Pendidikan sebagai Arena Politik: Dari Kebijakan hingga Ruang Kelas

Penulis Pendidikan sebagai Arena Politik: Dari Kebijakan hingga Ruang Kelas - Arif Rahman
Penulis Pendidikan sebagai Arena Politik: Dari Kebijakan hingga Ruang Kelas - Arif Rahman

Pendidikan kerap dipahami sebagai proses yang netral, objektif, dan semata-mata berorientasi pada transfer pengetahuan serta pembentukan karakter. Dalam pandangan ini, sekolah dianggap berdiri di luar tarik-menarik kepentingan kekuasaan.

Namun, asumsi tersebut sulit dipertahankan ketika pendidikan ditempatkan dalam konteks sosial dan politik yang lebih luas. Pada kenyataannya, pendidikan tidak pernah benar-benar bebas nilai. Ia justru menjadi arena politik tempat berbagai kepentingan bertemu, dinegosiasikan, dan dilembagakan, mulai dari tingkat kebijakan negara hingga praktik sehari-hari di ruang kelas.

Bacaan Lainnya

Pada tataran makro, pendidikan berfungsi sebagai instrumen negara untuk membentuk identitas nasional, menanamkan nilai-nilai tertentu, serta mengatur distribusi pengetahuan yang dianggap sah dan penting. Kurikulum, sistem evaluasi, hingga alokasi anggaran pendidikan bukanlah keputusan teknokratis semata, melainkan hasil dari proses politik yang sarat kepentingan.

Sementara itu, pada tataran mikro, relasi antara guru, siswa, dan budaya sekolah mereproduksi praktik kekuasaan yang membentuk cara berpikir, bersikap, dan bertindak generasi muda. Dengan demikian, pendidikan tidak hanya mentransmisikan pengetahuan, tetapi juga membentuk subjek politik.

Di Indonesia, dinamika politik dalam pendidikan tampak jelas melalui perubahan kurikulum yang kerap berganti seiring pergantian kepemimpinan, distribusi anggaran yang tidak merata, kebijakan sertifikasi guru, hingga budaya sekolah yang menekankan kepatuhan dan hierarki.

Artikel ini berupaya menunjukkan bagaimana pendidikan beroperasi sebagai arena politik, mengidentifikasi tantangan utama yang menyertainya, serta menawarkan langkah-langkah strategis untuk mendorong pendidikan yang lebih demokratis, inklusif, dan reflektif.

Salah satu tantangan paling menonjol adalah kuatnya sentralisasi kebijakan pendidikan. Banyak keputusan strategis, mulai dari penentuan kurikulum hingga sistem evaluasi nasional, ditetapkan di tingkat pusat dan disaring melalui kepentingan politik tertentu. Akibatnya, konteks lokal sering terabaikan.

Sekolah dan guru memiliki ruang yang terbatas untuk menyesuaikan pembelajaran dengan kebutuhan, karakter, dan realitas sosial siswa. Pendidikan kemudian berubah menjadi proses administratif yang seragam, alih-alih ruang pembelajaran yang responsif dan kontekstual.

Sentralisasi ini tidak berhenti pada level kebijakan. Di ruang kelas, relasi kuasa antara guru dan siswa turut merefleksikan politik pendidikan dalam skala mikro. Guru memiliki otoritas untuk menentukan materi apa yang dianggap penting, narasi mana yang ditonjolkan, serta nilai-nilai apa yang harus diinternalisasi siswa.

Dalam situasi ini, ruang kelas berpotensi menjadi arena penanaman ideologi secara sepihak. Ketika siswa enggan bertanya atau menyampaikan pendapat karena takut dianggap melawan, proses pendidikan kehilangan dimensi dialogisnya.

Data Programme for International Student Assessment (PISA) 2018 menunjukkan bahwa hanya sekitar 28 persen siswa di Indonesia yang terbiasa terlibat dalam diskusi aktif di kelas, salah satu angka terendah di kawasan ASEAN. Temuan ini mencerminkan budaya belajar yang masih menempatkan siswa sebagai penerima pasif, bukan subjek pembelajaran yang kritis.

Tantangan berikutnya adalah ketimpangan distribusi sumber daya pendidikan. Pemerataan fasilitas, anggaran, dan kualitas guru masih menjadi pekerjaan rumah besar. Sekolah-sekolah di kota besar umumnya memiliki akses teknologi, internet, dan pelatihan guru yang memadai, sementara sekolah di daerah terpencil menghadapi keterbatasan serius, bahkan untuk fasilitas dasar.

Data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tahun 2023 mencatat sekitar 42.000 sekolah atau hampir 30 persen belum memiliki akses internet yang stabil. Ketimpangan ini tidak dapat dilepaskan dari keputusan politik yang sering kali lebih berpihak pada wilayah yang dekat dengan pusat kekuasaan atau memiliki nilai politis tertentu. Dalam jangka panjang, ketidakadilan pendidikan semacam ini berpotensi melahirkan ketimpangan politik di masa depan.

Selain itu, pendidikan kewarganegaraan di sekolah masih cenderung normatif dan formalistik. Materi PPKn lebih banyak menekankan hafalan konsep dan ideologi negara, ketimbang mendorong analisis kritis terhadap isu publik, kebijakan pemerintah, atau praktik demokrasi sehari-hari.

Akibatnya, siswa tumbuh sebagai warga negara yang patuh, tetapi tidak terbiasa mempertanyakan atau mengkritisi kebijakan publik. Mereka lebih diposisikan sebagai objek kebijakan, bukan subjek aktif dalam kehidupan demokrasi.

Menghadapi berbagai tantangan tersebut, pendidikan perlu didorong kembali sebagai ruang demokrasi. Langkah pertama adalah memperkuat otonomi sekolah dan guru dalam mengembangkan pembelajaran.

Fleksibilitas kurikulum, seperti yang diusung Kurikulum Merdeka, harus disertai pendampingan yang substansial, bukan sekadar instruksi administratif. Beberapa daerah, seperti Yogyakarta dan Surabaya, menunjukkan bahwa otonomi lokal dapat mendorong lahirnya inovasi pendidikan, mulai dari sekolah ramah anak hingga pembelajaran berbasis proyek yang relevan dengan konteks sosial setempat.

Di tingkat kelas, penerapan pedagogi kritis menjadi kunci untuk meretas relasi kuasa yang timpang. Pendekatan dialogis yang dikembangkan Paulo Freire, misalnya, menempatkan guru dan siswa sebagai mitra dalam proses belajar. Guru tidak lagi menjadi satu-satunya sumber kebenaran, melainkan fasilitator yang membuka ruang diskusi dan refleksi.

Sejumlah sekolah menengah dan madrasah di Jawa Tengah dan Jawa Barat mulai menerapkan pembelajaran berbasis proyek dan diskusi isu sosial, seperti lingkungan, intoleransi, dan keadilan sosial, dalam mata pelajaran PPKn dan Sosiologi. Praktik ini menunjukkan bahwa pendidikan dapat menjadi ruang pembentukan kesadaran kritis tanpa kehilangan tujuan akademiknya.

Pemerataan sumber daya pendidikan juga harus menjadi prioritas politik negara. Pemerintah perlu memberikan perhatian khusus pada sekolah-sekolah di wilayah terdepan, terluar, dan tertinggal dengan memperbaiki infrastruktur, memperluas akses teknologi, serta meningkatkan kualitas dan kesejahteraan guru.

Dukungan terhadap guru tidak hanya berupa peningkatan kompetensi pedagogik, tetapi juga penguatan literasi sosial dan politik agar mereka memiliki perspektif yang lebih luas dalam mendidik siswa. Data Kemendikbudristek tahun 2022 menunjukkan bahwa guru peserta Program Sekolah Penggerak mengalami peningkatan efektivitas pengajaran hingga 37 persen berdasarkan observasi kelas, menandakan pentingnya investasi serius pada pengembangan profesional guru.

Penguatan pendidikan kewarganegaraan kritis menjadi langkah strategis berikutnya. Materi PPKn perlu diarahkan pada pengembangan kemampuan analisis kebijakan publik, literasi media, dan literasi politik. Simulasi musyawarah, debat publik, dan pembahasan isu aktual dapat membantu siswa memahami demokrasi sebagai praktik hidup, bukan sekadar konsep abstrak.

Beberapa sekolah di Surabaya, Bandung, dan Makassar telah menerapkan simulasi sidang legislatif dan debat isu lingkungan serta anggaran daerah. Data Badan Pengawas Pemilu tahun 2022 mencatat bahwa sekolah yang menerapkan pendidikan politik kritis mengalami peningkatan signifikan dalam kemampuan literasi politik siswa.

Pada akhirnya, pendidikan memang tidak pernah netral. Ia selalu berada dalam pusaran nilai, ideologi, dan kepentingan kekuasaan. Tantangan berupa sentralisasi kebijakan, relasi kuasa yang timpang di kelas, ketimpangan sumber daya, dan lemahnya pendidikan politik kritis menunjukkan bahwa pendidikan Indonesia masih beroperasi dalam kerangka yang hierarkis dan birokratis. Karena itu, reformasi pendidikan tidak cukup dilakukan pada level kebijakan, tetapi juga harus menyentuh praktik sehari-hari di sekolah dan ruang kelas.

Mendesentralisasi kebijakan pendidikan, mengembangkan pedagogi dialogis, meningkatkan profesionalisme guru, membangun budaya sekolah yang demokratis, serta mereformasi pendidikan kewarganegaraan menjadi lebih kontekstual merupakan langkah-langkah strategis yang saling terkait.

Dengan arah tersebut, pendidikan dapat bertransformasi menjadi ruang demokrasi yang sehat. Bukan sekadar alat regulasi sosial atau legitimasi kekuasaan, melainkan proses pembentukan warga negara yang sadar, kritis, dan berdaya dalam kehidupan publik.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *