Memasuki usia ke-80 tahun kemerdekaan Indonesia, Pancasila telah dan terus memegang peran utama sebagai dasar negara. Ia bukan sekadar lima sila yang tercantum dalam teks, melainkan telah menjadi “sumber dari segala sumber hukum” yang menyatukan keragaman budaya, agama, adat, dan karakter masyarakat dari Sabang hingga Merauke.
Pancasila lahir dari perenungan mendalam dan buah pikir para pendiri bangsa, yang menciptakannya sebagai landasan fundamental bagi seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kedudukan Pancasila sebagai pedoman hidup tidak hanya berlaku pada masa lalu, namun seharusnya tetap relevan hingga masa kini dan masa mendatang. Namun, pertanyaannya kini mengemuka: di tengah persimpangan zaman yang semakin kompleks, masihkah Pancasila menjadi akar kehidupan bangsa, atau justru mulai terlupakan?
Penting bagi kita untuk merenungkan, sejauh mana nilai-nilai Pancasila hadir dan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Lima sila dalam Pancasila tidak terbentuk begitu saja; ia berakar pada adat istiadat, budaya, agama, serta pandangan hidup bangsa yang beragam. Secara menyeluruh, Pancasila berperan sebagai pemersatu bangsa dan menjadi perekat dalam keragaman yang ada di Indonesia.
Era digitalisasi saat ini menandai sebuah perubahan besar dalam cara hidup manusia. Teknologi berkembang pesat, membawa kemudahan sekaligus tantangan. Derasnya arus informasi dan terbukanya akses terhadap budaya asing dari berbagai penjuru dunia dapat berdampak negatif jika tidak diimbangi dengan penguatan nilai-nilai kebangsaan. Pancasila kini berada di persimpangan jalan, di mana keberlangsungannya ditentukan oleh kesadaran kolektif kita sebagai bangsa: akankah tetap dijaga atau perlahan tergeser?
Tantangan terbesar Pancasila bukanlah pada aspek hukum atau pengakuannya secara formal, tetapi justru pada internalisasi nilai-nilainya oleh masyarakat. Pancasila bukan sekadar simbol atau slogan yang digaungkan saat upacara bendera, melainkan harus dihidupkan dalam sikap, pikiran, dan tindakan nyata.
Sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa,” misalnya, sejatinya menjadi landasan moral dalam pengambilan keputusan pribadi maupun publik. Toleransi antarumat beragama, menghargai keyakinan orang lain, serta menghindari tindakan saling mencela adalah bentuk konkret implementasi dari sila ini. Namun, realitas menunjukkan bahwa nilai tersebut belum sepenuhnya terwujud dalam kehidupan bermasyarakat.
Kemudian, sila kedua yang menekankan pada kemanusiaan yang adil dan beradab sering kali masih bertabrakan dengan fenomena sosial seperti ketimpangan ekonomi, kekerasan, hingga pelanggaran hak asasi manusia. Ruang digital bahkan memperlihatkan sisi gelap masyarakat, dengan merebaknya ujaran kebencian, hoaks, dan sikap intoleransi yang jauh dari semangat Pancasila.
Sila ketiga, yang berbunyi “Persatuan Indonesia,” justru diuji oleh polarisasi yang kian tajam di media sosial. Bukannya mempererat, ruang digital kadang menjadi arena pertikaian antargolongan. Di sinilah pentingnya kesadaran untuk menempatkan semangat persatuan di atas segala perbedaan.
Sementara itu, sila keempat dan kelima pun mengalami tantangan serupa. Budaya musyawarah untuk mufakat dan semangat keadilan sosial semakin kehilangan ruhnya di tengah budaya instan dan dominasi kepentingan individu. Individualisme yang tumbuh di era modern perlahan menggeser semangat gotong-royong yang selama ini menjadi ciri khas masyarakat Indonesia.
Namun demikian, kita tidak boleh pesimis. Masih banyak nilai-nilai Pancasila yang diam-diam hidup dalam masyarakat, meskipun tidak selalu ditunjukkan secara eksplisit. Ketika kita saling mengingatkan untuk beribadah, menolong tetangga, menyuarakan keadilan, atau bersikap toleran terhadap perbedaan, sejatinya kita telah menjalankan nilai-nilai Pancasila.
Kuncinya adalah kesadaran dan penghayatan yang mendalam. Pendidikan Pancasila harus mampu menjangkau bukan hanya aspek teoritis, tetapi juga aplikatif dan filosofis. Pemahaman yang utuh akan lima sila Pancasila harus dimulai sejak dini, tidak sekadar hafalan, tetapi melalui keteladanan dan pembiasaan dalam keseharian.
Generasi muda memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga eksistensi Pancasila. Mereka harus adaptif terhadap zaman, namun tetap menjadikan Pancasila sebagai kompas moral dan ideologis. Pancasila bukan sesuatu yang ketinggalan zaman. Sebaliknya, ia bersifat dinamis, dapat menyesuaikan dengan perkembangan era tanpa kehilangan esensinya.
Nilai-nilai Pancasila tidak hanya relevan untuk Indonesia, tetapi juga dapat menjadi kontribusi nyata bagi dunia. Prinsip-prinsipnya yang menekankan pada kemanusiaan, keadilan, dan perdamaian sangat sejalan dengan semangat global dalam membangun peradaban yang lebih beradab dan menghormati hak asasi manusia.
Sebagai warga negara, kita perlu menyadari bahwa Pancasila bukan sekadar simbol negara, melainkan panduan moral yang menyatukan dan membentuk karakter bangsa. Ia harus hidup dalam rumah tangga, lingkungan sekolah, masyarakat, hingga ruang digital yang kini menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Masa depan Pancasila ada di tangan kita. Zaman boleh berubah, namun nilai-nilai dasar bangsa tidak boleh hilang. Selama kita terus menjaga semangat Pancasila—dalam pikiran, ucapan, dan perbuatan—maka ia akan tetap menjadi akar kehidupan bangsa yang tak lekang oleh waktu.
Karena merawat Pancasila adalah merawat Indonesia.





