Patologi Sosial di Sidoarjo: Tingginya Kasus ODGJ Tanpa Identitas

Merefleksikan krisis identitas dan kemanusiaan yang dialami ODGJ tanpa identitas di tengah masyarakat yang semakin individualistis. (GG)
Merefleksikan krisis identitas dan kemanusiaan yang dialami ODGJ tanpa identitas di tengah masyarakat yang semakin individualistis. (GG)

Permasalahan kesehatan jiwa masih menjadi isu penting dalam konteks sosial Indonesia, terutama di wilayah penyangga kota besar seperti Kabupaten Sidoarjo. Salah satu fenomena yang cukup mengkhawatirkan adalah meningkatnya jumlah Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang hidup tanpa identitas. Fenomena ini tidak sekadar soal kesehatan mental, tetapi juga menyingkap rapuhnya sistem sosial dan lemahnya perlindungan terhadap kelompok rentan.

Data dari Lembaga Penyakit Jiwa Sosial (Liponsos) Sidoarjo menunjukkan bahwa sekitar 95 persen pasien yang ditampung merupakan ODGJ tanpa identitas. Artinya, hampir semua penghuni panti sosial tersebut tidak diketahui siapa namanya, dari mana asalnya, dan siapa keluarganya. Kondisi ini menggambarkan bahwa di balik pembangunan dan kemajuan ekonomi, masih ada sisi gelap kemanusiaan yang belum tersentuh.

Bacaan Lainnya

Masalah ini tentu tidak muncul secara tiba-tiba. Letak geografis Sidoarjo yang berdekatan dengan Surabaya menjadikannya wilayah dengan mobilitas penduduk yang tinggi. Banyak orang datang untuk bekerja, berdagang, atau mencari kehidupan baru.

Namun, sebagian dari mereka yang mengalami gangguan jiwa bisa saja tersesat, kehilangan arah, dan akhirnya hidup di jalanan tanpa keluarga atau dokumen identitas. Ketika mereka ditemukan oleh aparat, biasanya langsung dibawa ke Liponsos atau rumah sakit jiwa, namun proses selanjutnya kerap terhenti karena tidak adanya data diri yang jelas.

Tanpa identitas, petugas kesulitan melakukan pelacakan atau reunifikasi keluarga. Akibatnya, banyak ODGJ yang menetap bertahun-tahun di panti sosial tanpa kejelasan. Mereka hidup di ruang yang sama setiap hari, tanpa tahu apakah masih ada keluarga yang mencarinya atau tidak. Kondisi ini menimbulkan persoalan kemanusiaan yang serius.

Bagi para ODGJ tanpa identitas, kehilangan dokumen bukan hanya kehilangan selembar kartu, tetapi juga kehilangan hak dasar sebagai manusia: hak untuk diakui, dilindungi, dan dirawat secara layak. Mereka hidup seolah tanpa masa lalu dan masa depan.

Dari sisi keluarga, banyak yang menyerah atau bahkan menolak untuk menerima kembali anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa karena beban ekonomi maupun tekanan sosial.

Masyarakat pun sering kali memandang mereka dengan rasa takut dan stigma negatif. Padahal, tidak semua ODGJ berperilaku agresif atau berbahaya. Banyak di antara mereka yang sebenarnya tenang dan hanya membutuhkan perhatian serta pengobatan rutin. Sayangnya, pandangan stereotip ini membuat mereka semakin terpinggirkan.

Dari sisi pemerintah, ketiadaan data membuat program penanganan tidak berjalan efektif. Bantuan sosial, program rehabilitasi, hingga upaya reintegrasi keluarga menjadi terhambat. Tanpa data identitas, negara kesulitan menegakkan hak-hak dasar mereka. Akibatnya, penanganan ODGJ tanpa identitas sering kali hanya bersifat reaktif dan jangka pendek, sekadar menampung tanpa ada solusi berkelanjutan.

Masalah ini sejatinya mencerminkan lemahnya fungsi sosial dalam masyarakat kita. Negara, keluarga, dan masyarakat seharusnya menjadi tiga pilar utama dalam melindungi kelompok rentan, namun dalam kasus ini, ketiganya belum berfungsi optimal.

Upaya penyelesaian harus dilakukan secara kolaboratif dan multidimensional. Pemerintah dapat memperkuat sistem identifikasi berbasis teknologi, misalnya melalui pemindaian biometrik seperti sidik jari atau wajah, agar mempermudah pelacakan identitas dan mempercepat proses reunifikasi keluarga.

Selain itu, kerja sama antara pemerintah daerah, lembaga sosial, dan masyarakat juga harus diperkuat. Di beberapa daerah, program pencarian keluarga melalui media sosial terbukti efektif membantu menemukan identitas pasien ODGJ.

Tidak kalah penting adalah edukasi publik. Masyarakat perlu memahami bahwa gangguan jiwa bukanlah aib, melainkan kondisi medis yang membutuhkan perhatian profesional. Mengubah cara pandang masyarakat terhadap isu kesehatan mental menjadi langkah penting untuk menghapus stigma dan membuka ruang empati.

Keluarga pun memegang peran besar dalam proses pemulihan. Dukungan emosional, penerimaan, dan kepedulian dapat menjadi terapi yang jauh lebih kuat dibanding obat. Ketika keluarga hadir, peluang pasien untuk sembuh dan kembali berfungsi sosial akan jauh lebih besar.

Kasus ODGJ tanpa identitas di Sidoarjo adalah cermin bagi kondisi sosial masyarakat modern. Di tengah gemerlap pembangunan kota dan kemajuan ekonomi, masih ada individu yang kehilangan jati diri dan terpinggirkan dari sistem sosial. Mereka tidak hanya kehilangan identitas administratif, tetapi juga kehilangan rasa memiliki terhadap komunitasnya.

Pada akhirnya, mengembalikan identitas mereka bukan sekadar urusan administratif, tetapi juga tentang mengembalikan martabat kemanusiaan. Ukuran sejati dari kemajuan suatu masyarakat tidak diukur dari tinggi gedung yang dibangun, melainkan dari seberapa besar kepedulian kita terhadap mereka yang paling lemah, paling sunyi, dan paling terlupakan.


Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *