Di tengah derasnya arus globalisasi dan gempuran digitalisasi, minat baca generasi muda Indonesia kian memprihatinkan. Tak sedikit anak-anak yang lebih akrab dengan layar gawai ketimbang lembaran buku.
Dalam kondisi ini, Pojok Literasi hadir sebagai sebuah inisiatif penting. Bukan sekadar ruang untuk membaca, melainkan menjadi medium pembelajaran dan pelestarian budaya bangsa yang sangat relevan di era ini.
Pojok literasi, yang umumnya terdapat di sekolah, taman baca, atau ruang publik desa, sering kali dipandang sebelah mata. Padahal, keberadaannya menyimpan potensi strategis sebagai ruang interaksi antara anak-anak dengan berbagai bentuk pengetahuan.
Lewat buku-buku cerita rakyat, legenda nusantara, sastra klasik, hingga dongeng daerah, anak-anak tak hanya belajar membaca, tetapi juga mulai mengenal akar budaya dan jati diri bangsa.
Sayangnya, keberlanjutan dan efektivitas pojok literasi tidak bisa berdiri sendiri. Peran kolaboratif dari berbagai pihak sangat diperlukan. Pemerintah, melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, harus memberikan dukungan konkret seperti penyediaan buku bermutu, pelatihan pengelola pojok literasi, serta penyusunan kurikulum pendukung berbasis budaya lokal. Sekolah pun perlu menyikapi pojok literasi sebagai bagian penting dari proses pembelajaran yang menyenangkan dan kontekstual, bukan hanya pelengkap ruangan semata.
Di sisi lain, orang tua dan masyarakat memegang peran tak kalah krusial. Budaya literasi sejatinya harus dimulai dari rumah. Ketika anak-anak tumbuh di lingkungan yang menghargai buku dan cerita, mereka akan memiliki daya imajinasi, empati, serta kecintaan terhadap tanah air yang lebih kuat.
Dorongan dari komunitas lokal, termasuk tokoh masyarakat, kelompok pemuda, hingga relawan literasi, juga dapat memperkuat keberlanjutan Pojok Literasi di desa-desa.
Saya teringat sebuah pengalaman di sebuah desa, ketika melihat sekelompok anak duduk melingkar membaca buku cerita rakyat di sebuah pojok kecil yang disusun rapi dengan rak kayu dan karpet sederhana.
Di tengah dominasi TikTok, YouTube, dan game daring, masih ada ruang yang menumbuhkan kebiasaan membaca secara alami. Lebih dari sekadar membaca, pojok itu menjadi tempat anak-anak mengenal kisah-kisah lokal, bahasa ibu, dan nilai-nilai yang mungkin tak lagi mereka temukan di media digital.
Pengelolaan Pojok Literasi sebenarnya bisa dimulai dari langkah sederhana: mengumpulkan buku bekas yang layak baca, mengadakan jadwal membaca bersama secara rutin, menghadirkan sesi mendongeng budaya lokal, hingga melibatkan relawan atau tokoh desa untuk mendampingi anak-anak.
Kolaborasi dengan sekolah, perpustakaan daerah, dan komunitas literasi akan menjadi penguat penting untuk menjaga keberlanjutan program ini.
Tujuan utama dari Pojok Literasi bukan semata meningkatkan kemampuan membaca, tetapi juga menumbuhkan kecintaan pada pengetahuan dan budaya. Anak-anak desa bukan hanya belajar mengenal huruf, tetapi juga mengenal identitas mereka sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Dengan demikian, mereka tumbuh menjadi generasi yang cerdas, berkarakter, dan bangga terhadap budayanya sendiri.
Sudah saatnya kita menempatkan Pojok Literasi sebagai pilar penting dalam pendidikan karakter dan pembangunan sumber daya manusia Indonesia. Bukan hanya ruang sunyi dengan rak buku, melainkan jendela bagi masa depan generasi muda desa yang lebih berbudaya, kreatif, dan berwawasan kebangsaan.





