Proyek pembangunan jalan tol Jogja–Solo–Semarang (Joglosemar) merupakan salah satu bentuk nyata dari implementasi kebijakan pembangunan infrastruktur nasional yang dicanangkan pemerintah Indonesia.
Proyek ini dilaksanakan sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) yang merujuk pada amanat Undang-Undang No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan. Penugasan proyek ini dipercayakan kepada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), yang bertindak sebagai pemangku kepentingan utama dalam pembangunan infrastruktur jalan tol tersebut.
Tol Joglosemar, yang juga merupakan bagian dari kelanjutan proyek Tol Trans Jawa, bukan hanya berfungsi sebagai penghubung konektivitas antarwilayah. Lebih dari itu, proyek ini sarat akan dimensi sosial-politik, ekonomi, dan birokrasi yang menarik untuk ditinjau dari kacamata ilmu sosial, terutama dalam konteks administrasi publik dan tata kelola pemerintahan yang baik atau good governance.
Penyelenggaraan pembangunan Tol Joglosemar menunjukkan bahwa praktik pembangunan dewasa ini tidak lagi hanya bersandar pada konsep government yang bersifat top-down, melainkan telah bergeser ke arah governance, yaitu tata kelola kolaboratif yang melibatkan berbagai aktor.
Pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan sektor swasta terlibat secara sinergis dalam proses perencanaan dan pelaksanaan proyek. Sinergi ini memperlihatkan bagaimana kolaborasi lintas sektor menjadi elemen kunci dalam memastikan kesuksesan proyek-proyek infrastruktur strategis.
Dari segi transparansi dan akuntabilitas, proyek Tol Joglosemar terbagi menjadi beberapa seksi pembangunan yang memudahkan proses pemantauan. Misalnya, Tol Solo–Yogyakarta–YIA dibagi menjadi tiga seksi dengan total panjang mencapai 96,57 kilometer.
Sementara itu, ruas Jogja–Bawen memiliki panjang 75,12 kilometer dan dibagi menjadi enam seksi. Pola pembagian ini memfasilitasi kegiatan monitoring dan evaluasi, yang menjadi indikator penting dalam prinsip-prinsip akuntabilitas publik.
Proyek Tol Joglosemar juga dapat dijadikan sebagai cermin cara kerja birokrasi di Indonesia. Dalam bukunya Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, Dwiyanto (2008) mengungkapkan bahwa birokrasi nasional sering kali menghadapi tantangan dalam hal koordinasi antarlembaga.
Ego sektoral masih menjadi hambatan dalam upaya mewujudkan pelayanan publik yang efektif. Padahal, pembangunan infrastruktur seperti Tol Joglosemar memerlukan keterpaduan antara lembaga formal seperti Bappenas, Kementerian PUPR, dan pelaku swasta untuk dapat berjalan dengan optimal.
Meskipun tujuan pembangunan tol ini diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui konektivitas dan pemerataan ekonomi, pelaksanaan proyek masih menghadapi berbagai tantangan dalam konteks good governance.
Dalam teori administrasi publik, tata kelola yang baik menekankan aspek transparansi, akuntabilitas, partisipasi publik, efektivitas, efisiensi, serta penegakan hukum. Namun, dalam konteks proyek Tol Joglosemar, partisipasi publik dalam perencanaan dan pelaksanaan masih terkesan formalitas.
Sebagai contoh, laporan dari Pemerintah Kabupaten Magelang menyebutkan bahwa konsultasi publik dilakukan melalui penyaluran aspirasi masyarakat yang hanya diwakili oleh tokoh tertentu. Hal ini menunjukkan minimnya keterlibatan langsung masyarakat luas dalam proses pengambilan keputusan. Pendekatan seperti ini berpotensi mengabaikan aspirasi kelompok rentan yang terdampak langsung oleh pembangunan.
Selain itu, dalam kerangka good governance, aspek lingkungan dan dampak sosial juga semestinya menjadi prioritas utama. Relokasi penduduk dan proses pembebasan lahan hendaknya dilakukan dengan menjunjung tinggi prinsip keadilan sosial.
Asian Development Bank (ADB) dalam Public Private Partnership (PPP) Handbook menekankan pentingnya keterlibatan semua pemangku kepentingan dan penilaian dampak lingkungan secara komprehensif sepanjang siklus hidup proyek.
Sementara itu, Project Management Journal menyatakan bahwa keterlibatan pemangku kepentingan secara efektif tetap menjadi tantangan utama dalam skema PPP, terutama pada aspek transparansi tender dan pengawasan kontraktor. Dzakky (2021) pun mengingatkan bahwa PPP bukanlah solusi sempurna. Risiko korupsi dan penyimpangan tetap ada jika prinsip transparansi dan akuntabilitas tidak ditegakkan secara serius.
Tol Joglosemar bukan hanya simbol kemajuan fisik, tetapi juga cerminan dari transformasi administrasi publik Indonesia dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang lebih partisipatif dan kolaboratif. Keberhasilan proyek ini akan menjadi pembelajaran penting bagi pembangunan infrastruktur di masa depan. Dampak multiplier effect yang dihasilkan bukan hanya dari sisi ekonomi, tetapi juga dari bagaimana tata kelola proyek ini bisa menjadi model yang berkelanjutan.
Namun demikian, catatan kritis terhadap pelaksanaan prinsip partisipasi publik dan keberpihakan terhadap kelompok masyarakat yang terdampak secara langsung harus menjadi perhatian utama dalam proyek-proyek selanjutnya. Kolaborasi yang baik tidak cukup hanya di tingkat elite birokrasi dan swasta, tetapi harus melibatkan rakyat sebagai subjek, bukan objek dari pembangunan.
Pembangunan Tol Joglosemar hendaknya tidak hanya dilihat dari keberhasilan teknokratis semata, melainkan juga sebagai barometer etika dan keadilan sosial dalam pelaksanaan proyek strategis nasional.





