PDKT dengan Makanan Khas Wonogiri, Gaplek!

Singkong yang dikeringkan menjadi gaplek. (doc. Pemkab Trenggalek)
Singkong yang dikeringkan menjadi gaplek. (doc. Pemkab Trenggalek)

Gaplek, olahan dari singkong, merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia, terutama di daerah pedesaan yang memiliki keterbatasan akses terhadap bahan pangan utama seperti beras. Sebelum diolah menjadi berbagai hidangan, singkong biasanya dikupas, dipotong, lalu dikukus setengah matang.

Setelah itu, singkong diberi ragi yang telah dihaluskan dan disimpan di tempat hangat selama dua hingga tiga hari untuk menghasilkan makanan fermentasi dengan cita rasa khas. Dari proses inilah muncul bahan pangan tahan lama yang dikenal sebagai gaplek.

Bacaan Lainnya

Namun, tahukah Anda bagaimana asal usul gaplek, serta keunikan dan keistimewaannya yang menjadikannya lebih dari sekadar makanan tradisional?

Sejarah Panjang Gaplek

Gaplek bukan sekadar olahan singkong biasa. Ia memiliki rekam jejak sejarah yang kuat. Pada dekade 1920-an, gaplek sempat menjadi komoditas ekspor penting Hindia Belanda ke wilayah Eropa. Di sana, gaplek digunakan sebagai pakan ternak murah dan bahan baku untuk produksi tepung tapioka.

Namun, ketika Depresi Besar melanda dunia pada 1929, negara-negara Eropa menghentikan kegiatan impor. Akibatnya, tumpukan gaplek menggunung di lumbung-lumbung tanah Jawa. Dalam kondisi kelaparan dan paceklik yang berkepanjangan, masyarakat petani di Jawa mulai mengandalkan gaplek sebagai bahan pangan utama untuk bertahan hidup.

Setelah krisis tersebut, gaplek terus menjadi bagian dari pola konsumsi masyarakat desa. Data pada tahun 1954 menunjukkan bahwa di wilayah seperti Gunungkidul, lahan singkong justru lebih luas dibandingkan dengan lahan padi. Artinya, gaplek menjadi tulang punggung pangan di daerah-daerah yang kesulitan air dan tidak cocok untuk budidaya padi.

Memasuki masa Orde Lama pada 1963, wabah tikus melanda berbagai wilayah dan menghabiskan hasil panen singkong dan padi. Dalam situasi darurat ini, masyarakat bahkan terpaksa mengonsumsi “geber” atau ampas singkong. Meski kondisi membaik setelah gejolak politik dan ekonomi mereda, beberapa daerah seperti Gunungkidul dan Wonogiri masih mengandalkan singkong hingga dekade 1990-an.

Keunikan dan Ketahanan Gaplek

Wilayah seperti Kabupaten Wonogiri, yang didominasi oleh tanah berkapur dan batu gamping, memiliki tantangan tersendiri dalam produksi pangan. Kondisi geografis dan minimnya sumber air membuat pertanian padi menjadi tidak ideal. Dalam situasi seperti inilah gaplek muncul sebagai solusi. Tanaman singkong lebih tahan terhadap kondisi kering, dan hasil panennya dapat diolah menjadi gaplek yang memiliki daya simpan sangat lama.

Keistimewaan gaplek tidak berhenti di situ. Gaplek kaya akan karbohidrat, kalsium, dan fosfor, menjadikannya sumber energi yang bergizi bagi masyarakat pedesaan. Selain itu, fleksibilitas dalam pengolahan juga menjadikan gaplek relevan hingga kini.

Gaplek bukan hanya bagian dari sejarah, tetapi juga bukti kemampuan masyarakat dalam beradaptasi terhadap keterbatasan lingkungan dan krisis pangan. Dengan demikian, gaplek bukan hanya bahan pangan, melainkan juga warisan budaya yang mencerminkan identitas lokal.

Olahan Lezat dari Gaplek

Gaplek bisa diolah menjadi beragam makanan yang menggoda selera. Tiwul adalah salah satu contohnya. Terbuat dari tepung gaplek yang diuleni lalu dikukus, tiwul memiliki tekstur kenyal dan rasa gurih yang khas. Selain tiwul, ada juga gatot, makanan fermentasi yang memiliki rasa asam manis dan tekstur lembut.

Tidak hanya itu, gaplek juga digunakan dalam pembuatan mie lethek, mie tradisional yang memiliki warna abu-abu keruh dan cita rasa unik. Dalam bentuk tepung, gaplek juga bisa diolah menjadi beragam kue modern, seperti brownies gaplek, jenang, kue kering, bahkan gaplek mutiara yang tampil menarik dan cocok sebagai sajian kekinian.

Tips Pengolahan Gaplek

Sebelum diolah menjadi aneka makanan, gaplek perlu diproses terlebih dahulu agar menghasilkan rasa dan kualitas terbaik. Proses awalnya dimulai dengan merendam gaplek selama sehari semalam, tergantung ketebalannya. Air rendaman harus sering diganti untuk mengurangi rasa pahit dan menghilangkan kotoran.

Setelah direndam, gaplek dicuci bersih lalu dikukus. Pastikan air kukusan sudah mendidih sebelum memasukkan gaplek, dan sesuaikan waktu pengukusan tergantung olahan yang diinginkan. Jika ingin mengolah gaplek menjadi tepung, pastikan gaplek benar-benar kering agar mudah dihaluskan.

Hindari menggunakan gaplek yang berbau apek, berjamur, atau berwarna kusam. Pilihlah gaplek yang berwarna putih bersih. Untuk penyimpanan jangka panjang, gaplek sebaiknya disimpan di tempat yang kering, sejuk, dan memiliki sirkulasi udara baik agar tidak mudah rusak.

Melestarikan Gaplek Sebagai Identitas Kuliner

Gaplek adalah cerminan kearifan lokal dalam menyiasati keterbatasan. Ia bukan hanya makanan, tetapi juga bagian dari sejarah perjuangan, budaya, dan identitas kuliner masyarakat Wonogiri. Kini, dengan semakin tingginya minat masyarakat terhadap pangan lokal dan kuliner tradisional, gaplek memiliki peluang besar untuk kembali diangkat ke permukaan.

Melalui berbagai inovasi dalam penyajian dan pengemasan, gaplek bisa dihadirkan dalam bentuk yang lebih modern tanpa kehilangan keasliannya. Sebagai generasi penerus, kita memiliki tanggung jawab untuk melestarikan dan mengembangkan potensi kuliner ini. Gaplek bukan hanya milik masa lalu, tapi juga bagian dari masa depan kuliner Indonesia yang membanggakan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *