Menyelami Sejarah Islam di Kawasan Wisata Religi Sunan Ampel

Foto Masjid Agung dan Makam Raden Rahmat Sunan Ampel/ist
Foto Masjid Agung dan Makam Raden Rahmat Sunan Ampel/ist

Kawasan Sunan Ampel merupakan salah satu destinasi wisata religi yang terkenal di Indonesia. Berlokasi di Surabaya, kawasan ini juga dikenal sebagai kampung Arab dan menjadi tempat yang sarat sejarah Islam. Di dalamnya terdapat makam Sunan Ampel serta berbagai peninggalan sejarah yang menjadi daya tarik wisatawan. Berikut ulasan lengkap mengenai sejarah dan keunikan kawasan ini.

Sejarah Sunan Ampel

Sunan Ampel, atau Raden Rahmatullah, adalah salah satu anggota Wali Songo yang berperan penting dalam menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa, khususnya Surabaya. Ia lahir pada tahun 1401 M di Champa, dengan nama asli Raden Rahmat. Ayahnya, Ibrahim Zainudin Asmaraqandi, dikenal sebagai Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik), sementara ibunya, Dewi Chandrawulan, merupakan putri Prabu Singhawarman, Raja Champa.

Bacaan Lainnya

Menurut berbagai sumber, Sunan Ampel pertama kali datang ke Pulau Jawa pada tahun 1443 M bersama adiknya, Sayid Ali Murtadho. Sebelumnya, mereka sempat tinggal di Palembang sekitar tahun 1440. Setelah itu, mereka melanjutkan perjalanan ke Gresik dan Majapahit untuk bertemu dengan Dwarawati, bibi Sunan Ampel.

Di wilayah Ampel Denta, Sunan Ampel mendirikan pondok pesantren yang menjadi pusat pendidikan Islam terkemuka hingga abad ke-15. Meskipun bermazhab Hanafi, Sunan Ampel mengajarkan ajaran Islam dengan cara yang sederhana, khususnya dalam bidang akidah dan ibadah. Berkat kiprahnya, ia dikenal sebagai “bapaknya para wali” karena banyak melahirkan ulama besar di Jawa.

Istilah “sunan” merupakan gelar kewalian, sementara “ampel” merujuk pada tempat tinggalnya di Ampel Denta. Sunan Ampel memiliki dua istri, yaitu Dewi Karimah dan Dewi Chandrawati (Nyai Ageng Manila). Dari Dewi Karimah, ia memiliki dua anak, yaitu Dewi Murtasih dan Dewi Murtasimah.

Dewi Murtasih menikah dengan Raden Fatah, sultan pertama Kerajaan Demak Bintoro, sedangkan Dewi Murtasimah menjadi permaisuri Sunan Giri. Sementara itu, dari pernikahannya dengan Dewi Chandrawati, ia memiliki lima anak, termasuk Sunan Bonang dan Sunan Drajad.

Sunan Ampel juga dikenal dengan ajaran filsafat “Moh Limo”, yang berarti menjauhi lima perbuatan tercela: Moh Main (tidak berjudi), Moh Ngombe (tidak mabuk), Moh Maling (tidak mencuri), Moh Madat (tidak mengonsumsi narkoba), dan Moh Madon (tidak berzina).

Sejarah Mbah Sholeh

Makam Mbah Soleh/penulis
Makam Mbah Soleh/penulis

Mbah Sholeh adalah murid sekaligus sahabat setia Sunan Ampel yang memiliki peran besar dalam menjaga kebersihan Masjid Ampel. Ia diutus oleh Sunan Ampel untuk memastikan kebersihan masjid dan sekitarnya tetap terjaga. Selama hidupnya, kawasan Ampel dikenal sangat bersih, hingga tidak ada yang mampu menandingi kebersihannya.

Baca Juga: Mamas Plogger Melejit di Spotify, “Badai Rindu Pasar Kacangan” Jadi Sorotan

Menurut cerita, setelah Mbah Sholeh wafat, kebersihan masjid menurun, membuat Sunan Ampel merasa rindu. Doa dan kerinduannya membuat Mbah Sholeh hidup kembali untuk membersihkan masjid. Peristiwa ini terjadi berulang kali, hingga makam Mbah Sholeh bertambah menjadi sembilan, simbol dari pengabdian terakhirnya. Makam kesembilan, yang terbesar, menjadi simbol penghormatan terhadap jasa-jasa Mbah Sholeh.

Masjid Sunan Ampel

Masjid Sunan Ampel adalah salah satu masjid tertua di Jawa Timur, dibangun pada abad ke-15 oleh Sunan Ampel bersama Mbah Sholeh, Mbah Sonhaji, dan para santrinya. Masjid ini berdiri di atas lahan yang diberikan oleh Kerajaan Majapahit, yang saat itu tidak mempermasalahkan keberadaan ajaran Islam di wilayahnya.

Arsitektur masjid ini mencerminkan perpaduan tiga budaya: Arab (Islam), Jawa-Kuno, dan Hindu-Budha. Bahan utama bangunannya terbuat dari kayu jati, dengan atap berbentuk tajuk bertingkat tiga, melambangkan Islam, iman, dan ihsan. Empat pilar utama masjid, yang terbuat dari kayu jati tanpa sambungan, memiliki tinggi 17 meter, melambangkan jumlah rakaat salat wajib dalam sehari.

Masjid ini memiliki 48 pintu, masing-masing dengan lebar 1,5 meter dan tinggi dua meter. Lengkungan pada pintu menunjukkan pengaruh arsitektur Arab. Selain itu, masjid ini juga memiliki lima gapura utama, yang disebut Lawang Agung, melambangkan Rukun Islam. Nama gapura tersebut adalah:

  1. Gapuro Paneksen – simbol dua kalimat syahadat.
  2. Gapuro Mangadep – simbol salat.
  3. Gapuro Poso – simbol puasa Ramadan.
  4. Gapuro Ngamal – simbol zakat.
  5. Gapuro Munggah – simbol naik haji.

Masjid Sunan Ampel telah mengalami tiga kali renovasi besar, yakni pembesaran oleh Adipati Aryocokronegoro, pelebaran oleh Adipati Reijen, dan perluasan oleh Kyai Manaf. Meski demikian, keaslian arsitekturnya tetap dipertahankan.

Daya Tarik Wisata Religi Sunan Ampel

Kawasan Sunan Ampel bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga menjadi pusat wisata religi yang ramai dikunjungi. Pengunjung dapat berziarah ke makam Sunan Ampel dan Mbah Sholeh, serta menikmati keunikan kampung Arab di sekitarnya. Kawasan ini juga menawarkan berbagai kuliner khas Timur Tengah dan Jawa, serta aneka suvenir bernuansa Islami.

Baca Juga: Mahasiswa Amikom Yogyakarta Gelar Seminar Edukasi Gadget bersama PUSPAGA PRIMA DIY dan Sekolah Gajahwong

Sebagai destinasi wisata religi, Sunan Ampel tidak hanya menjadi tempat untuk mendalami sejarah Islam, tetapi juga sarana untuk mempererat ukhuwah Islamiyah. Keberadaan masjid dan makam ini menjadi bukti nyata bagaimana Islam berkembang pesat di Nusantara.

Kawasan Sunan Ampel adalah warisan sejarah Islam yang harus dilestarikan. Dengan berbagai daya tariknya, tempat ini menjadi simbol toleransi, persatuan, dan keberagaman budaya. Berkunjung ke sini tidak hanya memberikan pengalaman spiritual, tetapi juga pembelajaran sejarah yang kaya makna.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *