Sastra adalah bentuk karya seni yang mengungkapkan pikiran dan perasaan manusia, baik secara lisan maupun tulisan, dengan menggunakan bahasa yang indah sesuai dengan konteksnya (Hutomo, 1988). Sumardjo dalam bukunya menjelaskan bahwa karya sastra adalah usaha merekam isi jiwa sastrawan melalui perangkat bahasa yang digunakannya.
Puisi merupakan salah satu genre sastra yang memiliki ciri khas berupa penggunaan irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait. Puisi adalah ungkapan pikiran dan perasaan penyair yang dituangkan dalam bahasa yang padat, indah, dan penuh makna.
Hal ini sesuai dengan pendapat Sumardi yang menyatakan bahwa puisi adalah karya sastra dengan bahasa yang dipadatkan, dipersingkat, diberi irama, serta menggunakan diksi yang imajinatif. Puisi sendiri terbagi menjadi dua jenis: puisi lama yang terikat pada aturan-aturan tertentu, seperti jumlah kata dan rima, serta puisi modern yang lebih bebas dalam bentuk dan strukturnya.
Psikologi sastra adalah kajian yang melihat karya sastra sebagai cerminan aktivitas kejiwaan seseorang (Endraswara, 2013). Psikologi sastra bertujuan untuk memahami hubungan antara pengarang, karya, dan pembaca.
Kajian ini terbagi menjadi empat aspek, yaitu psikologi pengarang, psikologi pembaca, psikologi proses kreatif, dan psikologi karya. Dalam artikel ini, fokus akan diberikan pada psikologi karya, yang berarti analisis akan terpusat sepenuhnya pada teks sastra itu sendiri.
Sebagai bentuk apresiasi, saya memilih untuk menganalisis puisi “Ibu” dari buku kumpulan sajak berjudul Jalan Hati Jalan Samudra karya D. Zawawi Imron yang diterbitkan pada tahun 2010. D. Zawawi Imron, penyair asal Batang-Batang, Sumenep, Madura, dikenal memiliki kemampuan istimewa dalam menggambarkan suasana alam sekitarnya. Berikut adalah analisis puisi tersebut:
Ibu
Kalau aku merantau lalu datang musim kemarau,
Sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting,
Hanya mata air, air matamu ibu, yang tetap lancar mengalir.
Bila aku merantau,
Sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku,
Di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan,
Lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar.
Ibu adalah gua pertapaanku,
Dan ibulah yang meletakkan aku di sini,
Saat bunga kembang menyemerbak bau sayang,
Ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi,
Aku mengangguk meskipun kurang mengerti.
Bila kasihmu ibarat samudera,
Sempit lautan teduh,
Tempatku mandi, mencuci lumut pada diri,
Tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh,
Lokan-lokan, mutiara, dan kembang laut semua bagiku.
Kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan,
Namamu, ibu, yang kan kusebut paling dahulu,
Lantaran aku tahu,
Engkau ibu dan aku anakmu.
Bila aku berlayar lalu datang angin sakal,
Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal.
Ibulah itu bidadari yang berselendang bianglala,
Sesekali datang padaku,
Menyuruh menulis langit biru
Dengan sajakku.
Bait Pertama
Pada larik pertama, kalau aku merantau lalu datang musim kemarau, merupakan sebuah karakteristik manusia Madura yang mayoritas penduduknya suka merantau. Tradisi rantau, sudah menjadi stereotipe bagi masyarakat Madura.
Pada larik kedua yang berbunyi, sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting, menggambarkan bahwa lingkungan sekitar aku-lirik banyak kering. Jika melihat tanah yang ada di Sumenep, tanah di sana memang merupakan tanah yang gersang dan berkapur. Wajar, jika aku-lirik menggambarkan sumur-sumur kering bersama reranting.
hanya mata air, air matamu ibu, yang tetap lancar mengalir merupakan larik terakhir pada bait pertama. Larik ini, secara gamblang memiliki arti air mata ibu yang senantisa berdoa dan mendukung seseorang tanpa lelah. Namun, di samping itu, penggunaan larik tersebut merupakan oposisi biner dengan larik sebelumnya, seperti frasa sumur-sumur kering >< hanya mata air, air matamu ibu.
Bait Kedua
Bait kedua dalam puisi ini merupakan satu kesatuan yang memang diharuskan menggunakan alnalisis keseluruhan. bila aku merantau, sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku, di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan, lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar. Pada bait kedua ini, larik pertama bila aku merantau, menggambarkan bahwa aku-lirik masih akan pergi merantau.
Baca Juga: Oedipus Complex Versi Madura
Penggunaan klausa “bila” jika ditelisik dengan sosiolinguistik, memiliki makna bahwa aku-lirik masih akan merantau karena masih menggunakan kata “bila”. Pada larik kedua penggunaan metafor sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku, merupakan kiasan yang multitafsir. Jika melihat larik kedua di atas, sepertinya larik tersebut memang tidak mencanangkan isu-isu yang diusung seperti larik-larik sebelumya.
Bisa saja, larik tersebut hanya dijadikan sebagai kiasan untuk memperindah puisi tersebut atau ingin menggambarkan suasana alam di sekitarnya. Larik ketiga dalam bait kedua ini, sepertinya sama dengan larik sebelumnya yang hanya dijadikan sebagai kiasan.
Namun, “siwalan” merupakan sebuah ciri pohon yang banyak di jumpai di Madura bagian timur, Sumenep. Artinya, bisa jadi aku-lirik ingin menggambarkan alam Sumenep. “sari-sari kerinduan” merupakan frasa yang memiliki makna tumbuh rasa-rasa rindu—mungkin terhadap ibunya—tapi dikemas dengan kiasan alam.
Pada larik terakhir bait ketiga, lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar merupakan puncak klimaks dari bait kedua. Yang mana dalam ihwal ini, baik secara gamblang maupun tersirat, memang mengarah pada sosok ibu.
Aku-lirik merasa memiliki hutang—tapi bukan hutang seperti pada umunya, uang—terhadap ibunya. Hutang yang dimaksud aku-lirik di sini adalah hutang budi dan kasih sayang seorang anak terhadap sosok pahlawan, ibu.
Bait Ketiga
Bait ketiga, ibu adalah gua pertapaanku, dan ibulah yang meletakkan aku di sini, saat bunga kembang menyemerbak bau saying, ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi, aku mengangguk meskipun kurang mengerti.
Pada larik pertama, oleh aku-lirik, ibu diibaratkan sebagai sebuah gua. Jika mengacu pada psikoanalisis, arketipe ibu, Carl Gustav Jung, simbol “gua”, adalah sosok ibu itu sendiri. bagi Jung, “gua” memang merupakan bagian dari alam.
Baca Juga: Sabda Yang Menubuh
Gua terkadang juga diibaratkan sebagai rahim ibu yang menjadi simbol kesuburan. dan ibulah yang meletakkan aku di sini, “di sini” merujuk pada kata tempat, ketidakjelasan itu menjadi sesuatu yang absurd dalam puisi ini.
Jika memang mengacu pada tempat, tempat apakah itu? Gua kah? Atau ke langit kah? Seperti larik ketiga dan keempat, saat bunga kembang menyemerbak bau sayang, ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi Saya pikir ini juga tidak menunjukkan apa yang dimaksud aku-lirik.
Klausa “menunjuk ke langit” apakah bisa dikatakan ibu sedang berdoa? Saya rasa juga tidak, melihat larik kelima yang juga sebagai larik pamungkas dalam bait ini juga tidak memberikan keterangan apapun, karena dilihat dari aku-larik sendiri pun, ia tak memahami apa yang ibunya lakukan.
Bait Keempat
Pada larik-larik terakhir dalam bait keempat, kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahhlawan, namamu, ibu, yang akan kusebut paling dahulu, lantaran aku tahu, engkau ibu dan aku anakmu, menggambarkan bahwa sebagai seorang anak, aku-lirik akan mengunggulkan ibunya sebagai sosok pahlawan tanpa jasa bagi dirinya. Kemesraan antara ibu dan anak juga dicanangkan dalam puisi ini.
Bait Kelima
Dalam bait penutup puisi ini, larik pertama bila aku berlayar lalu datang angin sakal, memiliki makna tersirat bahwa aku-lirik adalah seorang nelayan yang pergi melaut dan terkena angina sakal. Namun, ia tak akan goyah meskipun angin sakal yang datang menerjang kapal sang nelayan, aku-lirik.
Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal, seperti lagu color of the wind yang menyiratkan makna jika seseorang ingin menggambar dengan warna angin, ia harus menyatu dengan alam. Tapi, dalam puisi ini, larik kedua tersebut aku-lirik harus menyatu dengan alam agar mengenal Tuhannya.
Ibulah itu bidadari yang berselendang bianglala, sesekali datang padaku, menggambarkan bahwa ibu dianggap sebagai sosok bidadari, namun dalam puisi ini, ibu tidak bersayap seperti pada mitologi-mitologi Yunani, bidadari yang digambarkan dalam puisi ini memiliki sayap yang terbuat dari bianglala dan mendatangi si aku-lirik.
Baca Juga: Kisah Kegelapan: Serangan Iblis dan Runtuhnya Kerajaan Bahagia
Menyuruh menulis langit biru, dengan sajakku. Pada dua larik terakhir dalam bait terakhir, saya menaruh kecurigaan imajanasi penulis, memang mengarah pada lagu color of the wind. Tapi, jika dikembalikan pada isu ibu, aku-lirik diminta melukiskan nama ibunya ke dalam bentuk saja, puisi.
Puisi “Ibu” karya D. Zawawi Imron merupakan penghormatan kepada sosok ibu sebagai pahlawan sejati dalam kehidupan anak. Melalui bahasa puitis yang kaya akan simbol dan metafora, puisi ini tidak hanya menggambarkan kasih sayang ibu tetapi juga menggali hubungan mendalam antara manusia, alam, dan spiritualitas.