Ontologi ilmu merupakan cabang filsafat yang membahas tentang hakikat realitas, atau dengan kata lain menjawab pertanyaan mendasar: “apa yang ada?”. Dalam konteks masyarakat Madura, pendekatan ontologis terhadap ilmu tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai budaya, agama, serta tradisi yang mengakar kuat di dalam kehidupan mereka.
Karakteristik masyarakat Madura yang dikenal religius, memiliki struktur sosial yang simbolik, serta menjunjung tinggi nilai “harga diri” dan “persaudaraan”, merupakan bagian tak terpisahkan dari realitas sosial yang patut dikaji melalui lensa ontologi ilmu.
Ontologi tidak hanya bicara tentang benda-benda atau entitas fisik, tetapi juga mengenai nilai-nilai dan norma yang dianggap eksis secara sosial. Misalnya, dalam budaya Madura, nilai kehormatan menjadi prinsip hidup yang utama.
Maka, ketika kita bertanya secara ontologis, apakah nilai seperti “kehormatan” atau “balas dendam” nyata? Dalam perspektif masyarakat Madura, hal tersebut bukanlah ilusi sosial, melainkan entitas yang hidup dan memandu perilaku sehari-hari.
Salah satu contoh yang sering diangkat dalam diskursus budaya Madura adalah praktik carokβsebuah bentuk penyelesaian konflik dengan kekerasan yang biasanya dilatarbelakangi oleh persoalan kehormatan.
Di mata masyarakat luar, praktik ini mungkin dianggap sebagai bentuk kriminalitas. Namun, dalam ontologi budaya Madura, carok justru merepresentasikan struktur nilai yang mendalam, yakni pembelaan terhadap harga diri dan keluarga. Ungkapan lokal seperti “lebih baik putih tulang daripada putih mata” menjadi gambaran konkret bagaimana realitas dipahami secara eksistensial.
Dalam hal ini, pendekatan ilmu terhadap fenomena sosial Madura tidak bisa semata-mata menggunakan kerangka modern yang netral dan objektif. Ontologi ilmu mengajukan bahwa realitas sosial harus dipahami sebagai sesuatu yang eksis dalam dunia makna masyarakat itu sendiri.
Jadi, untuk memahami Madura secara utuh, ilmu harus mengakui bahwa entitas seperti kehormatan, persaudaraan, dan religiositas adalah bagian dari struktur realitas otonom yang tidak bisa direduksi menjadi sekadar perilaku individual atau konstruksi semu.
Lebih jauh, masyarakat Madura juga memiliki cara pandang khas terhadap ruang, waktu, dan hubungan sosial. Konsep seperti “berdarah” atau “harus dibalas” tidak bisa dibaca hanya sebagai ekspresi emosional semata, melainkan sebagai realitas normatif yang diyakini sebagai kebenaran. Realitas dalam hal ini tidak sekadar bersifat empiris, tetapi juga spiritual dan simbolik.
Pengetahuan dalam masyarakat Madura dibentuk melalui pengalaman kolektif, simbol budaya, dan warisan leluhur. Nilai-nilai seperti harga diri dan kehormatan menjadi fondasi ontologis dari sistem pengetahuan mereka. Di sinilah peran pesantren dan kiai menjadi sangat penting.
Dalam tradisi pesantren di Madura, seorang kiai bukan sekadar guru, tetapi juga representasi dari sumber pengetahuan dan spiritualitas. Otoritas keilmuan seorang kiai tidak hanya berasal dari gelar akademik, tetapi juga dari pengakuan sosial, silsilah keilmuan (sanad), serta karomah yang diyakini melekat padanya.
Maka dari itu, ilmu dalam konteks pesantren Madura tidak hanya menjawab “apa yang diketahui” tetapi juga “siapa yang menyampaikan” dan “bagaimana nilai-nilai itu dihayati”.
Pesantren sebagai ruang ontologis ilmu memainkan peranan penting dalam membentuk cara berpikir masyarakat Madura. Sistem pendidikan berbasis halaqah, tradisi ngaji kitab kuning, dan sikap taβdzim kepada guru menekankan bahwa ilmu bukanlah sesuatu yang netral, tetapi diperoleh melalui proses adab, spiritualitas, dan keberkahan. Ilmu menjadi sesuatu yang hidup, yang bukan hanya mengisi kepala, tetapi juga membentuk karakter dan orientasi hidup seseorang.
Dalam masyarakat Madura, seseorang yang dianggap berilmu harus mampu menunjukkan integritas moral dan keberanian sosial. Tidak cukup hanya cakap berbicara atau memiliki gelar akademik, tetapi juga harus mampu menjadi teladan dalam tindakan nyata, membela kebenaran, serta berkomitmen terhadap masyarakat. Hal ini memperlihatkan bahwa ilmu dalam ontologi Madura tidak terlepas dari aspek karakter dan tanggung jawab sosial.
Namun, di sisi lain, masyarakat Madura juga mengalami ambivalensi dalam menyikapi ilmu modern. Mereka mendorong anak-anaknya meraih pendidikan tinggi, tetapi tetap memberikan penghormatan tertinggi kepada figur-figur tradisional seperti kiai atau tokoh masyarakat yang tidak selalu memiliki gelar formal. Fenomena ini mencerminkan dualitas dalam ontologi ilmu: antara ilmu modern yang berbasis rasionalitas akademik dan ilmu tradisional yang berbasis spiritualitas dan karisma sosial.
Di era globalisasi dan kemajuan teknologi, tantangan besar muncul bagi masyarakat Madura dalam menjaga identitas ontologis keilmuan mereka. Generasi muda Madura yang menempuh pendidikan tinggi di luar daerah atau luar negeri membawa pulang pandangan-pandangan baru. Ini adalah potensi, tetapi juga bisa menjadi ancaman jika tidak dikelola dengan kearifan lokal.
Pertanyaannya, bagaimana membangun sintesis antara tradisi dan modernitas dalam sistem pengetahuan masyarakat Madura? Salah satu jawabannya adalah membuka ruang-ruang pendidikan yang mengakomodasi dialog antara keilmuan pesantren dan keilmuan akademik.
Kurikulum perlu didesain sedemikian rupa sehingga mampu menjembatani antara logika formal dan kebijaksanaan lokal.
Ilmu harus mampu menjadi alat transformasi sosial. Ia harus membumi dan menjawab persoalan riil seperti kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan sosial. Ilmu tidak boleh terjebak dalam menara gading akademik, tetapi harus hadir di tengah masyarakat, menjelma dalam bentuk praksis yang membangun peradaban.
Dengan demikian, pemahaman ontologis terhadap ilmu menjadi sangat penting dalam membaca masyarakat Madura. Bukan hanya untuk memahami “apa yang ada”, tetapi juga untuk merancang masa depan yang berakar pada tradisi dan terbuka terhadap perubahan. Ilmu dalam masyarakat Madura bukanlah sesuatu yang beku, tetapi sebuah dinamika antara nilai, makna, dan perubahan sosial yang terus berkembang.





