Merawat Surga Bawah Laut Wakatobi dengan Kearifan Lokal dan Inovasi Mahasiswa UNS

Dengan latar panorama laut Wakatobi, Tim KKN 338 UNS menggelar diskusi terkait program Gema Wakatobi. (doc. KKN 338 UNS)
Dengan latar panorama laut Wakatobi, Tim KKN 338 UNS menggelar diskusi terkait program Gema Wakatobi. (doc. KKN 338 UNS)

Wakatobi, Krajan.id – Di jantung Segitiga Terumbu Karang dunia, gugusan kepulauan Wakatobi berdiri sebagai simbol kekayaan hayati laut Indonesia. Nama Wakatobi, singkatan dari Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko, sudah mendunia sebagai destinasi wisata bahari kelas internasional.

Keindahan perairannya menghadirkan lebih dari 112 jenis karang dari 13 famili, 93 spesies ikan, serta menjadi jalur migrasi bagi lumba-lumba, paus, dan penyu langka seperti penyu sisik serta penyu tempayan.

Bacaan Lainnya

Sejak ditetapkan sebagai Taman Nasional pada 2002 dan diusulkan sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO pada 2005, Wakatobi menjadi aset ekologis global. Namun di balik pesona itu, kehidupan masyarakat pesisir masih menghadapi berbagai keterbatasan.

Sekitar 100.000 jiwa, termasuk komunitas Suku Bajo, menggantungkan hidup pada sumber daya laut. Ketergantungan yang besar pada sektor perikanan tangkap, budidaya rumput laut, serta pertanian tadah hujan menjadikan ekonomi lokal sangat rentan terhadap cuaca dan musim.

Musim gelombang tinggi seringkali membuat nelayan tak bisa melaut berhari-hari. Akibatnya, pendapatan keluarga menurun drastis. Situasi ini menciptakan dilema besar: masyarakat harus tetap bertahan hidup, tetapi di sisi lain konservasi laut menjadi kebutuhan jangka panjang. Beberapa nelayan pun terpaksa mengambil jalan pintas melalui praktik penangkapan ikan dengan cara yang merusak, meskipun dilarang.

Hadirnya Mahasiswa UNS di Tengah Tantangan

Dalam kondisi penuh paradoks inilah, mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta hadir melalui program Kuliah Kerja Nyata (KKN). Mereka datang bukan dengan konsep besar dari menara gading, melainkan membawa filosofi pemberdayaan yang berpijak pada potensi lokal. Tim KKN 338 UNS menamai program mereka “Gema Wakatobi”.

Misi utama program ini adalah menjembatani kesenjangan antara ekologi dan ekonomi. Mereka berusaha membuktikan bahwa konservasi lingkungan tidak harus mengorbankan kesejahteraan masyarakat, justru bisa menjadi jalan menuju keberlanjutan hidup.

“Kami ingin memperlihatkan bahwa menjaga laut bukanlah sebuah beban, melainkan kesempatan. Dengan kreativitas dan inovasi, laut yang lestari justru mendatangkan manfaat ekonomi bagi masyarakat,” kata perwakilan Tim KKN 338 UNS.

Tiga Pilar: Gema Kreasi, Gema Olah, dan Gema Coral Cleaning

Gema Kreasi: Limbah Jadi Sumber Ekonomi

Mahasiswa KKN 338 UNS membimbing anak-anak pesisir Wakatobi membuat kerajinan tangan dari limbah cangkang kerang dalam program Gema Kreasi. (doc. KKN 338 UNS)
Mahasiswa KKN 338 UNS membimbing anak-anak pesisir Wakatobi membuat kerajinan tangan dari limbah cangkang kerang dalam program Gema Kreasi. (doc. KKN 338 UNS)

Di sepanjang garis pantai Wakatobi, batok kelapa dan cangkang kerang berserakan tanpa dimanfaatkan. Melalui Gema Kreasi, limbah tersebut disulap menjadi kerajinan bernilai jual tinggi seperti kalung, gelang, anting, dan gantungan kunci. Produk-produk ini didesain modern agar sesuai selera wisatawan.

Lebih dari sekadar mengurangi limbah, Gema Kreasi menawarkan diversifikasi pendapatan bagi masyarakat. Aktivitas produksi kerajinan dapat dilakukan sepanjang tahun tanpa bergantung pada cuaca laut. Dengan begitu, keluarga nelayan memiliki sumber penghasilan alternatif yang lebih stabil.

“Kerajinan dari batok kelapa dan cangkang kerang ini sebenarnya sederhana, tetapi punya nilai ekonomi tinggi. Kami berharap produk-produk ini bisa menjadi oleh-oleh khas Wakatobi yang diminati wisatawan, sekaligus memberi peluang usaha baru bagi ibu-ibu rumah tangga,” jelas Tim KKN 338 UNS.

Gema Olah: Kelor sebagai Jawaban Gizi

Tim KKN 338 UNS berfoto bersama warga pesisir Wakatobi usai kegiatan pelatihan olahan pangan berbahan kelor untuk mendukung ketahanan gizi keluarga. (doc. KKN 338 UNS)
Tim KKN 338 UNS berfoto bersama warga pesisir Wakatobi usai kegiatan pelatihan olahan pangan berbahan kelor untuk mendukung ketahanan gizi keluarga. (doc. KKN 338 UNS)

Meski kaya sumber daya laut, masalah gizi masih menjadi tantangan di Wakatobi. Variasi pangan yang terbatas membuat kebutuhan nutrisi keluarga tidak selalu terpenuhi. Untuk menjawabnya, lahirlah Gema Olah.

Mahasiswa UNS memperkenalkan inovasi pengolahan daun kelor menjadi makanan modern yang disukai anak-anak, seperti nugget dan kukis. Dengan kandungan nutrisi tinggi, produk ini menjadi alternatif camilan sehat yang mendukung ketahanan gizi keluarga.

Selain mengajarkan resep, mahasiswa juga menggelar demo masak di Posyandu, memberikan edukasi gizi, serta melatih pengemasan agar produk bisa dipasarkan. Dengan demikian, para ibu rumah tangga tidak hanya mampu meningkatkan kesehatan keluarga, tetapi juga membuka peluang usaha mikro dari rumah.

“Kami percaya bahwa perbaikan gizi dimulai dari rumah. Dengan mengolah kelor menjadi makanan kekinian, anak-anak bisa lebih suka mengonsumsinya. Selain itu, ibu-ibu bisa menjadikannya peluang usaha kecil untuk menambah pendapatan,” tutur Tim KKN 338 UNS.

Gema Coral Cleaning: Menjaga Jantung Laut Dunia

Anggota Tim KKN 338 UNS menyelam di perairan Wakatobi untuk membersihkan sampah laut dalam program Gema Coral Cleaning. (doc. KKN 338 UNS)
Anggota Tim KKN 338 UNS menyelam di perairan Wakatobi untuk membersihkan sampah laut dalam program Gema Coral Cleaning. (doc. KKN 338 UNS)

Program ketiga, Gema Coral Cleaning, berfokus menjaga ekosistem terumbu karang dari ancaman serius berupa sampah plastik dan jaring hantu (ghost nets). Mahasiswa penyelam UNS turun langsung ke bawah laut untuk mengangkat jaring tersangkut serta memungut sampah.

Namun, kegiatan ini tidak berhenti pada aksi bersih-bersih. Mahasiswa juga melakukan kampanye edukasi kepada nelayan dan pelaku wisata tentang pentingnya menjaga terumbu karang. Mereka menekankan bahwa karang sehat adalah “pabrik ikan” yang menopang perikanan tangkap, sekaligus daya tarik utama wisata bahari.

“Terumbu karang bukan sekadar pemandangan indah, tetapi modal ekonomi masyarakat. Jika karang rusak, ikan berkurang, wisatawan pun enggan datang. Karena itu, menjaga laut berarti menjaga masa depan bersama,” tegas Tim KKN 338 UNS.

Sinergi Holistik untuk Pembangunan Berkelanjutan

Ketiga program tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan saling melengkapi. Gema Coral Cleaning menjaga ekosistem laut, sehingga mendukung daya tarik wisata dan bahan baku untuk Gema Kreasi. Sementara itu, Gema Olah memastikan kesehatan dan gizi masyarakat tetap terjaga, membuat mereka lebih produktif dan berdaya.

Siklus ini menciptakan model pemberdayaan yang berkelanjutan, sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Gema Coral Cleaning berkontribusi pada SDG 14 (Kehidupan Bawah Air), Gema Olah pada SDG 2 (Tanpa Kelaparan) dan SDG 3 (Kehidupan Sehat dan Sejahtera), sementara Gema Kreasi pada SDG 1 (Tanpa Kemiskinan) dan SDG 8 (Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi).

Lebih jauh, keterlibatan perempuan melalui Gema Olah turut mendukung SDG 5 (Kesetaraan Gender). Secara keseluruhan, Gema Wakatobi menjadi contoh nyata SDG 17 (Kemitraan untuk Mencapai Tujuan) yang berfokus pada kolaborasi antara mahasiswa dan masyarakat.

“Kami berharap program ini tidak berhenti saat KKN selesai. Semoga masyarakat bisa terus melanjutkan dan mengembangkannya, sehingga dampaknya benar-benar berkelanjutan,” tambah Tim KKN 338 UNS.

Warisan Tak Kasat Mata

Program KKN 338 UNS di Wakatobi memang telah berakhir, namun jejak yang ditinggalkan lebih dari sekadar produk kerajinan atau olahan kelor. Warisan terbesarnya adalah perubahan pola pikir masyarakat. Mereka kini melihat laut bukan sekadar sumber daya yang dieksploitasi, melainkan aset berharga yang harus dijaga bersama.

Paradigma baru ini diharapkan bisa mengakar kuat. Dengan menjaga kelestarian laut, masyarakat tidak hanya memastikan keberlanjutan ekosistem, tetapi juga membuka jalan menuju kesejahteraan ekonomi.

“Bagi kami, Gema Wakatobi adalah bukti bahwa perubahan bisa dimulai dari hal kecil. Saat masyarakat sadar menjaga lingkungan, mereka juga sedang menyiapkan masa depan yang lebih baik untuk anak cucu,” pungkas Tim KKN 338 UNS.

Simak berita terbaru kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Krajan.id WhatsApp Channel: https://whatsapp.com/channel/0029VaAD5sdDOQIbeQkBct03 Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *