Abstrak
Penelitian ini menggunakan metode studi kasus untuk menganalisis bagaimana media sosial memengaruhi ketegangan antara keterbukaan dan privasi dalam hubungan percintaan remaja. Studi ini berfokus pada tiga pasangan remaja yang dipilih secara purposif berdasarkan intensitas penggunaan media sosial dan pengalaman konflik terkait privasi. Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam, observasi interaksi digital, dan analisis konten media sosial mereka. Temuan penelitian menunjukkan bahwa media sosial menciptakan ekspektasi untuk terus berbagi informasi hubungan secara publik, sementara kebutuhan akan ruang pribadi sering kali diabaikan. Konflik muncul ketika salah satu pihak merasa batas privasinya dilanggar, baik melalui postingan, tag, atau komentar. Untuk mengatasi ketegangan ini, pasangan menggunakan strategi seperti membatasi akses konten, membuat akun privat, atau berkomunikasi secara offline.
Kata Kunci: media sosial, hubungan remaja, keterbukaan, privasi, teori dialektika relasional
Abstract
This study uses a case study method to analyze how social media affects the tension between openness and privacy in adolescent romantic relationships. The study focuses on two adolescent couples who were purposively selected based on their intensity of social media use and experiences of privacy-related conflicts. Data were collected through in-depth interviews, observations of digital interactions, and analysis of their social media content. The findings suggest that social media creates expectations to continuously share relationship information publicly, while the need for personal space is often neglected. Conflict arises when one party feels that their privacy boundaries are violated, either through posts, tags, or comments. To resolve this tension, couples use strategies such as limiting access to content, creating private accounts, or communicating offline.
Keywords: social media, adolescent relationships, openness, privacy, relational dialectic theory.
Pendahuluan
Perkembangan teknologi digital, khususnya media sosial, telah mengubah cara manusia berinteraksi secara fundamental, terutama dalam konteks hubungan interpersonal. Bagi kalangan remaja, media sosial tidak hanya menjadi alat komunikasi, tetapi juga platform untuk menampilkan identitas diri dan dinamika hubungan sosial, termasuk hubungan romantis.
Remaja masa kini terbiasa mengekspresikan kedekatan melalui aktivitas digital seperti mengunggah foto bersama pasangan, memperbarui status hubungan, memberi komentar romantis, dan membagikan momen kebersamaan di platform seperti Instagram, TikTok, atau WhatsApp. Aktivitas tersebut menjadi bagian dari cara mereka membangun, mempertahankan, dan menampilkan hubungan kepada dunia luar.
Namun, di balik manfaatnya, media sosial juga memunculkan dilema dan ketegangan baru dalam hubungan percintaan, yaitu antara kebutuhan untuk terbuka secara publik dan keinginan untuk menjaga privasi pribadi. Fenomena ini memperlihatkan kompleksitas hubungan remaja modern, yang tidak hanya terjadi di dunia nyata, tetapi juga di ranah digital yang terbuka dan terus dipantau oleh banyak orang.
Dalam konteks ini, Teori Dialektika Relasional yang dikembangkan oleh Baxter dan Montgomery menjadi landasan teoritis yang relevan. Teori ini menekankan bahwa hubungan interpersonal bersifat dinamis dan sarat akan ketegangan dialektis antara dua kebutuhan yang saling bertentangan, seperti keterbukaan dan privasi. Ketegangan ini tidak dapat dihindari, tetapi harus dinegosiasikan secara terus-menerus.
Penelitian ini bertujuan untuk memahami bagaimana remaja menghadapi dan mengelola ketegangan tersebut dalam hubungan percintaan mereka di era digital, dengan fokus pada praktik komunikasi di media sosial.
Metode Penelitian
Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan desain studi kasus, yang bertujuan mengeksplorasi secara mendalam bagaimana remaja menavigasi dinamika keterbukaan dan privasi dalam hubungan romantis mereka di media sosial. Studi kasus dipilih karena memungkinkan eksplorasi konteks hubungan secara nyata dan terperinci.
Subjek Penelitian
Tiga pasangan remaja berusia 17–20 tahun dipilih secara purposif berdasarkan kriteria berikut:
- Memiliki hubungan romantis minimal selama enam bulan.
- Aktif menggunakan media sosial, terutama Instagram, WhatsApp, dan TikTok.
- Saling terhubung dan saling mengikuti akun media sosial.
- Pernah mengalami konflik atau diskusi mengenai batas privasi dalam hubungan digital.
Partisipan terdiri dari siswa SMA dan mahasiswa semester awal di Kota Jakarta dan sekitarnya.
Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan melalui:
- Wawancara mendalam semi-terstruktur, dilakukan secara langsung terhadap masing-masing pasangan dengan panduan pertanyaan mengenai:
- Pola penggunaan media sosial
- Pengalaman konflik terkait privasi
- Strategi dalam mengelola keterbukaan dan batas digital
- Observasi interaksi digital, dilakukan melalui telaah akun media sosial dan riwayat komunikasi online antar pasangan.
- Analisis dokumen digital, meliputi unggahan foto, status, komentar, serta pesan pribadi yang relevan.
Teknik Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan metode analisis tematik, yang berfokus pada pengidentifikasian pola-pola berikut:
- Bentuk ketegangan keterbukaan-privasi
- Sumber konflik digital
- Strategi manajemen dan negosiasi ketegangan
Validitas data dijaga melalui triangulasi sumber (wawancara, observasi, dokumen), serta diskusi antarpeneliti untuk menjamin interpretasi data yang konsisten.
Etika Penelitian
Etika penelitian dijaga dengan:
- Persetujuan tertulis dari semua partisipan.
- Kerahasiaan identitas dan informasi personal dijamin penuh.
- Partisipan dapat menarik diri dari penelitian kapan saja tanpa konsekuensi apa pun.
Hasil dan Pembahasan
1. Media Sosial sebagai Ruang Negosiasi Keterbukaan dan Privasi
Seluruh partisipan mengungkapkan bahwa media sosial menjadi ruang utama untuk menegosiasikan batas keterbukaan dan privasi. Bagi beberapa pasangan, mengunggah foto bersama adalah tanda komitmen. Namun, bagi yang lain, tindakan tersebut terasa invasif dan melanggar privasi.
Seorang partisipan berkata,
“Aku nggak nyaman kalau dia posting foto berdua tanpa bilang dulu, tapi dia pikir itu biasa aja. Aku merasa privasiku dilanggar.”
Pernyataan tersebut menunjukkan konflik antara ekspektasi keterbukaan dengan kebutuhan untuk menjaga ruang pribadi.
2. Tekanan Sosial dan Representasi Diri Digital
Media sosial juga menjadi sumber tekanan sosial bagi para remaja untuk menunjukkan bahwa hubungan mereka “baik-baik saja” di mata publik. Tiga sumber tekanan yang dominan muncul dari:
- Teman sebaya: “Kalau nggak upload, nanti dibilang udahan.”
- Pasangan sendiri: “Aku pengen dia nunjukkin aku ke publik.”
- Budaya media sosial: “Seolah-olah cinta itu harus kelihatan online.”
Tekanan tersebut menciptakan paradoks visibilitas digital, di mana semakin terbuka suatu hubungan, semakin besar pula tekanan untuk mempertahankan citra positif—yang pada akhirnya berisiko menimbulkan konflik.
3. Strategi Pengelolaan Ketegangan Digital
Untuk mengatasi ketegangan tersebut, para partisipan menerapkan berbagai strategi manajemen batas digital, antara lain:
Strategi Implementasi Tujuan Segmentasi audiens Menggunakan fitur “Close Friends” di Instagram Membatasi siapa yang bisa melihat konten Negosiasi konten Diskusi sebelum unggah foto berdua Menyepakati batas kenyamanan bersama Akun alternatif/privat Membuat akun pribadi tanpa pengikut umum Memisahkan kehidupan publik dan personal Nonaktif sementara Logout atau menonaktifkan akun sementara waktu Menghindari konflik atau tekanan digital Komunikasi langsung Berdiskusi secara offline Mengurangi miskomunikasi akibat teks
Penerapan strategi ini bersifat fleksibel dan dinamis, tergantung pada situasi dan kondisi hubungan saat itu.
Kesimpulan
Penelitian ini menunjukkan bahwa hubungan romantis remaja di era digital tidak lepas dari dinamika ketegangan antara keterbukaan dan privasi. Media sosial berperan ganda: sebagai sarana ekspresi kasih sayang, namun juga sebagai sumber tekanan sosial dan konflik batas personal.
Melalui studi kasus terhadap tiga pasangan remaja, ditemukan bahwa ketegangan dialektis tidak pernah sepenuhnya hilang, melainkan terus dikelola melalui proses negosiasi yang berulang. Remaja cenderung mencari keseimbangan melalui strategi-strategi seperti segmentasi audiens, pembatasan akses, hingga pengaturan komunikasi digital.
Hal ini sejalan dengan pandangan Teori Dialektika Relasional, bahwa hubungan bukanlah suatu kondisi tetap, melainkan proses yang terus berubah. Ketegangan adalah bagian alami dari proses tersebut, dan keberhasilan hubungan ditentukan oleh kemampuan pasangan untuk menegosiasikan perbedaan secara sehat.
Penelitian ini juga menekankan pentingnya literasi digital dan keterampilan komunikasi interpersonal dalam membentuk hubungan yang sehat di era media sosial. Kemampuan untuk membicarakan batas privasi secara terbuka dan menyepakati bentuk keterbukaan yang nyaman bagi kedua pihak adalah kunci keberhasilan hubungan percintaan remaja masa kini.
Referensi
- Baxter, L. A. (2004). A tale of two voices: Relational dialectics theory. Journal of Family Communication, 4(3), 181–192. https://doi.org/10.1207/s15327698jfc0403_1
- Fadilah, N., & Santosa, H. (2020). Pengaruh media sosial terhadap kualitas komunikasi remaja dalam hubungan pacaran. Jurnal Komunikasi Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia, 5(1), 45–56.
- Nur Ihsan, M. (2024). Toxic relationship pada kalangan remaja di Kota Palopo dalam perspektif teori dialektika relasional [Skripsi Diploma, IAIN Palopo]. Repositori IAIN Palopo. https://repository.iainpalopo.ac.id/id/eprint/10220/





