Perkembangan media sosial telah mengubah pola komunikasi manusia secara drastis. Dahulu, menyampaikan kabar membutuhkan waktu dan menempuh jarak tertentu. Kini, dengan satu kali unggahan, pesan dapat tersebar ke ribuan orang hanya dalam hitungan detik.
Platform seperti Instagram, TikTok, X (dulu Twitter), dan Facebook tidak lagi sekadar menjadi tempat berbagi informasi, tetapi telah menjelma sebagai ruang ekspresi identitas. Di sinilah relevansi Teori Dramaturgi yang dikemukakan oleh Erving Goffman menjadi penting untuk membedah bagaimana manusia berperilaku dalam ranah digital.
Menurut Goffman, kehidupan sosial pada dasarnya adalah sebuah panggung teater. Setiap individu memainkan peran tertentu, menyesuaikan diri dengan penonton serta konteks sosial yang melingkupinya.
Dalam tulisan ini, saya ingin mengeksplorasi bagaimana teori tersebut mampu menjelaskan fenomena komunikasi dan pencitraan diri di media sosial, serta bagaimana peran-peran itu memengaruhi cara kita menilai, menampilkan, dan memahami siapa diri kita sebenarnya.
Memahami Dramaturgi: Antara Panggung dan Topeng
Dalam bukunya The Presentation of Self in Everyday Life (1959), Goffman mengemukakan bahwa kehidupan sosial adalah serangkaian pertunjukan. Kita semua berperan sebagai aktor dalam interaksi sosial, selalu berusaha mengontrol bagaimana orang lain memandang kita. Dalam konsepnya, terdapat dua ruang utama dalam panggung sosial: panggung depan dan panggung belakang.
Panggung depan adalah tempat di mana kita menampilkan diri secara formal, menyesuaikan dengan harapan dan norma sosial. Misalnya, ketika kita berbicara sopan di tempat kerja, berpakaian rapi saat bertemu orang penting, atau menyembunyikan emosi saat harus tampil profesional.
Di sisi lain, panggung belakang merupakan ruang privat, di mana kita bisa bersikap lebih bebas tanpa perlu memikirkan citra atau penilaian orang lain. Di sinilah kita bisa melepaskan “topeng” yang dikenakan saat tampil di muka publik.
Salah satu konsep penting lainnya dari Goffman adalah pengelolaan kesan (impression management), yaitu proses ketika seseorang secara sadar maupun tidak, berupaya memengaruhi persepsi orang lain terhadap dirinya. Hal ini dapat terlihat dari cara bicara, gaya berpakaian, hingga pilihan ekspresi yang digunakan, semua disusun agar sesuai dengan citra diri yang ingin ditampilkan.
Media Sosial: Panggung Baru Tanpa Henti
Kehadiran media sosial telah memperluas batas interaksi sosial kita. Panggung kehidupan tidak lagi terbatas pada ruang fisik, tetapi kini menjelma menjadi ruang digital yang aktif 24 jam tanpa henti. Instagram, TikTok, X (Twitter), Facebook, dan platform lainnya menjadi teater modern, tempat jutaan pertunjukan identitas berlangsung setiap hari. Setiap unggahan, komentar, dan story menjadi bagian dari pertunjukan citra yang berkesinambungan.
Dalam ruang digital ini, kita memilih foto terbaik, menyempurnakan pencahayaan, menambahkan filter, dan menyusun caption yang menggugah. Kita mengatur sudut pandang agar terlihat estetik dan profesional.
Bahkan sering kali kita hanya menampilkan sisi positif dari hidup dan menyembunyikan sisi rapuh. Ini merupakan bentuk konkret dari panggung depan digital, tempat kita terus-menerus menampilkan diri kepada publik.
Namun batas antara panggung depan dan belakang kian kabur. Fitur seperti “Close Friends” di Instagram atau akun alter di X menunjukkan bahwa kita tetap menciptakan ruang privat dalam media sosial, namun tetap dalam ekosistem digital yang terhubung.
Hal ini memunculkan pertanyaan reflektif: Apakah kita masih memiliki ruang aman untuk menjadi diri sendiri? Atau, kita harus terus hidup dalam tekanan peran yang harus dipertahankan secara digital?
Identitas Digital: Disusun, Dikurasi, Diperankan
Salah satu aspek paling mencolok dari interaksi di media sosial adalah bagaimana kita membentuk identitas digital secara sadar. Identitas ini bukanlah representasi utuh dari siapa kita sebenarnya, melainkan hasil kurasi dari potongan-potongan citra diri yang kita pilih untuk ditampilkan. Kita menyusun narasi tentang diri kita dengan sangat selektif.
Misalnya, seorang mahasiswa bisa menampilkan diri sebagai pribadi religius dengan rutin mengunggah ayat-ayat motivasi, meskipun dalam kehidupan nyata ia tidak terlalu aktif dalam kegiatan spiritual. Di sini, kita berperan sebagai kurator kehidupan pribadi, menampilkan versi diri yang dianggap “layak diterima” dan “disukai” oleh publik. Tanpa disadari, kita mulai hidup dengan standar yang dibentuk oleh ekspektasi penonton digital.
Fenomena ini menciptakan tekanan psikologis, rasa tidak cukup, serta perlombaan citra yang melelahkan. Dalam konteks ini, Teori Dramaturgi memberikan kesadaran bahwa apa yang kita lihat atau tampilkan bukanlah kenyataan penuh, melainkan hanya salah satu sisi dari pertunjukan yang kita mainkan di media sosial.
Tekanan Sosial dan Norma Komunitas Digital
Di dunia media sosial, kita tidak hanya memainkan peran, tetapi juga menyesuaikan diri dengan norma dan budaya platform. Goffman menyebut ini sebagai kerangka sosial, yaitu struktur tak terlihat yang mengarahkan cara kita berinteraksi.
Setiap platform memiliki “aturan main” tersendiri. Di TikTok, para kreator mengikuti tren dan musik viral agar tetap relevan. Di Instagram, unggahan harus estetik dan konsisten dengan tema feed. Di LinkedIn, setiap konten diharapkan terlihat profesional dan inspiratif.
Ini menunjukkan bahwa media sosial bukan ruang netral. Ia memiliki struktur sosial yang memaksa pengguna untuk menyesuaikan diri agar bisa diterima. Ketika tidak memenuhi standar-standar tersebut, pengguna bisa merasa tidak dianggap atau bahkan terpinggirkan.
Tekanan untuk terus tampil “baik” dan “sempurna” ini membuat pertunjukan digital tak lagi menyenangkan, melainkan menjadi beban mental yang sulit dihindari.
Menemukan Kejujuran di Tengah Peran
Secara pribadi, saya pernah mengalami bagaimana media sosial mendorong saya untuk tidak tampil jujur. Saya pernah menghapus unggahan hanya karena merasa tidak cukup bagus, atau tidak sesuai tren. Ada saat di mana saya enggan membagikan konten yang saya sukai karena takut tidak mendapatkan respons positif dari audiens digital.
Namun setelah memahami konsep dramaturgi, saya mulai lebih sadar dan selektif dalam menggunakan media sosial. Saya menyadari bahwa tidak semua hal harus ditampilkan, dan bahwa keberadaan panggung belakang tetap penting, bahkan di era keterbukaan seperti sekarang.
Saya belajar untuk menjaga keaslian diri tanpa merasa bersalah jika tidak tampil sempurna. Kesadaran ini membantu saya membedakan mana citra digital dan mana kehidupan nyata, sehingga saya tidak lagi terjebak dalam sandiwara digital tanpa akhir.
Bijak Memainkan Peran di Era Digital
Teori Dramaturgi memberikan lensa kritis untuk melihat bagaimana manusia berinteraksi di media sosial. Kita semua, pada dasarnya, adalah aktor yang memainkan peran sesuai dengan panggung yang kita pilih. Namun sayangnya, batas antara ruang publik dan privat di media sosial kini nyaris hilang. Kita terus tampil, bahkan di saat kita seharusnya beristirahat.
Media sosial memang bisa menjadi sarana yang positif untuk berbagi, berekspresi, dan berkembang. Namun, jika tidak digunakan dengan bijak, ia bisa menjadi jebakan peran yang melelahkan. Kita perlu menyadari bahwa tidak semua kesan harus dikendalikan. Menjadi diri sendiri meskipun tidak sempurna adalah bentuk keberanian yang jauh lebih bermakna daripada memainkan peran yang semu.





