Menurut Smith (2021:1-2), “Psikologi adalah perumusan dan pengujian teori-teori hipotesis-deduktif yang menggambarkan proses mental yang tidak teramati dan bahkan yang tidak dapat diamati.” Dalam dunia sastra, psikologi juga menjadi salah satu pendekatan penting, yang dikenal dengan istilah psikologi sastra.
Wellek dan Warren (1988:81) menyebutkan bahwa “Psikologi sastra memiliki empat pengertian utama: studi psikologi pengarang sebagai pribadi, studi proses kreatif, studi penerapan tipe dan hukum-hukum psikologi pada karya sastra, serta studi dampak sastra pada pembaca.”
Dalam artikel ini, saya akan mengapresiasi puisi “Oedipus Complex” karya Royyan Julian dari buku kumpulan puisinya Uroboro Syekh Kholil Bangkalani, menggunakan pendekatan psikologi sastra dengan fokus pada psikologi karya. Pendekatan ini menitikberatkan analisis pada teks karya itu sendiri, tanpa mengaitkannya dengan penulis, proses kreatif, maupun pembaca.
Kumpulan puisi ini diterbitkan oleh Basabasi pada tahun 2023. Dalam sinopsis buku tersebut, Royyan Julian menyebut bahwa karya ini mengangkat remitikalisasi melalui tafsir melingkar Paul Ricoeur terhadap kultur, sejarah, dan legenda Madura. Berdasarkan informasi dari Kalam Sastra, Royyan Julian adalah seorang penulis dari Madura yang telah menghasilkan enam belas buku.
Beberapa pencapaiannya meliputi juara Sayembara Manuskrip Puisi dan Kritik Sastra Dewan Kesenian Jakarta, penerima Anugerah Sutasoma dari Balai Bahasa Jawa Timur, serta penghargaan dari Dewan Kesenian Jawa Timur dan Gubernur Jawa Timur. Kini, ia tinggal di Pamekasan dan aktif berkarya di Universitas Madura serta komunitas Kotheka.
Baca Juga: Tapsiun: Simbol Degradasi Moral di Kota Pendidikan
Alasan saya mengapresiasi puisi ini adalah untuk memahami makna tersirat dalam “Oedipus Complex” menggunakan pendekatan psikologi karya. Puisi ini menarik untuk dianalisis karena masih tergolong baru, dan judulnya memberikan ruang interpretasi terkait konsep psikologi Oedipus Complex serta kaitannya dengan narasi lokal Madura. Berikut ini teks puisi tersebut:
OEDIPUS COMPLEX
-Jakatole & Retnadi
Setra, Kekasihku,
di setra yang dahulu kaubentangkan,
seekor lembu betina menyusuiku
dengan kelenjar bulan.
Aku pucat peristiwa
yang berkaca di wajah tak bernetra.
Lalu sungai itu, sungai itu, Kekasihku,
bangkit menjadi zebu bertanduk badar
yang berenang dari arus ketuban
ke hilir perkabungan panjang.
Dan di kaki-kaki Doa,
ia bersimpuh dengan lenguh
yang hanya dipahami sang Duka:
“Ibu, di keheningan rahim-Mu,
aku pulang sebagai hewan jantan
yang terluka.”
Rob Young (2021:1-2) menjelaskan bahwa Oedipus Complex adalah tumbuhnya perasaan cinta mendalam dari seorang anak terhadap salah satu orang tua kandungnya, disertai keinginan memilikinya secara eksklusif, sementara ia merasa benci terhadap orang tua lainnya.
Pada anak laki-laki, fenomena ini muncul sebagai cinta terhadap ibu dan kebencian terhadap ayah. Dalam konteks puisi ini, subjudul “Jakatole & Retnadi” memberi petunjuk bahwa ada keterkaitan antara konsep Oedipus Complex dan legenda Madura, khususnya kisah Jakatole.
Baca Juga: Mungkinkah Membaca Tetap Relevan di Era Media Sosial?
Diketahui, Dewi Retnadi adalah putri Sultan Brawijaya yang menjadi istri Kudapanole, sementara Raden Ayu Potre Koneng adalah ibu kandung Jakatole. Menurut Babad Sumenep (R. Werdisastra, 1996), Jakatole dibuang oleh ibunya di hutan karena dianggap sebagai aib keluarga, lalu diasuh oleh Empo Kelleng, seorang pandai besi.
Selama masa kecilnya, Jakatole disusui oleh seekor kerbau betina putih milik Empo Kelleng. Hubungan emosional antara Jakatole dan sosok ibu kandung maupun ibu asuhnya dapat dilihat sebagai gambaran dari konflik batin yang menjadi ciri khas Oedipus Complex.
Pada larik pembuka, “Setra, Kekasihku, di setra yang dahulu kaubentangkan,” istilah “setra” merujuk pada lokasi tempat Jakatole dibuang saat lahir. Klausa “Kekasihku” seolah ditujukan kepada ibunya yang meninggalkannya. Larik ini mengisyaratkan perasaan rindu sekaligus keterikatan emosional yang kuat antara aku-lirik dan sosok ibu.
Larik “seekor lembu betina menyusuiku dengan kelenjar bulan” menggambarkan masa kecil Jakatole yang disusui oleh kerbau milik Empo Kelleng. Penggunaan metafora “kelenjar bulan” menunjukkan nuansa sakral dan simbolis, menggambarkan kehidupan yang berkelindan antara alam dan budaya.
Pada bait kedua, “Aku pucat peristiwa yang berkaca di wajah tak bernetra,” aku-lirik mencerminkan kegelisahan batin. Wajah “tak bernetra” mungkin merujuk pada Retnadi yang pada awal pertemuannya dengan Jakatole digambarkan sebagai sosok buta. Hal ini sekaligus menggambarkan proyeksi Jakatole terhadap sosok ibunya yang tidak pernah ia kenal.
Baca Juga: Banjir Bandang di Sukabumi: Sebab, Akibat, dan Solusi Bersama
Larik “Lalu sungai itu, sungai itu, Kekasihku,” mengacu pada perjalanan Jakatole dan Retnadi yang meninggalkan jejak berupa sumber mata air di sepanjang wilayah Madura. Dalam kisah legenda, Retnadi memiliki tongkat sakti yang mampu menciptakan sumber air, yang hingga kini menjadi bagian penting dari geografis dan mitologi lokal.
Pada bait terakhir, larik “Ibu, di keheningan rahim-Mu, aku pulang sebagai hewan jantan yang terluka” menjadi puncak emosional puisi. Kepulangan Jakatole ke Sumenep tidak hanya bermakna fisik, tetapi juga simbolis, yakni kembalinya ia kepada asal-muasalnya, baik secara spiritual maupun emosional.
Puisi “Oedipus Complex” karya Royyan Julian adalah upaya menarik untuk mengaitkan konsep psikologi Barat dengan legenda lokal Madura. Melalui pendekatan psikologi karya, puisi ini menampilkan kompleksitas hubungan manusia dengan sejarah, mitologi, dan identitas kultural. Dengan gaya bahasa yang simbolis dan puitis, Royyan Julian berhasil menciptakan karya yang memadukan kedalaman psikologi dengan kekayaan tradisi lokal.





