Sorotan publik terhadap praktik bisnis perusahaan di Kota Serang menandai menguatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya etika dalam dunia usaha. Perusahaan tidak lagi bisa berlindung di balik dalih penciptaan lapangan kerja atau kontribusi ekonomi semata ketika keputusan bisnisnya berdampak pada lingkungan dan martabat pekerja.
Tuntutan agar dunia usaha mematuhi standar etika bukanlah sikap anti-laba, melainkan upaya menegaskan bahwa keuntungan ekonomi harus dicapai melalui cara yang bermoral dan bertanggung jawab.
Dalam konteks ini, pandangan filsuf Immanuel Kant menawarkan pijakan etis yang relevan. Kant menekankan bahwa tindakan moral tidak ditentukan oleh hasil akhir berupa keuntungan atau kerugian, melainkan oleh prinsip yang melandasinya.
Suatu tindakan dinilai bermoral apabila dapat dijadikan hukum universal dan tidak memperlakukan manusia sekadar sebagai alat. Prinsip ini menegaskan bahwa manusia, termasuk pekerja dan masyarakat terdampak, harus diperlakukan sebagai tujuan, bukan sebagai sarana untuk memaksimalkan laba.
Prinsip tersebut menjadi penting ketika menelaah praktik sejumlah perusahaan yang beroperasi di Serang. Salah satu kasus yang mengemuka adalah kritik terhadap PT Indah Karya Tekstil. Perusahaan ini disorot karena aktivitas produksinya dinilai menimbulkan dampak lingkungan serta persoalan kesejahteraan tenaga kerja. Kritik publik muncul bukan semata karena persoalan teknis produksi, melainkan karena adanya kesan bahwa pertimbangan keuntungan ditempatkan di atas tanggung jawab etis.
Dalam kerangka etika Kantian, persoalan ini tidak dapat disederhanakan sebagai konflik antara kepentingan bisnis dan tuntutan sosial. Yang dipersoalkan adalah pilihan moral perusahaan. Ketika keputusan produksi mengabaikan keselamatan lingkungan atau hak dasar pekerja, perusahaan secara moral telah gagal menghormati martabat manusia. Keuntungan yang diperoleh melalui cara semacam itu tidak dapat dibenarkan secara etis, sekalipun sah secara hukum.
Tekanan publik terhadap PT Indah Karya Tekstil juga mencerminkan perubahan lanskap relasi antara perusahaan dan masyarakat. Publik tidak lagi pasif menerima dampak industri, tetapi aktif menuntut transparansi dan akuntabilitas.
Dunia usaha dituntut membuktikan bahwa mereka tidak hanya patuh pada regulasi minimum, tetapi juga pada nilai-nilai etika yang lebih luas. Dalam konteks ini, etika bukan sekadar pelengkap citra perusahaan, melainkan fondasi legitimasi sosial.
Menariknya, respons perusahaan terhadap kritik tersebut menunjukkan bahwa etika dan kepentingan bisnis tidak selalu berada pada posisi berseberangan. Upaya PT Indah Karya Tekstil untuk menerapkan audit internal terkait kesejahteraan pekerja dan keberlanjutan lingkungan menunjukkan adanya kesadaran untuk menyeimbangkan keuntungan dengan tanggung jawab moral. Langkah ini patut diapresiasi, meskipun efektivitasnya tetap perlu diawasi secara konsisten dan terbuka.
Pengalaman sejumlah perusahaan besar, baik di dalam maupun luar negeri, menunjukkan bahwa kepatuhan terhadap standar etika justru dapat memperkuat keberlanjutan usaha. Perusahaan yang menghormati hak pekerja, menjaga lingkungan, dan transparan dalam operasional cenderung memperoleh kepercayaan publik yang lebih besar. Kepercayaan tersebut menjadi modal sosial yang tidak ternilai dalam jangka panjang, terutama di tengah meningkatnya kesadaran konsumen terhadap isu etika dan keberlanjutan.
Kasus di Serang seharusnya menjadi refleksi lebih luas bagi dunia usaha di Indonesia. Profit tetap merupakan tujuan sah dalam kegiatan bisnis, namun cara mencapainya menentukan nilai moral perusahaan tersebut.
Ketika laba dijadikan satu-satunya ukuran keberhasilan, risiko pengabaian terhadap manusia dan lingkungan menjadi semakin besar. Sebaliknya, ketika etika ditempatkan sebagai prinsip dasar pengambilan keputusan, keuntungan yang diperoleh memiliki legitimasi moral dan sosial.
Dalam perspektif etika Kant, perusahaan memiliki kewajiban moral yang tidak dapat dinegosiasikan oleh logika pasar. Kewajiban tersebut menuntut konsistensi antara tujuan ekonomi dan penghormatan terhadap martabat manusia. Dunia usaha perlu menyadari bahwa keberlanjutan sejati tidak hanya diukur dari neraca keuangan, tetapi juga dari sejauh mana aktivitas bisnisnya selaras dengan nilai-nilai etika yang universal.





