Ketimpangan layanan pendidikan dan kesehatan di Indonesia hingga hari ini menjadi cermin buram dari ketidakhadiran negara dalam memenuhi hak-hak dasar warganya secara merata. Kualitas layanan yang seharusnya bersifat universal dan merata justru masih sangat ditentukan oleh letak geografis, kode pos, dan kedekatan terhadap pusat kekuasaan.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa negara belum berhasil menunaikan peran konstitusionalnya dalam menjamin kesejahteraan warganya secara adil.
Dalam sektor pendidikan, yang seharusnya menjadi jembatan mobilitas sosial dan sarana pengentasan kemiskinan, kenyataannya justru memperkuat struktur stratifikasi. Anak-anak yang tinggal di wilayah terpencil sering menghadapi akses yang terbatas terhadap pendidikan bermutu.
Ketersediaan guru yang kompeten masih timpang, infrastruktur sekolah sering kali jauh dari kata layak, dan kurikulum yang diterapkan belum sepenuhnya relevan dengan kebutuhan lokal. Ketika pendidikan hanya berkualitas di kota, maka yang terjadi adalah reproduksi ketidaksetaraan dari generasi ke generasi.
Hal yang sama juga terjadi dalam sektor kesehatan. Distribusi tenaga medis dan fasilitas kesehatan sangat timpang, dengan konsentrasi tertinggi berada di kota-kota besar, khususnya di Pulau Jawa.
Sementara itu, daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal) masih bergumul dengan minimnya dokter, kekurangan obat-obatan, bahkan keterbatasan pasokan listrik yang menjadi syarat penting bagi operasionalisasi layanan kesehatan. Hal ini tidak sekadar soal logistik, tetapi lebih dalam, menunjukkan bahwa negara belum menganggap kesehatan sebagai hak yang setara bagi seluruh rakyat.
Kebijakan anggaran seharusnya menjadi instrumen korektif untuk menanggulangi ketimpangan struktural. Namun kenyataannya, alokasi dana pendidikan dan kesehatan justru sering kali lebih besar di wilayah yang sudah relatif maju.
Ketika distribusi anggaran tidak mempertimbangkan ketimpangan awal, maka yang tercipta adalah pelanggengan ketidaksetaraan. Negara tidak bisa hanya menjadi penyalur dana, melainkan harus aktif menciptakan sistem yang berpihak dan adil, yang memberi ruang lebih besar bagi yang selama ini terpinggirkan.
Ketimpangan ini memiliki konsekuensi serius terhadap kehidupan sosial. Ketika akses terhadap layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan tidak merata, maka kesenjangan ekonomi, sosial, bahkan politik akan semakin lebar.
Negara memiliki tanggung jawab konstitusional dan moral untuk tidak hanya menjaga stabilitas, tetapi juga memerangi akar ketimpangan agar masyarakat tidak terus-menerus hidup dalam struktur yang menindas.
Kerap kali, pemerintah menggunakan alasan geografis sebagai dalih atas tidak meratanya layanan. Namun dalam era kemajuan teknologi dan transportasi modern, argumen tersebut menjadi usang. Justru di wilayah-wilayah sulit dijangkau, negara harus lebih nyata hadir. Pemerintah bukan hanya pengelola data statistik, tetapi pelayan publik yang harus hadir di mana rakyatnya membutuhkan.
Desentralisasi yang diharapkan menjadi solusi justru menimbulkan tantangan baru. Tanpa supervisi dan kontrol mutu dari pemerintah pusat, inisiatif lokal kerap tidak terstandarisasi. Akibatnya, kesenjangan antarwilayah semakin terlihat. Pemerintah pusat dan daerah semestinya menjalin sinergi yang erat, bukan melempar tanggung jawab satu sama lain.
Ketimpangan digital menambah kerumitan persoalan. Dalam masa pembelajaran daring dan penggunaan telemedisin, banyak wilayah terpencil tidak bisa mengikuti karena buruknya infrastruktur internet. Transformasi digital tanpa perhatian pada aksesibilitas justru memperdalam ketertinggalan.
Layanan dasar tidak boleh dipandang sebagai komoditas yang tunduk pada logika pasar. Pendidikan dan kesehatan tidak bisa didekati semata-mata dari sudut efisiensi atau keuntungan, melainkan dari prinsip keadilan sosial. Negara harus hadir sebagai penjamin hak, bukan pelaku ekonomi.
Langkah korektif seperti beasiswa afirmatif bagi pelajar daerah 3T, insentif untuk tenaga medis di pedalaman, dan pembangunan fasilitas layanan yang sesuai kebutuhan lokal bukanlah tindakan belas kasih. Itu adalah wujud nyata tanggung jawab negara terhadap rakyatnya. Kebijakan redistribusi harus dipahami sebagai pemenuhan hak, bukan hadiah.
Pemerintah juga perlu mengembangkan sistem evaluasi yang kontekstual. Angka-angka statistik memang penting, tetapi tidak boleh menjadi satu-satunya indikator keberhasilan. Kualitas layanan harus diukur dengan mempertimbangkan kondisi lokal agar kebijakan tidak bersifat seragam dan abai terhadap realitas di lapangan.
Jika rakyat terus diposisikan sebagai objek kebijakan, maka hubungan antara negara dan warga hanya akan bersifat vertikal dan paternalistik. Negara harus membuka ruang partisipasi, menjadikan masyarakat sebagai subjek aktif dalam perumusan dan evaluasi kebijakan layanan dasar. Demokrasi yang sehat dibangun melalui dialog dan keterlibatan.
Ketimpangan layanan dasar mencerminkan bagaimana negara memandang rakyatnya. Pemerintahan yang benar-benar memanusiakan warga akan menempatkan pendidikan dan kesehatan sebagai prioritas utama. Sebab, keadilan sosial dimulai dari siapa yang mendapat ruang di kelas yang aman, dan siapa yang bisa sembuh di rumah sakit yang manusiawi.





