Pendidikan adalah tiang utama dalam pembangunan bangsa. Sistem pendidikan yang dijalankan suatu negara secara langsung membentuk kualitas sumber daya manusianya. Di Indonesia, diskursus mengenai arah dan pendekatan pendidikan selalu menarik untuk ditelaah, terutama dalam menghadapi kompleksitas zaman yang kian dinamis.
Dua pendekatan yang kerap menjadi sorotan adalah model pendidikan yang menyerupai barak militer dan pendekatan humanis yang dikenal dengan istilah ‘Kurikulum Cinta’.
Model pendidikan ala barak militer merujuk pada sistem yang mengedepankan disiplin tinggi, kepatuhan tanpa syarat, serta struktur yang ketat. Pendekatan ini berangkat dari keyakinan bahwa kedisiplinan merupakan fondasi utama dalam membentuk individu yang tangguh dan berintegritas.
Di sekolah, manifestasinya tampak melalui jadwal yang padat, aturan yang tegas, dan penekanan pada hierarki antara guru dan siswa. Meskipun bertujuan untuk membentuk karakter yang kuat dan berdaya tahan tinggi, kritik mulai bermunculan terhadap pendekatan ini.
Pakar pendidikan dan psikologi anak menyoroti bahwa model yang terlalu otoriter cenderung menekan kreativitas, menghambat perkembangan berpikir kritis, serta memperburuk kesehatan mental peserta didik.
Ruang belajar yang kaku dan penuh tekanan sering kali menjadi penghambat bagi siswa untuk berekspresi dan bertumbuh secara holistik. Siswa dibentuk menjadi pribadi yang patuh, tetapi tidak selalu mampu mengambil keputusan secara mandiri atau berpikir di luar pakem.
Sebagai respons atas kekakuan pendekatan tersebut, muncul ‘Kurikulum Cinta’, yang berlandaskan pada nilai-nilai kasih sayang, empati, dan penghargaan terhadap keunikan tiap individu. Pendekatan ini memosisikan peserta didik sebagai subjek utama proses pembelajaran, bukan sekadar objek yang harus menuruti perintah. Dalam model ini, guru berperan sebagai fasilitator dan pendamping tumbuh kembang anak, bukan sebagai figur otoritas yang dominan.
‘Kurikulum Cinta’ mendorong pengembangan kecerdasan emosional, sosial, dan spiritual, berdampingan dengan aspek kognitif. Di dalam kelas, suasana diciptakan agar siswa merasa aman, bebas berekspresi, dan diberi ruang untuk belajar dari kesalahan. Tujuannya bukan hanya mencetak lulusan yang cerdas secara akademis, tetapi juga individu yang peduli, mandiri, dan berkarakter kuat.
Namun, model ini juga bukan tanpa cela. Sebagian pihak mengkhawatirkan bahwa jika tidak diterapkan dengan struktur dan batasan yang jelas, maka siswa akan tumbuh dalam zona nyaman yang berlebihan.
Ketiadaan standar ketat dapat memicu penurunan etos kerja dan ketahanan mental, dua hal yang sangat dibutuhkan untuk bertahan di dunia nyata yang kompetitif. Selain itu, implementasi pendekatan ini menuntut kapasitas tinggi dari pendidik, baik dari segi keterampilan pedagogis maupun keteladanan moral.
Oleh karena itu, dalam merancang masa depan pendidikan Indonesia, pendekatan yang paling bijak bukanlah memilih salah satu secara mutlak, tetapi mengintegrasikan keunggulan dari keduanya. Disiplin tidak harus identik dengan kekakuan.
Ia bisa diajarkan melalui penguatan tanggung jawab pribadi, refleksi diri, dan pembelajaran berbasis pengalaman. Sementara itu, kasih sayang dalam ‘Kurikulum Cinta’ harus tetap dibingkai oleh struktur dan tujuan yang jelas, agar pendidikan tidak kehilangan arah.
Sebagai contoh, peserta didik dapat dilatih untuk menghargai waktu dan tanggung jawab melalui sistem pembelajaran yang konsisten dan penuh makna. Dalam lingkungan belajar yang hangat dan inklusif, guru tetap dapat menanamkan batasan dan harapan yang tinggi tanpa kehilangan kedekatan dengan siswa.
Maka lahirlah individu yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki kepekaan sosial dan kekuatan karakter yang mumpuni.
Konteks sosial-budaya Indonesia yang majemuk menuntut sistem pendidikan yang fleksibel sekaligus tegas, humanis tetapi tetap berorientasi hasil. Dalam praktiknya, ini berarti guru harus diberikan ruang dan pelatihan untuk menjalankan fungsi ganda: sebagai figur yang tegas namun penuh kasih.
Pemerintah pun perlu menyediakan kurikulum yang mendorong kolaborasi, kreativitas, dan kebhinekaan tanpa melupakan pentingnya disiplin dan etika.
Transformasi ini tentu tidak bisa terjadi dalam semalam. Butuh komitmen dari semua pemangku kepentingan seperti guru, orang tua, pembuat kebijakan, dan masyarakat luas untuk mewujudkan model pendidikan yang seimbang. Sebab pada akhirnya, pendidikan bukan sekadar tentang mencetak lulusan yang siap kerja, tetapi tentang membentuk manusia utuh yang siap hidup.





