Di tengah kesunyian pagi, banyak dari kita memulai hari dengan cahaya kecil dari layar gawain notifikasi pesan, unggahan teman, atau kabar selebritas yang berseliweran seolah menunggu untuk diklik.
Media sosial, yang pada mulanya dirancang sebagai ruang untuk terhubung, perlahan berubah menjadi penentu suasana hati dan cara kita memandang diri sendiri. Ia bukan sekadar alat komunikasi, melainkan ruang psikologis yang memengaruhi cara kita merasa, berpikir, dan menilai hidup.
Pengaruh media sosial terhadap kesehatan mental memang tidak tunggal. Ada manfaat yang tak dapat diabaikan: komunikasi yang lebih mudah, hadirnya komunitas bagi mereka yang merasa terasing, serta akses informasi yang luas.
Namun, di sisi lain, terdapat konsekuensi psikologis yang muncul ketika penggunaan tidak disertai kesadaran: perbandingan sosial yang terus-menerus, kebutuhan akan validasi eksternal, serta paparan konten yang memicu kecemasan. Dua kutub ini hidup berdampingan dan membentuk dinamika baru antara manusia dan perangkat digitalnya.
Fenomena yang sering dianggap sepele seperti menggulir layar tanpa tujuan jelas sesungguhnya melibatkan mekanisme psikologis yang kuat. Saat melihat unggahan yang menampilkan momen terbaik kehidupan orang lain, otak kita cenderung membuat perbandingan otomatis.
Pertanyaan-pertanyaan seperti “Apakah hidup saya kurang menarik?” atau “Mengapa saya tidak seperti mereka?” menyeruak tanpa diundang. Jika dilakukan berulang, proses ini mengikis kepercayaan diri dan menumbuhkan rasa tidak aman.
Ada beberapa mekanisme yang membuat media sosial begitu memengaruhi kesejahteraan mental. Pertama, manusia memiliki naluri membandingkan diri. Namun di media sosial, objek pembanding adalah versi tersaring dari kehidupan orang lain bukan kenyataan apa adanya.
Ketika standar ini dijadikan tolok ukur, kita mulai menetapkan target yang tidak realistis dan pada akhirnya terperosok dalam kegelisahan.
Kedua, fitur-fitur seperti “like” dan komentar bekerja sebagai penguat sesaat. Ia menciptakan ketergantungan pada bentuk pengakuan yang serba digital. Suasana hati pun menjadi fluktuatif: hari yang baik atau buruk dapat ditentukan oleh jumlah interaksi pada unggahan.
Ketiga, algoritma platform cenderung menampilkan konten yang memancing reaksi emosional. Jika konten yang muncul berkaitan dengan kecemasan, kemarahan, atau rasa iri, pengulangan paparan membuat emosi-emosi itu terasa normal dan sulit dikendalikan.
Gangguan tidur juga menjadi persoalan yang tak bisa diabaikan. Notifikasi yang terus masuk, kebiasaan memeriksa layar sebelum tidur, serta dorongan untuk “cek sekali lagi” membuat ritme istirahat terganggu. Kurang tidur memiliki kaitan langsung dengan suasana hati yang labil, mudah marah, dan menurunnya kemampuan fokus.
Di sisi lain, personalisasi algoritma secara ekstrem menutup pintu terhadap perspektif yang lebih beragam. Kita akhirnya tinggal di ruang gema digital sebuah lingkungan yang hanya memantulkan pandangan yang serupa dengan keyakinan kita sendiri. Keadaan ini mempersempit cakrawala berpikir sekaligus memperkuat polarisasi emosional.
Meski begitu, menyerukan masyarakat untuk menjauhi media sosial sepenuhnya tidak realistis. Platform digital telah melebur dalam pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan sosial modern. Yang dibutuhkan bukanlah penolakan, melainkan perubahan cara kita menggunakannya. Kesadaran dan batasan harus menjadi fondasi agar media sosial tidak mengambil alih ruang batin.
Untuk individu, langkah sederhana bisa menjadi titik awal. Batasi waktu penggunaan dan tetapkan jam bebas layar. Matikan notifikasi yang tidak penting.
Terapkan setidaknya satu jam tanpa gawai sebelum tidur. Latih diri untuk melihat unggahan sebagai kurasi, bukan standar hidup. Tanyakan secara jujur: “Apakah perbandingan ini membantu saya berkembang atau justru merusak ketenangan?”
Keluarga dan institusi pendidikan perlu turut mengambil peran. Literasi digital seharusnya tidak sekadar mengajarkan cara menghindari hoaks, tetapi juga bagaimana mengelola emosi saat terpapar konten negatif, serta cara mencari bantuan saat mengalami tekanan.
Para pengembang platform dan pembuat kebijakan pun memegang peranan penting. Desain yang mendukung kesehatan mental pengguna bukan lagi sekadar wacana etis, tetapi kebutuhan sosial.
Transparansi algoritma, pengingat durasi penggunaan, hingga kontrol personalisasi yang lebih sehat harus menjadi bagian dari kebijakan publik dan industri.
Media sosial pada akhirnya bukan hanya teknologi, melainkan ekosistem psikologis. Jika platform terus mengoptimalkan keterlibatan, maka kita sebagai pengguna perlu mengoptimalkan kesejahteraan diri. Menjadi bijak di dunia digital bukan berarti menolak kemajuan, tetapi memilih bagaimana teknologi memberi manfaat, bukan tekanan.
Kita tidak harus menjadi budak notifikasi. Kita berhak menentukan apa yang layak mendapat perhatian dan apa yang patut dilepas begitu saja. Mungkin langkah kecil bisa dimulai hari ini: matikan notifikasi selama satu jam dan rasakan bagaimana pikiran terasa sedikit lebih lapang.





