Pemilu Legislatif dan Politik Uang: Saat Pilihan Rakyat Dipengaruhi Uang

Ilustrasi Pemilih dihadapkan pada pilihan antara keuntungan sesaat atau masa depan demokrasi yang bersih dan adil. (GG)
Ilustrasi Pemilih dihadapkan pada pilihan antara keuntungan sesaat atau masa depan demokrasi yang bersih dan adil. (GG)

Pemilihan legislatif adalah momen krusial dalam kehidupan berbangsa. Inilah saatnya rakyat menentukan arah masa depan bangsa dengan memilih wakil-wakil yang akan menyuarakan kepentingan publik di parlemen. Namun, harapan ideal itu kini semakin jauh dari kenyataan.

Pemilu yang seharusnya menjadi ruang pertarungan gagasan dan visi politik telah bergeser menjadi ajang transaksi kepentingan melalui praktik politik uang yang kian mengakar dalam budaya demokrasi kita.

Bacaan Lainnya

Fenomena ini bukanlah sekadar asumsi, melainkan kenyataan empiris yang tercermin dalam survei terbaru Indikator Politik Indonesia pada Februari 2024. Survei tersebut mengungkapkan bahwa 35 persen responden mengaku memilih calon legislatif karena menerima uang atau bantuan material. Ini merupakan lonjakan dari angka 28 persen pada pemilu 2019.

Lebih mengkhawatirkan lagi, jumlah pemilih yang menyatakan penolakan terhadap politik uang justru menurun, dari 9,8 persen menjadi hanya 8 persen. Angka-angka ini memperlihatkan bahwa kesadaran politik masyarakat masih sangat rapuh, bahkan cenderung menurun.

Politik uang bukan hanya soal pelanggaran etika dalam proses demokrasi. Lebih dari itu, praktik ini merupakan ancaman langsung terhadap integritas sistem politik kita. Ketika calon legislatif terpilih bukan karena kualitas gagasan, rekam jejak, atau integritas moral, melainkan karena kemampuan finansial, maka sesungguhnya proses demokrasi telah kehilangan makna dasarnya.

Perwakilan rakyat yang lahir dari praktik ini umumnya tidak memiliki tanggung jawab moral kepada rakyat, melainkan kepada para penyokong dana kampanye mereka. Akibatnya, produk legislasi cenderung lemah, fungsi pengawasan terhadap eksekutif melemah, dan keberpihakan terhadap rakyat menjadi semu.

Salah satu akar permasalahan dari suburnya praktik politik uang adalah rendahnya literasi politik di masyarakat. Sebagian besar pemilih belum memahami bahwa suara mereka adalah hak konstitusional yang harus digunakan secara bertanggung jawab.

Ditambah lagi, tekanan ekonomi yang dirasakan oleh sebagian besar rakyat membuat amplop berisi uang menjelang pemilu dianggap sebagai berkah, bukan pelanggaran. Dalam banyak kasus, masyarakat bahkan menganggap pemberian uang oleh calon legislatif sebagai kewajaran, sebagai bentuk “balas jasa” atas suara yang akan diberikan.

Padahal, praktik ini sejatinya adalah bentuk awal dari kontrak kuasa yang timpang. Ketika suara rakyat bisa dibeli, maka yang hilang bukan sekadar hak pilih, tetapi juga harapan akan perubahan. Demokrasi hanya akan menjadi formalitas tanpa substansi jika masyarakat terus membiarkan suaranya dipengaruhi oleh kekuatan uang. Pemilu legislatif yang seharusnya menjadi seleksi atas integritas dan kompetensi, berubah menjadi lelang jabatan yang dimenangkan oleh mereka yang punya modal terbesar.

Oleh karena itu, perlu ada gerakan kolektif untuk mengembalikan marwah demokrasi ke jalurnya. Rakyat harus diberdayakan untuk memahami bahwa menolak politik uang adalah bentuk keberanian. Keberanian untuk menjaga kemurnian suara, untuk memilih berdasarkan pertimbangan rasional, dan untuk menyelamatkan masa depan politik bangsa. Pendidikan politik harus diperkuat, baik melalui jalur formal maupun informal, agar masyarakat semakin cerdas dalam menentukan pilihan politiknya.

Lebih dari itu, penegakan hukum terhadap pelaku politik uang harus dilakukan dengan tegas dan transparan. Lembaga-lembaga pengawas pemilu harus diberi kewenangan lebih besar, serta didukung oleh sistem pelaporan dan pelacakan yang efektif.

Ketika pelaku dan pemberi politik uang tidak merasa takut akan sanksi, maka praktik ini akan terus berlangsung dan menjadikan demokrasi kita hanya sebagai kemasan kosong.

Sebagai bangsa yang telah memilih demokrasi sebagai sistem pemerintahan, kita semua memiliki tanggung jawab untuk menjaga kualitasnya. Dan menjaga kualitas demokrasi berarti menolak segala bentuk manipulasi, termasuk transaksi suara yang menyamarkan wajah asli demokrasi. Karena pada akhirnya, yang menentukan masa depan bangsa bukanlah kekuatan uang, melainkan kekuatan rakyat yang sadar akan hak dan tanggung jawabnya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *