Pulau Bali, yang kerap dijuluki Pulau Dewata, merupakan destinasi wisata unggulan di Indonesia yang telah dikenal hingga ke mancanegara. Keindahan alam, keramahan penduduk, serta kekayaan budaya dan spiritualnya menjadikan Bali sebagai magnet bagi jutaan wisatawan setiap tahunnya, baik dari dalam maupun luar negeri. Namun, di balik geliat pariwisata tersebut, muncul ironi yang mengusik rasa hormat terhadap warisan budaya: pelanggaran adat yang dilakukan oleh wisatawan asing.
Salah satu kasus yang cukup mencoreng wajah pariwisata Bali terjadi pada Agustus 2019. Sebuah video yang viral di media sosial memperlihatkan seorang turis asing mencipratkan air suci dari pelinggih—tempat pemujaan suci umat Hindu Bali—ke bokong temannya.
Peristiwa itu terjadi di kawasan Monkey Forest, Ubud, dan langsung menuai kecaman dari masyarakat Bali. Meski di sekitar lokasi sudah dipasang papan peringatan yang menyatakan bahwa pura tersebut adalah tempat suci dan air suci tidak boleh digunakan sembarangan, sang turis tetap melanggar.
Ironisnya, wisatawan tersebut datang tanpa pendamping lokal atau pemandu wisata yang dapat memberikan pemahaman mengenai nilai-nilai budaya dan spiritual masyarakat Bali. Akibat ketidaktahuannya—atau barangkali ketidaksadarannya—tindakan yang dilakukan menjadi bentuk pelecehan terhadap kepercayaan dan nilai-nilai adat setempat.
Jika ditinjau dari aspek hukum, perilaku wisatawan tersebut jelas bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, pasal 5 huruf a menegaskan bahwa kegiatan pariwisata harus diselenggarakan dengan prinsip menjunjung tinggi norma agama dan nilai budaya sebagai pengejawantahan hidup harmonis antara manusia, Tuhan, sesama, dan alam. Sementara pada pasal 25 huruf a ditegaskan bahwa wisatawan wajib menjaga serta menghormati norma agama, adat, budaya, dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat setempat.
Berdasarkan regulasi tersebut, sudah sepantasnya wisatawan yang datang ke Bali memahami dan menghormati budaya lokal. Namun, fakta di lapangan menunjukkan masih banyak wisatawan yang mengabaikan hal ini.
Perilaku tersebut bukan hanya bentuk ketidaksopanan, melainkan juga mengancam keharmonisan masyarakat adat yang telah bertahun-tahun menjaga kesucian tempat ibadah dan nilai-nilai warisan leluhur mereka.
Tindakan sang turis asing pun tidak dibiarkan begitu saja. Ia dipanggil oleh pihak kepolisian untuk memberikan klarifikasi. Mediasi kemudian dilakukan bersama tokoh adat setempat, yang akhirnya menghasilkan keputusan berupa sanksi adat.
Turis tersebut diwajibkan mengikuti upacara adat, membersihkan area pura, dan memohon maaf kepada para dewa dengan tata cara yang sesuai hukum adat Bali. Tak hanya itu, ia juga harus membantu membiayai sebagian prosesi upacara sebagai bentuk tanggung jawab atas perbuatannya.
Selain itu, turis tersebut diwajibkan membuat video klarifikasi dan permohonan maaf secara terbuka atas tindakannya yang telah viral di media sosial. Harapannya, tindakan tersebut bisa memberikan efek jera sekaligus menjadi pembelajaran bagi wisatawan lainnya agar lebih bijak dan menghormati nilai-nilai lokal saat berkunjung.
Peristiwa ini seharusnya menjadi refleksi bersama, bukan hanya bagi para wisatawan tetapi juga bagi pelaku industri pariwisata. Edukasi tentang budaya dan adat istiadat seharusnya menjadi bagian integral dari pengelolaan destinasi wisata, terutama di tempat-tempat yang memiliki nilai sakral seperti pura dan situs keagamaan lainnya.
Ketika seseorang memasuki wilayah yang sarat dengan nilai sejarah, agama, dan budaya, semestinya ia sudah memiliki kesadaran untuk menjaga perilaku. Tindakan seperti berfoto secara tidak pantas, berpakaian tidak sopan, atau menyentuh benda suci tanpa izin merupakan bentuk pelanggaran yang tidak hanya menyakitkan hati masyarakat setempat tetapi juga menciderai keharmonisan yang dijaga turun-temurun.
Bali sendiri memiliki filosofi kehidupan yang mendalam, yakni Tri Hita Karana, yang berarti tiga penyebab kesejahteraan. Konsep ini mencakup tiga aspek penting: hubungan harmonis dengan Tuhan (parhyangan), hubungan dengan sesama manusia (pawongan), dan hubungan dengan alam (palemahan).
Nilai-nilai inilah yang menjadi fondasi masyarakat Bali dalam menjalani kehidupan. Maka ketika salah satu aspek ini dilanggar, itu bukan sekadar kesalahan biasa, tetapi penghinaan terhadap keseluruhan tatanan sosial dan spiritual mereka.
Masyarakat Bali menjunjung tinggi keharmonisan dan keseimbangan, dan karenanya, penting bagi setiap pihak yang memasuki ruang sakral mereka untuk mengedepankan rasa hormat dan kesadaran diri. Tidak cukup hanya dengan larangan tertulis atau papan informasi; edukasi harus menyentuh sisi emosional dan pemahaman mendalam para wisatawan.
Penting bagi pemerintah daerah, pelaku pariwisata, dan lembaga pendidikan untuk bekerja sama menciptakan materi edukatif yang menarik dan mudah diakses oleh wisatawan. Pemandu wisata juga perlu dilibatkan secara aktif dalam mendampingi turis, khususnya di area yang memiliki sensitivitas budaya dan spiritual. Dengan demikian, pelanggaran seperti ini bisa dicegah dan Bali tetap menjadi destinasi yang bukan hanya indah, tetapi juga penuh makna.
Lebih jauh, penegakan sanksi adat seperti yang diterapkan pada kasus ini menunjukkan bahwa masyarakat adat Bali masih memegang kendali atas kedaulatan budayanya. Ini menjadi bentuk kearifan lokal yang tidak bisa diabaikan dalam era globalisasi dan keterbukaan informasi. Bahkan dalam dunia yang semakin modern, nilai-nilai tradisi tetap menjadi penuntun moral dan hukum sosial yang kuat.
Semoga kasus seperti ini tidak lagi terulang. Diperlukan kerja sama dari semua pihak—wisatawan, pemerintah, dan masyarakat lokal—untuk saling menjaga dan merawat warisan budaya bangsa.
Hormatilah tempat yang kita kunjungi sebagaimana kita ingin dihormati saat orang lain datang ke rumah kita. Karena pada akhirnya, perjalanan bukan hanya soal destinasi, tapi tentang bagaimana kita belajar memahami dan menghargai kehidupan orang lain.





