Diskursus mengenai sistem Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) akhir-akhir ini kembali menjadi hangat untuk diperbincangkan. Bagaimana tidak, rencana Pilkada dipilih melalui DPRD ditawarkan langsung oleh orang nomor 1 di negeri ini.
Tentu ini bukan hal yang main-main ditengah upaya politik kita untuk mencari skema politik yang “murah” dan tetap mencerminkan demokrasi di Indonesia. Keluhan tentang biaya politik yang mahal ini tentu juga diaminkan oleh banyak calon kepala daerah atau kepala daerah yang sudah terpilih menjadi kepala daerah.
Setidaknya untuk Pilkada harus mengeluarkan budget untuk cetak Alat Peraga Kampanye (APK), sosialisasi ke masyarakat, biaya tim sukses, biaya saksi TPS, hingga fenomena serangan fajar yang hingga saat ini sudah semakin membudaya dan diterima oleh masyarakat menjadi hal yang lumrah. Maka tidak heran calon akan menghabiskan banyak biaya untuk sekedar menjadi calon kepala daerah.
Political cost dari calon itulah yang menjadi salah satu musabab adanya wacana untuk mengembalikan sistem Pilkada dengan dipilih oleh DPRD. Mari kita coba untuk merenung dan berfikir kembali, apakah wacana itu memang baik untuk demokrasi kita atau malah menjadi politik transaksional dikalangan elit partai? Ada beberapa hal yang bisa kita elaborasi mengenai wacana ini.
Pertama, apakah anggota DPRD itu memang sepenuhnya merupakan representasi organik dari suara masyarakat? Tentu pertanyaan ini menjadi hal yang lumrah untuk dilontarkan mengingat tuan dan puan yang terpilih menjadi anggota DPRD hanya muncul ketika momen menjelang agenda pemilu. Dan ketika sudah terpilih dan duduk sebagai legislator acap kali lupa dengan kosntituennya.
Hal itu menjadi penyakit laten dari caleg-caleg yang berkontestasi di Pileg dan akan berulang dalam tempo 5 (lima) tahunan untuk menyapa masyarakat. Jika mereka yang terpilih dan duduk di DPRD karena hasil-hasil politik uang, lalu apakah itu menjadi representasi murni dari rakyat, atau representasi dari money politik itu sendiri?
Jika masyarakat saja tidak kenal dengan orang yang mewakilinya, apakah itu dapat disebut sebagai representasi dari rakyat? Pertanyaan semacam itu harus dijawab terlebih dahulu sebelum kita mengatakan bahwa anggota DPRD adalah perwakilan rakyat secara seutuhnya.
Baca Juga: Kesejahteraan Guru Honorer: Kisah Supriyani dan Realita yang Terabaikan
Kedua, saya akan sebut bahwa mahalnya biaya Pilkada juga tidak lepas dari kegagalan partai politik untuk menjalankan fungsinya sebagai alat pendidikan politik dan kaderisasi calon politisi di masyarakat. Parpol gagal dalam menciptakan Party ID dan kegagalan peran partai dalam menciptakan demokrasi yang sehat.
Kegagalan partai dalam fungsi kaderisasi dan pelayanan terhadap masyarakat menjadi salah satu penyebab merebaknya politik uang. Ketika kaderasasi dalam internal partai mandek, maka kartu terakhir yang dipakai adalah dengan politik uang.
Selanjutnya mengenai pelayanan, semakin banyak partai pragmatis maka semakin tinggi pula tingkat politik uang di Indonesia. Ketika partai dan calon hanya turun ke masyarakat ketika menjelang pemilu maka mustahil bagi masyarakat akan percaya dengan partai dan anggota partai tersebut.
Maka jalan terakhir agar partai dan calon tersebut dikenal yaitu dengan menggunakan politik uang. Jadi jika politik uang itu dijadikan alibi untuk mengubah sistem Pilkada kita, maka seharusnya ada kritik internal kepada masing-masing parpol, apakah fungsi mereka sebagai instrumen politik sudah benar-benar terlaksana? Atau hanya sekedar akan melanggengkan politik perkoncoan diantara elit politik?
Ketiga, politik kita mahal? Memangnya kenapa? Ada yang menyampaikan bahwa negara tetangga kita sudah menerapkan sistem Pilkada yang lebih efisien (melalui DPRD). Membiayai sistem politik negara sebesar Indonesia memang mahal. Namun itulah yang diinginkan oleh rakyat, mereka bisa memilih langsung calon yang mereka kehendaki meskipun ditengah sistem politik yang sedang sakit.
Masing-masing masyarakat punya hak yang sama untuk memilih calon yang ditawarkan, namun itu lebih merepresentasikan suara masyarakat secara langsung. Disisi lain, keluhan mengenai biaya politik yang mahal sebenarnya juga memberikan dampak positif terhadap perekonomian masyarakat.
Sempatkah berfikir di sistem Pilkada saat ini juga memberikan efek domino terhadap peningkatan ekonomi masyarakat? Percetakan, jasa pasang baliho, jasa angkut APK, honor saksi, honor panitia petugas pemungutan suara, dsb yang secara langsung dirasakan oleh masyarakat.
Baca Juga: Menghadapi Kenyataan: Meningkatnya Kasus Pelecehan dan Kekerasan Seksual terhadap Perempuan
Kalau Pilkada melalui DPRD, apakah yakin tidak ada “transasksi politik” diantara elit politik di tingkat nasional? Apakah yakin tidak ada “uang pengganti” untuk masing-masing anggota fraksi di DPRD?
Kita patut untuk mecermati, mengkritisi, atau bahkan mencaruh curiga terhadap apapun yang disampaikan oleh penguasa saat ini. Tahun 2024 cukup memberikan pelajaran bagi rakyat bagaimana proses pergantian kekuasaan itu terjadi dan dilaksanakan dengan berbagai macam intrik.
Maka wajib bagi masyarakat untuk selalu mengawal berlangsungnya peraturan perundang-undangan, baik dari pelaksana maupun produk dari instrumen kekuasaan tersebut. Agar negara ini mendapatkan sebuah keseimbangan dari proses politik yang sudah disepakati bersama, tanpa harus diotak atik memenuhi ambisi dari segelintir orang-orang yang selalu haus akan kekuasaan.





