat kita tentukan.
Dengan menumbuhkan generasi muda yang memiliki kemampuan berpikir kritis yang tajam, empati yang dalam terhadap sesama, dan kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap perubahan, kita sedang mempersiapkan masa depan di mana teknologi benar-benar melayani kepentingan kemanusiaan dan kesejahteraan bersama, bukan justru menciptakan kesenjangan dan penderitaan baru.
Siswa SMP yang terlatih berpikir kritis tentang isu kompleks seperti ini akan tumbuh menjadi individu dewasa yang tidak hanya mampu bertahan dan bersaing dalam dunia yang terus berubah dengan cepat, tetapi juga secara aktif berkontribusi dalam menciptakan solusi-solusi inovatif yang adil, berkelanjutan, dan manusiawi bagi semua pihak yang terlibat.
Mereka adalah harapan nyata untuk mewujudkan masyarakat masa depan yang tidak hanya maju secara teknologi dan makmur secara ekonomi, tetapi juga tetap manusiawi dalam pendekatannya terhadap pembangunan dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan sosial.
Daftar Pustaka
- Anwar, I., Rohmani, L. A., & Putra, A. A. I. A. (2023). Peningkatan Berpikir Kritis Siswa SMP Dalam Pembelajaran IPA Melalui Model Pembelajaran Problem Based Learning. Jurnal Jendela Pendidikan, 3(01), 145–151. https://doi.org/10.57008/jjp.v3i01.430
- Daulay, R. (2024). Dampak Revolusi Industri 4.0 Terhadap Pekerjaan dan Kualitas Hidup Tenaga Kerja. Tugas Mahasiswa Ekonomi, 1(1). https://coursework.uma.ac.id/index.php/ekonomi/article/view/371
- Kementerian Pertahanan Republik Indonesia. (2019). Revolusi Industri 4.0 dan Pengaruhnya Bagi Industri di Indonesia. https://www.kemhan.go.id/pusbmn/2019/04/30/revolusi-industri-4-0-dan-pengaruhnya-bagi-industri-di-indonesia.html
- Khotimah, H., Suherman, A., & Susilowati, E. (2021). Otomatisasi dan Penggantian Tenaga Kerja di Era Revolusi Industri 4.0. Jurnal Kajian Hukum, 5(2), 205-220. https://doi.org/10.29303/jkh.v5i2.49
- Marsudi, A. S., & Widjaja, Y. R. (2019). Dampak Teknologi Dalam Industri 4.0 Terhadap Sumber Daya Manusia. Jurnal Ilmiah Manajemen dan Bisnis.
- Nuryanti, L., Zubaidah, S., & Diantoro, M. (2018). Analisis Kemampuan Berpikir Kritis Siswa SMP. Jurnal Pendidikan: Teori, Penelitian, dan Pengembangan, 3(2), 155-158. https://journal.um.ac.id/index.php/jptpp/article/view/10490
- Saputra, W. D., Kurniawan, D. T., & Wijaya, A. (2023). Pengaruh Teknologi Terhadap Produktivitas Tenaga Kerja di Indonesia. Jurnal Benefit: Jurnal Manajemen dan Bisnis, 8(2), 112-125. https://publikasi.abidan.org/index.php/benefit/article/download/341/278/1311
- Saputra, R., Hidayat, M., & Nurjaman, A. (2024). Pengaruh Revolusi Industri 4.0 Terhadap Keberlangsungan Buruh di Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Manajemen. https://www.researchgate.net/publication/379625919
- Setyorini, U., Sukiswo, S. E., & Subali, B. (2011). Penerapan Model Problem Based Learning untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa SMP. Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia, 7(1), 52-56. https://journal.unnes.ac.id/nju/JPFI/article/view/1070
- Tarumingkeng, R. C. (2024). Tantangan Jangka Panjang Bagi Tenaga Kerja Indonesia di Era Digital. https://rudyct.com/ab/Tantangan.Jangka.Panjang.Bagi.Tenaga.Kerja.Indonesia.pdf
- Valentio, A. S. (2025). Otomatisasi Industri dan Tantangan Tenaga Kerja di 2030. Kompasiana. https://www.kompasiana.com/01_adityasyahrialvalentio5472/67ad5a43c925c45599798302/otomatisasi-industri-dan-tantangan-tenaga-kerja-di-2030